Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Malaysia melancarkan gerakan kemanusiaan lewat kampanye bendera putih.
Situasi pandemi di Malaysia memburuk dengan kasus Covid-19 yang semakin banyak.
Pemerintah menuduh gerakan bendera putih itu politis.
SUDAH lebih dari dua bulan Zulkiflee Anwar Haque, 59 tahun, banyak berdiam di rumahnya di Kuala Lumpur. Kota itu juga menjadi lebih sepi setelah pemerintah Malaysia memperketat pembatasan aktivitas publik untuk mencegah penularan Covid-19. Di beberapa lokasi di Kuala Lumpur, menurut kartunis yang akrab disapa Zunar itu, sudah dipasang blokade jaringan kawat berduri. "Kondisi menjadi lebih sulit. Pandemi ini menambah kemurungan dan depresi," kata Zunar kepada Tempo, Kamis, 15 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zunar juga tidak bisa bekerja di studionya di Petaling Jaya, Selangor. Berjarak sekitar 7 kilometer dari rumahnya, lokasi studio itu berada di negara bagian berbeda. Meski dalam kondisi sehat dan sudah mendapat dua dosis vaksin Pfizer, Zunar tak bisa melintasi perbatasan yang dijaga ketat polisi. Pekerjaannya sebagai seniman juga tidak masuk daftar profesi krusial untuk bisa mendapat izin melintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekanan pandemi dan pembatasan mobilitas publik, menurut Zunar, membuat kesulitan ekonomi meningkat. Banyak orang tidak lagi bisa bekerja dan kehilangan pendapatan. "Mungkin banyak orang melihat Malaysia ini negara kaya," tutur Zunar. "Kenyataannya, kami mengalami kesulitan selama pandemi. Banyak yang tidak bisa membeli makanan lagi."
Kartun karya Zunar yang mengkritik kinerja Pemerintah Malaysia dalam menangani pandemi Covid 19 di Malaysia.
Malaysia menetapkan regulasi pembatasan aktivitas publik skala nasional sejak awal Juni lalu. Pembatasan diperketat pada 3 Juli lalu. Toh, laju infeksi terus melejit. Pada Rabu, 13 Juli lalu, ada tambahan 11.079 kasus baru Covid-19. Ini untuk pertama kalinya pertambahan kasus baru Covid-19 menembus angka lima digit sejak pandemi merebak pada Maret tahun lalu. Hingga Jumat, 16 Juli lalu, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 893 ribu warga Malaysia dan memicu 6.278 kematian di negeri itu.
Pembatasan aktivitas membuat penduduk di sebagian wilayah tak bisa ke luar rumah kecuali untuk membeli bahan pangan atau keperluan penting lain. Walhasil, sebagian di antara mereka mengibarkan bendera putih di jendela atau depan rumah sebagai tanda pasrah karena kehabisan dana atau tidak bisa ke luar rumah untuk membeli makanan. "Di sekitar rumah saya beberapa orang juga mengibarkan bendera putih. Tetangga langsung datang memberikan bantuan," ujar Zunar.
Rohana, 43 tahun, juga mengibarkan bendera putih di depan rumah kontrakannya di Sungai Mati, Johor. Suaminya bekerja sebagai buruh kebun dengan penghasilan 50 ringgit atau sekitar Rp 172 ribu sehari. Terkadang mereka tidak memiliki uang saat sang suami tidak bisa bekerja karena sakit. Bantuan makanan dan beras berdatangan setelah bendera putih itu berkibar. "Betul-betul tidak ada makanan di rumah," ucap ibu tiga anak itu. "Sebenarnya malu meminta-minta, tapi terpaksa," kata Rohana kepada Tempo, Jumat, 16 Juli lalu.
Kampanye pengibaran bendera putih itu merebak di media sosial Malaysia sejak awal Juli lalu. Awalnya, aksi itu adalah wujud gerakan kepedulian publik setelah angka kasus bunuh diri di Malaysia meningkat akibat krisis ekonomi dan tekanan pandemi. Dalam lima bulan sejak Januari lalu, terjadi 468 kasus bunuh diri atau rata-rata 4 kasus dalam sehari yang dilaporkan ke polisi. Sepanjang tahun lalu, terdapat 631 kasus bunuh diri.
Lewat media sosial, warga Malaysia mendorong mereka yang memerlukan bantuan mengibarkan atau mengunggah bendera putih di depan rumah tanpa perlu merasa malu karena meminta-minta. Kampanye ini pun menyebar cepat. Seperti dilaporkan Associated Press, seorang ibu dan putrinya yang bertahan selama lima hari dengan mengonsumsi biskuit bisa ditolong para tetangga setelah mereka mengibarkan bendera putih. Seorang pedagang kaki lima yang dilanda frustrasi lantaran terlilit utang dan nyaris bunuh diri pun bisa diselamatkan. Satu keluarga pengungsi Myanmar yang hidup dengan satu porsi makanan setiap hari juga akhirnya mendapat pertolongan.
Warga berbincang melalui bendara dan jendela kamar di zona merah Covid-19, di Kuala Lumpur, Malaysia, 29 Juni 2021. REUTERS/Lim Huey Teng
Fenomena pengibaran bendera putih itu juga mendorong tiga mahasiswa Multimedia University Malaysia, yakni Sidhaarth Nagappan, Shaun Mak, dan Cornelius Pang, membuat aplikasi berbasis web untuk membantu orang menemukan lokasi bahan pangan. Lewat aplikasi yang diberi nama Sambal SOS itu pula para donor bisa mengetahui tempat pengibaran bendera putih dan langsung menyalurkan bantuan. "Ini kondisi darurat untuk mereka yang memerlukan bantuan," kata Sidhaarth lewat pesan pendek kepada Tempo, Kamis, 16 Juli lalu. "Aplikasi ini menghimpun data bantuan kemanusiaan secara nasional."
Sidhaarth dan kawan-kawannya membuat aplikasi itu selama empat hari dan merilisnya pada 4 Juli lalu. Nama Sambal SOS dipilih karena mereka terinspirasi hidangan nasi lemak yang biasa dikonsumsi warga Malaysia. Menurut Sidhaarth, dalam kondisi sulit seperti di tengah pandemi saat ini, nasi lemak hangat bisa memberikan ketenangan. Adapun sambal atau saus yang dibaca "SOS" di Malaysia mengacu pada frasa save our souls yang biasa dipakai sebagai simbol mencari bantuan.
Sebelum terkonsentrasi di aplikasi Sambal SOS, informasi tentang permintaan bantuan dan pengibaran bendera putih tersebar di berbagai platform, dari grup percakapan WhatsApp hingga Twitter. Lewat Sambal SOS, penduduk bisa meminta bantuan, melaporkan orang lain di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan, atau menyediakan bahan pangan untuk disalurkan. Aplikasi itu juga memuat daftar pasokan makanan terdekat.
Aplikasi itu menampilkan lebih dari 80 lokasi pasokan makanan yang sebagian besar terletak di Kuala Lumpur dan Putrajaya. Di dalamnya juga terdapat lebih dari 30 tanda "sirene merah" sebagai indikator lokasi mereka yang membutuhkan bantuan. Sidhaarth mengatakan banyak warga Malaysia yang langsung menggunakan Sambal SOS seusai peluncurannya. "Saya sangat bersyukur masih ada banyak orang yang berkontribusi dan mengulurkan bantuan," ujarnya.
Namun, pemerintah malah mencurigai gerakan solidaritas lewat kampanye bendera putih itu. Menteri Negara Bagian Kedah Muhammad Sanusi Md. Nor menganggap kampanye tersebut sebagai gerakan politik untuk menjatuhkan citra pemerintah dan aliansi Perikatan Nasional yang menyokong Perdana Menteri Muhyiddin Yassin. Menurut Sanusi, pemerintah sudah mengatasi pandemi Covid-19 dengan baik. "Ada pihak tertentu yang cemburu dan hendak menunjukkan kegagalan pemerintah, karena itu mereka meminta warga yang butuh bantuan mengibarkan bendera putih," ucapnya seperti dilaporkan Free Malaysia Today.
Sanusi meminta penduduk yang sulit mendapatkan makanan tidak mengibarkan bendera putih karena ada banyak lembaga pemerintah yang menyediakan bantuan. Pengibaran bendera putih, menurut dia, hanya terjadi dalam dua situasi saat orang mengaku kalah, yakni dalam perang atau pertandingan tinju. "Sekarang kita belum kalah, teruskan berjuang. Jadi gunakan saluran yang betul dalam mendapatkan bantuan.”
Seiring dengan merebaknya gerakan bendera putih, kelompok oposisi dan para penentang pemerintah Muhyiddin melancarkan kampanye bendera hitam. Mereka menuntut Muhyiddin mengundurkan diri karena ia dinilai gagal menangani pandemi. Mereka juga menuntut parlemen, yang dibekukan sejak Januari lalu, segera dibuka kembali. Kepolisian Malaysia tengah menyelidiki kampanye bendera hitam ini dengan tuduhan menghasut, mengganggu ketertiban umum, dan menyalahgunakan jaringan Internet.
Zunar menilai rezim Muhyiddin masih dalam fase terus menyangkal kegagalan menangani krisis akibat pandemi. Alih-alih mencari solusi untuk krisis, menurut Zunar, pemerintah justru mencari target lain untuk disalahkan. "Gerakan bendera putih saja disebut aktivitas politik, dianggap mau melawan kerajaan," katanya.
Adapun Sidhaarth mengatakan Sambal SOS adalah inisiatif nirlaba yang dibuat anak-anak muda Malaysia. Gerakan bendera putih di masa pandemi dan pembuatan aplikasi ini, dia menjelaskan, jauh dari spektrum politik. "Kami hanya ingin melakukan apa yang kami bisa untuk memberikan bantuan."
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, SAFWAN AHMAD (KUALA LUMPUR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo