Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengalaman mendekam di penjara dan menyaksikan penderitaan tahanan di penjara Bukit Duri mengilhami Carmel Budiardjo membela para tahanan.
Tapol tak hanya berfokus pada kasus HAM tahanan politik peristiwa Gestok 1965, tapi juga pada kejahatan lebih luas yang dilakukan rezim Soeharto.
PESAN dari organisasi hak asasi manusia Tapol di London menyebar di media sosial mengabarkan berita duka. “Dengan kesedihan besar, kami sampaikan meninggalnya Carmel Budiardjo, pendiri kami, pada Sabtu (10 Juli 2021) pagi pukul 09.00.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu Carmel Budiardjo, demikian kebanyakan orang di Indonesia memanggilnya, akan dikenang karena bahasanya yang lembut dan rapi dalam bertutur tapi tegas bila berbicara tentang hak asasi manusia. Carmel lahir pada 1925 di London dengan nama Carmel Brickman dari orang tua berdarah Yahudi. Ia tumbuh ketika sentimen antisemitisme di Inggris mengalami eskalasi kekerasan selama Perang Dunia II. Saat itu banyak orang Yahudi difitnah mengambil untung dengan menaikkan harga barang. Eskalasi sentimen anti-Yahudi ini yang mendorong Carmel muda menjadi anggota British Communist Party. Bagi Carmel saat itu, hanya partai komunis yang mempunyai sikap oposisi tegas atas antisemitisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap politik transnasional Carmel, yang menjadi strategi Tapol di kemudian hari, mulai dibentuk saat ia menjadi mahasiswa jurusan sosiologi dan ekonomi di London School of Economics. Saat itu usianya 18 tahun. Carmel aktif di organisasi British National Union of Students dan bekerja di bagian internasional.
Kesadaran transnasionalisme Carmel menjadi lebih ideologis dari sekadar antifasisme menjadi sikap antiimperialisme-kolonialisme ketika aktif di organisasi International Union of Student (IUS) yang bermarkas di Praha pada 1947. Aktivitas di IUS itu mempertemukan Carmel dengan Budiardjo, mahasiswa Indonesia di Charles University di Praha. Mereka menikah pada 1950.
Pernikahan dengan Budiardjo membawa Carmel ke Indonesia pada 1951. Di Indonesia, Carmel pernah bekerja sebagai penerjemah di kantor berita Antara. Ia juga menjadi penerjemah bagi Partai Komunis Indonesia. Ia lantas menjadi dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung; dan Universitas Res Publika di Jakarta yang dikelola Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Saat menjadi dosen, Carmel juga menjadi anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang dekat dengan PKI.
Nasibnya berubah drastis setelah peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965. Carmel—yang tegas menyatakan peristiwa tersebut sebagai kudeta Soeharto—bersama suaminya dan jutaan orang yang dituduh sebagai PKI turut ditangkap. Lalu secara sistematis, masif, dan meluas terjadi penangkapan, penyiksaan, pembantaian, pembunuhan di luar hukum serta pembuangan di kamp konsentrasi Pulau Buru. Carmel ditangkap pada 1968 lalu mendekam di beberapa tempat penahanan sebelum ditahan di penjara wanita Bukit Duri bersama ratusan tahanan lain tanpa proses hukum.
Pada 1971, Carmel dibebaskan dan dideportasi ke Inggris. Upaya pembebasan ini hasil kerja keras lobi dan advokasi Amnesty International di London.
Pengalaman mendekam di penjara dan menyaksikan penderitaan para tahanan Bukit Duri tampaknya mengilhami Carmel untuk membela para tahanan. Dalam memoarnya, Surviving Indonesia’s Gulag, Carmel teringat akan ucapan para tahanan agar dia segera bebas. “Keluar dari sini secepat mungkin dan mulailah bekerja untuk membebaskan kami.” Ucapan para tahanan itu memberikan kesan kuat pada diri Carmel. “Meskipun saya belum punya ide saat itu bagaimana akan melakukannya,” ujarnya.
Ide membentuk organisasi Tapol tidak langsung jadi saat Carmel kembali ke London. Ia terlebih dulu belajar dari Amnesty International di sana untuk melakukan kampanye HAM atas para tahanan politik di Indonesia. Ide itu kemudian muncul ketika melihat Amnesty begitu sibuk mengurus pelanggaran HAM di berbagai negara, tidak secara khusus menyinggung Indonesia ataupun isu tahanan politik di Indonesia.
Bekerja pada lembaga HAM internasional berbeda dengan IUS yang lebih ideologis dan politis. Apalagi kampanye antikomunis begitu kuat di negara-negara Barat sebagai dampak Perang Dingin. Carmel menyadari gerakan advokasi dan kampanye HAM yang dia lakukan bakal melepaskan embel-embel ideologis-politik, melainkan akan berlandaskan Deklarasi Universal HAM yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Isu HAM juga akan mendapatkan dukungan lebih luas daripada isu politik.
Tapol akhirnya berdiri pada 1973. Nama itu diambil dari akronim “tahanan politik” dalam bahasa Indonesia. Sebutan tersebut lebih mengacu pada tahanan politik yang dituduh sebagai anggota PKI yang ditahan di berbagai penjara dan kamp konsentrasi Pulau Buru tanpa pengadilan atau fair trial. Visi Tapol dapat kita baca pada pengantar buku Surviving Indonesia’s Gulag. “Aku ingin menjadi suara mereka dalam dunia tempat Indonesia sedikit dikenal dan para korban dari rezim Soeharto diabaikan.”
Tapol berkantor di rumah Carmel di London dengan beberapa relawan yang bekerja sebagai anggota staf. Isu hak asasi manusia Tapol pada awalnya juga sulit dipahami oleh warga dan pengambil kebijakan di Inggris. Karena bukan bagian dari bekas jajahan Inggris, nama Indonesia terdengar asing.
Menyadari hal itu, Carmel menerapkan berbagai metode agar isu HAM tentang tahanan politik di Indonesia mendapat dukungan dan perhatian. Salah satu cara yang paling efektif adalah diseminasi melalui terbitan Bulletin Tapol. Terbitan cetak ini pernah mempunyai 900 pelanggan, dijual di beberapa toko buku dan didistribusikan di 75 negara di Eropa, Amerika, Pasifik, dan Australia, termasuk Indonesia. Saya masih menerima kiriman Bulletin Tapol hingga 2000.
Lobi kepada para politikus dan lembaga strategis juga digencarkan. Carmel membangun koneksi dengan politikus Lord Avery yang menjadi Ketua Grup Hak Asasi Manusia di Parlemen Inggris. Carmel juga melobi kantor Kementerian Luar Negeri dan Persemakmuran, Komisi Eropa, Parlemen Eropa, serta Komisi dan Subkomisi HAM PBB.
Invasi Indonesia ke Timor Timur pada Desember 1975 dan berbagai kejahatan HAM yang makin meluas di Indonesia juga telah mengubah strategi advokasi dan kampanye Tapol. Perubahan itu tampak dari tambahan kalimat organisasi menjadi “TAPOL: The Indonesia Human Rights Campaign”. Dengan tambahan kalimat itu, Tapol tidak hanya berfokus pada kasus HAM para tahanan politik peristiwa Gestok 1965, tapi juga pada kejahatan lebih luas yang dilakukan oleh rezim militer Soeharto. Kekuasaan otoriter Orde Baru telah mengakibatkan pelanggaran HAM yang meluas di Indonesia, terutama di Timor Timur, Papua, dan Aceh. Kejahatan HAM juga makin luas terhadap kelompok-kelompok Islam dengan tuduhan ekstrem kanan pada 1980-an, sebagaimana tampak pada peristiwa Tanjung Priok dan Lampung. Kekerasan negara sejalan dengan stigmatisasi politik yang diberikan dengan cap ekstrem kiri, ekstrem kanan, dan gerakan separatisme.
Atas perannya dalam membangun kampanye dan advokasi internasional, Carmel dihormati dan mendapat penghargaan secara internasional, di antaranya dari organisasi di Papua, Aceh, dan negara Timor Leste.
Bisa dikatakan Carmel adalah orang yang paling gigih dalam menghadapi rezim Soeharto dan pendekatan militeristik yang dilakukan selama 32 tahun berkuasa. Legasi Carmel yang juga penting adalah perlunya strategi transnasional dalam perjuangan HAM. Strategi ini makin relevan sekarang ketika teknologi informasi makin maju dan batas-batas negara makin hilang.
Carmel Budiardjo mungkin sudah pergi dengan damai. Namun perjuangan panjang masih harus dilanjutkan untuk mendapatkan hak para korban kejahatan HAM masa lalu di Indonesia. Sampai sekarang impunitas masih berlangsung. Pelanggaran HAM di Papua masih terus berlanjut dengan penangkapan, pemenjaraan, kekerasan, dan pembunuhan di luar hukum.
WILSON, MANTAN TAHANAN POLITIK DAN STAF AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA 2017-2018
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo