Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR duka itu datang dari Rumah Sakit Dr Suyoto, Jakarta Selatan. Sosiolog Ignas Kleden wafat pada Senin, 22 Januari 2024, pukul 03.46, setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit tersebut selama sepekan karena gangguan ginjal yang ia derita dua tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignas berpulang pada usia 75 tahun. Ignas meninggalkan seorang istri, Ninuk Kleden-Probonegoro, yang merupakan antropolog; seorang anak laki-laki, Paskal Kleden; dan menantunya, Trisna Adiwibowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita kehilangan sosok intelektual yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya dalam dunia kepenulisan. Ia seorang cendekiawan dan sosiolog yang kritis serta independen. Ignas dikenal luas lewat tulisan-tulisan kritiknya yang tajam yang berlandaskan teori sosial dan filsafat.
Menurut Paskal, anak tunggal Ignas, ayahnya dirawat di Rumah Sakit Dr Suyoto sejak 16 Desember 2023 dan perlu rutin menjalani cuci darah. Ignas sempat pulang untuk merayakan Natal di rumah. Namun ia harus kembali dirawat karena kondisinya melemah. “Kondisi kesehatannya memburuk tujuh bulan terakhir,” kata Paskal kepada Tempo, 22 Januari 2024.
Paskal mengaku sangat kehilangan sosok ayah yang hangat, humoris, dan inspiratif. Salah satu kebiasaan yang kerap mereka lakukan adalah menonton film laga, terutama yang memuat banyak unsur bela diri. Aktor Bruce Lee salah satu jagoan sang ayah. “Kami biasanya berdiskusi seru membahas adegan-adegan pertarungan dalam film yang kami tonton,” ujar Paskal, yang baru saja meraih gelar doktor di bidang kebijakan publik dari Australian National University pada Desember 2023.
Kesukaan pada film laga, tutur Paskal, berawal dari ketertarikan sang ayah pada dunia bela diri. Ignas tertarik pada kemahiran ayahnya, Yohanes Djuan Kleden, dalam seni bela diri.
Dalam hal makanan, Ignas sangat menyukai ikan goreng. Ia kurang menyenangi makanan seperti bakso dan mi ayam karena, sebagai orang Indonesia timur, lidahnya tidak familier. Namun, saat kesehatannya menurun dua tahun terakhir dan dokter melarang kedua makanan tersebut, Ignas justru mulai menggemari sajian itu.
“Saya sering diminta ayah beli mi ayam. Dan ibu saya akan marah,” tutur Paskal. Menurut Paskal, ibunya, Ninuk, memang sangat ketat dalam menjaga kesehatan Ignas.
Ignas juga dikenal sebagai penyayang binatang. Di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, ia memiliki seekor kucing yang sangat dekat dengan dirinya. Namanya Okat. Nama itu diambil dari warna bulu kucing tersebut, cokelat. Ignas memelihara kucing kampung itu sejak 2016, yang awalnya kerap mampir ke rumahnya untuk mencari makan.
Saking dekatnya, saat Ignas menonton acara televisi, Okat selalu duduk mendampingi. Okat selalu menyandarkan kepalanya pada kaki Ignas. Bahkan, menurut Paskal, saat ayahnya mulai sakit dan masih dirawat di rumah, Okat ikut menemaninya. “Itu kucing kesayangan beliau,” ucap Paskal.
•••
LAHIR di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948, Ignas Kleden adalah anak kelima dari 13 bersaudara—tiga saudaranya meninggal sewaktu bayi—pasangan Yohanes Djuan Kleden, guru kepala sekolah dasar, dan Katarina Sabu Hadjon. Setelah mengenyam pendidikan Seminari Menengah San Dominggo, Hokeng, Flores Timur, Ignas melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero, Maumere.
Lulus dari Ledalero, Ignas menempuh pendidikan tinggi di Jerman. Gelar master of art bidang filsafat ia peroleh dari Hochschule für Philosophie, Muenchen, pada 1981. Untuk gelar S-3, ia mendapatkannya di bidang sosiologi dari Universität Bielefeld pada 1995.
Ketika masih di Flores, saat berusia 20-an tahun awal, ia sudah sering menulis artikel di majalah Basis di Yogyakarta, Budaya Jaya di Jakarta, dan majalah Tempo. Setelah hijrah ke Jakarta pada 1974, Ignas makin aktif menulis baik di majalah maupun di jurnal dan menjadi kolumnis tetap majalah Tempo.
Selain menulis, ia berkarier di bidang perbukuan dan penelitian. Ia pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Di Jakarta, Ignas sempat bekerja sebagai editor di beberapa penerbit buku, sampai akhirnya menjadi peneliti di lembaga penelitian The Society for Political and Economic Studies. Pada 2000, ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.
Ignas menikah dengan sesama peneliti, Ninuk Probonegoro, di Leiden, Belanda, pada 1980, sewaktu Ninuk bersekolah di sana. Setahun kemudian, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Paskal Kleden.
Bagi Ninuk, mendiang suaminya adalah mitra perdebatan (sparring partner) sepanjang hidupnya. Semuanya dimulai dari perdebatan di ranah akademis. Sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ninuk sering mengikuti seminar.
“Suatu hari, muncul seseorang dari Flores yang tidak saya kenal. Dengan elegan ia berhasil mematahkan argumen-argumen saya. Gaya bicaranya sangat berbeda dengan gaya bicara saya yang kata orang eksplosif,” tutur doktor di bidang antropologi ini.
Perdebatan tidak hanya terjadi di dunia akademis, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat mengemudi, Ninuk sering memberi peringatan dengan mengatakan “awas, awas, awas!”. Namun Ignas selalu merespons “jangan khawatir, itu hanya perbedaan perspektif (merujuk pada perbedaan posisi duduk antara pengemudi dan penumpang)”. “Ini hanyalah contoh kecil perdebatan sehari-hari,” ucap Ninuk.
Paskal Kleden, yang lahir di Jerman ketika Ignas menempuh studi di sana, punya kenangan sendiri. Saat mengerjakan disertasi doktor, ayahnya bisa menghabiskan waktu untuk menulis dari pukul 9 malam sampai 3 dini hari.
“Sore ayah pulang kuliah, makan, lalu nonton TV sampai jam 9, baru lanjut menulis," tutur Paskal. Namun, setelah kembali ke Jakarta, Ignas lebih sering menulis pada siang-malam. Ia selalu menulis di meja kerjanya yang menghadap area kebun.
Menurut Paskal, ayahnya terbiasa bangun sekitar pukul 7 atau 8 pagi. Ia kemudian membaca koran sembari merokok. Setelah itu, ia menyantap sarapan. Terkadang kebiasaan itu ia balik, makan dulu, baru kemudian membaca koran. Namun Ignas mulai meninggalkan kebiasaan merokok saat kesehatannya menurun.
•••
ADIK perempuan Ignas, Hermien Y. Kleden, mengenang sosok kakaknya sebagai orang yang egaliter dan penyayang. Menurut Hermien, dalam keluarga, Ignas bukan sosok yang banyak bicara. “Tapi, tatkala saudara atau saudarinya membutuhkan bantuan apa pun, ia selalu hadir dengan pemikiran jernih, opsi-opsi solusi, dan kedermawanan hati,” katanya.
Bagi Hermien, mendiang kakaknya juga seorang intelektual dan pemikir independen. “Dia bekerja dengan suatu disiplin ilmiah yang kritis, dialektis, konsisten, dan resourceful,” tuturnya.
Menurut Hermien, sikap yang dimiliki Ignas itu tak lepas dari tradisi pendidikan dalam keluarga mereka yang sangat demokratis. Ayah mereka yang seorang guru sekolah dasar mewariskan sikap dialogis yang terbuka terhadap berbagai pendapat.
Misalnya, kalau mereka mengatakan seseorang tidak adil, sang ayah akan bertanya apa buktinya. Hal itu membuat Ignas dan saudara-saudaranya terlatih bertanggung jawab atas suatu fakta, pernyataan, atau argumentasi. Ignas sendiri adalah kutu buku. Ia membaca ribuan buku koleksinya dengan spesialisasi filsafat, teologi, ilmu pengetahuan manusia, dan politik.
Dia juga pembaca sastra yang serius sekaligus secara persisten menulis kritik sastra serta menyumbang pemikiran bagi pengembangan sastra Indonesia.
Hermien mengungkapkan, yang membuat dia kagum kepada Ignas adalah kekuatan dan kemampuan sang kakak dalam membaca begitu banyak buku dan mengontekstualisasikannya dalam berbagai situasi sosial. “Cobalah tarik salah satu buku itu dari rak secara acak saja. Pasti buku itu telah diberi highlight dengan pensil dan di beberapa bagian diberi kertas tempelan dengan catatan,” tuturnya.
Menjelang akhir hidupnya, Ignas juga masih menyempatkan diri membaca karya-karya biografi tokoh dunia dan Indonesia yang bagus. Misalnya biografi Barack Obama (A Promised Land) dan Hillary Clinton (Living History).
Selain itu, di kalangan adik-adiknya, Ignas dikenal sebagai partner diskusi yang mengasyikkan. Ignas dan adik-adiknya bisa berbicara berjam-jam tanpa terasa tentang berbagai isu dan aspek kehidupan. Ignas juga amat sabar menuntun mereka dalam diskusi tersebut dengan memberikan berbagai perspektif yang memperluas cakrawala untuk melihat lebih jernih suatu isu, topik, dan pengetahuan.
Pernah suatu hari Ignas berdiskusi dengan adiknya, Leo Kleden, selama hampir lima jam. Topiknya mula-mula seputar pisang goreng dan ikan bakar. Tak sampai sejam kemudian, tiba-tiba pokok perdebatan sudah berpindah ke pemikiran tiga filsuf, yakni Karl Popper, Martin Heidegger, dan Paul Ricœur, dalam bahasa campuran Lamaholot (bahasa lokal), Inggris, dan Jerman.
Sosok Ignas sebagai teman diskusi yang mengasyikkan juga diakui oleh Heru Nugroho, 65 tahun, yang sama-sama belajar di Universität Bielefeld. Guru besar sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu menuturkan, dalam berdiskusi, meski secara keilmuan lebih unggul dibanding kawan-kawannya, tidak pernah sekali pun Ignas bersikap menggurui. “Jika diumpamakan, ilmu saya hanya 8, dia akan mengimbangi hanya satu tingkat di atas saya. Tapi, kalau dikejar lagi, dia tetap satu tingkat di atas,” ujar Heru.
Dalam perjalanan hidupnya, Ignas yang mengabdikan diri dalam dunia kepenulisan memilih menjadi pengajar tanpa harus terikat institusi. Dia memberikan kuliah sebagai pengajar tamu di dalam dan di luar negeri. Di antaranya di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat; Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; dan di sebuah universitas di Tokyo, Jepang. Dia juga banyak sekali memberikan layanan edukasi publik melalui lembaga Sekolah Demokrasi yang diasuhnya selama 10 tahun di berbagai wilayah Tanah Air.
Satu lagi kenangan berkesan akan Ignas yang selalu diingat Hermien Kleden adalah bahwa ia pemain organ yang baik dan mencintai musik klasik, dari Bach, Mozart, hingga Beethoven. “Masih terkenang jelas dalam ingatan, ia kerap mengajari saya lagu-lagu dalam bahasa Inggris dan Italia di masa kanak-kanak saya,” ucap jurnalis dan penulis ini.
•••
JAUH sebelum berpulang, sebetulnya Ignas Kleden berencana membangun perpustakaan umum. Rencana itu ia sampaikan kepada Bona Beding, kerabat dekatnya yang sudah dianggap sebagai adik sekaligus partner diskusi selama ini.
Atas rencana itu, koleksi buku Ignas yang berjumlah sekitar 4.000 kemudian dipindahkan ke rumah Bona di Cimanggis, Bogor, Jawa Barat. “Sudah sejak tujuh tahun dipindahkan ke tempat saya, tapi masih banyak yang tersisa di rumahnya,” kata Bona. Koleksi buku Ignas itu dipercayakan kepada Bona untuk dirawat.
Meski sama-sama berasal dari Flores, Bona, yang juga berlatar pendidikan filsafat, baru mulai dekat dengan Ignas pada akhir 1990-an, setelah Ignas meraih gelar doktor dari Jerman. Ignas juga menjadi wali dalam pernikahan Bona.
Kedekatan mereka kemudian makin intens lewat diskusi-diskusi, biasanya di rumah Ignas. Dalam pandangan Bona, kelebihan Ignas adalah mampu melihat apa yang tidak dilihat orang pada umumnya. Ignas juga mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit.
Bona mencontohkan saat Ignas menjadi pembicara dalam acara bedah buku
Tapak-tapak Tak Bermakna: Kumpulan Cerpen dan Puisi (2006). Buku itu merupakan kumpulan puisi dan cerita pendek anak-anak sekolah menengah atas di Ledalero dalam sebuah perlombaan sastra yang digelar di sana.
Dalam acara tersebut, Ignas memaparkan pendapatnya dengan argumentasi. Menurut Ignas, judul buku itu semestinya bukan “Tapak-tapak Tak Bermakna”, tapi “Makna-makna Tak Bertapak”, karena penciptanya adalah anak-anak SMA yang menghasilkan karya luar biasa tapi sering tak terlihat. “Itulah contoh bagaimana Ignas mampu melihat yang tidak bisa dilihat kita sebagai awam,” tutur Bona.
Bona menuturkan, sebelum Ignas meninggal, mereka merancang penerbitan buku kumpulan artikel Ignas yang belum atau sudah dimuat di sejumlah media massa. “Setidaknya ada 16 buku yang rencananya diterbitkan. Di antaranya membahas sastra, filsafat, dan teologi,” ujar pria yang juga memiliki penerbit ini.
Menurut Bona, tulisan terakhir karya Ignas berjudul “Seni Budaya sebagai Referensi”. Artikel tersebut ditulis pada 25 Maret 2021 dan belum pernah dipublikasikan.
Hal yang menarik dari Ignas sebagai penulis, Bona menambahkan, adalah ia memiliki kebiasaan menulis tangan draf artikel sebelum mengetik di komputer. “Hampir semua artikel karya Ignas memiliki salinan draf tulisan tangan,” kata Bona.
Barangkali, menurut Bona, kebiasaan itulah yang membuat ingatan Ignas sangat tajam. Ignas pun cenderung membuat artikel ketimbang menulis satu rangkaian buku utuh. Buku karyanya antara lain Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, yang memuat esai-esai sastranya. Juga Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan. Buku itu berisi karangan Ignas yang terbit tiap bulan di Jurnal Pasar Modal Indonesia, Jakarta.
“Menurut Ignas, melalui tulisan pendek, orang lebih mudah memahami apa yang dimuat di dalamnya,” ujar Bona menirukan alasan Ignas lebih banyak menulis artikel.
Adapun sosiolog Charles Beraf sangat terkesan pada pemikiran Ignas yang disampaikan dalam seminar teologi kontekstual di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero pada 15 September 2018. Dalam seminar itu, Ignas menyampaikan bahwa seorang teolog, agamawan, yang mempelajari teologi mesti membuka diri juga terhadap konteks.
“Bagaimana mengakarkan agama, mengakarkan Injil dalam Katolik, dalam konteks masyarakat,” kata Charles. “Jadi kita tidak bisa bicara Tuhan yang jauh sekali di atas, tapi juga menghadirkan Tuhan yang historis, Tuhan yang menyejarah, Tuhan yang dekat dengan konteks hidup masyarakat.”
Dengan demikian, Charles mengutip pendapat Ignas, teolog adalah orang yang harus berakar, historis, terlibat dalam kehidupan masyarakat. Ia tidak bisa menutup diri karena seorang intelektual, seorang teolog. “Dia harus melibatkan diri dalam konteks masyarakat,” ujarnya.
“Yang menarik, Ignas berpendapat bahwa solusi untuk mengatasi kemiskinan atau kemunduran di Indonesia timur itu hanya dengan pintu pendidikan dalam arti luas. Pendidikan formal, tapi juga pelatihan, workshop, itu mesti digencarkan,” kata Direktur Detukeli Research Centre di Ende, Flores, ini.
Charles menuturkan, ia mulai dekat dengan Ignas pada 2007. “Saya ke Jakarta, kerap ke rumah Pak Ignas di Bintaro, berbicara dan dia bicara banyak,” tuturnya. “Pak Ignas juga yang merekomendasikan saya mengambil studi sosiologi di Filipina,” ujar Charles, yang kemudian kuliah magister ilmu sosiologi di University of the Philippines.
Selain itu, tutur Charles, yang lebih personal, Ignas memberi kata pengantar untuk bukunya, Ulu Eko (2018). “Saya tahu dia punya kritik yang sangat tajam, tapi proporsional. Artinya dia tidak hanya membanting orang, tapi juga memberi apresiasi atas karya orang,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Iwan Kurniawan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seorang Cendekiawan Kritis, Ayah yang Humoris"