Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa kiranya yang masih bisa diharapkan dari seni hari ini? Apa fungsi seni ketika yang seni dan yang sehari-hari tampak makin campur aduk dan batas-batas kian kabur? Masih mungkinkah seniman menjadi pencipta citraan yang genuine? Dalam rumusan Ade Darmawan, 38 tahun (lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta), seni mati langkah oleh ikon konsumsi yang deras memenuhi ruang-ruang kehidupan.
Seniman, bagi Ade, perlu berhenti sekadar sebagai pencipta dan kini harus menempatkan diri sebagai sosok yang menampilkan kesadaran kritis akan masyarakat spektakel, masyarakat yang hidup di dalam relasi-relasi citraan.
Dalam pameran tunggalnya, "Human Resource Development", di Ark Galerie, Jakarta, 23 September-24 Oktober 2012, Ade menapak tilas mesin-mesin hasrat kita—masyarakat Indonesia—yang serba ideologis, agamis, dan kapitalis. Ia memulung berbagai buku lama dari sejumlah pasar buku loak di Jakarta, memilah-milahnya menjadi tiga tema besar ideologi modernis, yang mulai mekar pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an.
Itulah buku-buku yang menunjukkan bagaimana negara-bangsa dikukuhkan melalui sejumlah pandangan ideologis, masyarakat dinormatifkan melalui pepatah-petitih agama dan disejahterakan melalui mimpi para pengusung kapitalisme. Di dalam ruang pameran, kita melihat buku itu dipilah-pilah secara tematik dalam tiga lemari kaca. Melalui visualisasi gambar dan skema yang diperbesar dalam bentuk mural, Ade menggambarkan bagaimana tiga pilar modernisasi itu tumpang-tindih dan mengalami obyektivasi. Inilah penjelasan diagramatis dari mesin kegilaan (skizofrenik) masyarakat kita sejak akhir 1960-an, yang seluruh dampaknya kita alami sekarang: overbirokratisasi, korupsi, dan politisasi kehidupan agama.
Dalam karya lain, Ade menggubah citraan-citraan statistik menjadi seakan-akan abstraksi personal dalam seri karya cetak-saringnya, Men, Illiterate, Work, Education, Non Formality (6 panel, 2012). Kita memperoleh pseudo-informasi mengenai tingkat keberaksaraan, pendidikan, dan (lapangan) pekerjaan. Citraan yang berbau simbolis muncul pada seri citraan lebah (simbol koloni, organisasi, dan pekerja), misalnya dalam Old Colony and New Working Bee (6 panel, 2012).
Dalam seri karya Permutation (2012), Ade menampilkan diri sebagai seniman-pemulung tilas yang piawai. Kita melihat alat pertukangan dan pengeras, kucing emas dan buah catur, bangsawan dan alat-alat tulis, serta besi-besi penjepit dan mainan anak-anak dijejer-jejerkan dalam lemari-lemari kaca yang rapi. Inilah tilas yang sekali lagi ditemukan Ade di pasar barang bekas untuk mempresentasikan—jika mungkin—hasrat skizofrenik kita.
Pada Tournament (2012), Ade memajang belasan piala berbagai lomba, termasuk yang remeh-temeh, seperti lomba suap-suapan. Ini kan gambaran kegilaan masyarakat (pseudo)-prestasi? Dalam kata-kata filsuf Giles Deleuze dan psikoanalis Felix Guattari, penulis buku Anti Oedipus dan Capitalism and Schizophrenia, proses kapitalisme yang melembagakan yang artifisial selalu dapat dikembalikan seluruhnya ke lingkup keluarga, negara, dan bangsa.
Sebuah kursi kayu boyak yang dipajang di depan barisan piala itu agaknya menggambarkan pandangan kritis Ade. Dalam terminologi Deleuze-Guattari itu, tidakkah yang hendak ditunjukkan oleh presentasi dan obyek-obyek Ade Darmawan adalah sesuatu yang "anti-Oedipus"?
Hendro Wiyanto (penulis seni rupa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo