Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lukman Setiawan ikut mendirikan majalah Tempo bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Usamah, Christianto Wibisono, dan Harjoko Trisnadi pada 1971.
Dia kemudian ikut membangun harian Bisnis Indonesia pada 1985.
Lukman meninggal di Singapura pada Senin malam, 16 Desember 2024, dalam usia 90 tahun.
SUATU malam di Hotel Fairmont, Jakarta, terdengar dari jauh suara orang bernyanyi. Nyanyian itu terdengar makin jelas saat memasuki ruang makan di restoran House of Yuen. Penyanyinya amatir, pria tua di kursi roda dengan wajah girang dan ditemani seorang perempuan. Dia adalah Lukman Setiawan, pendiri Tempo dan Bisnis Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan yang menemaninya adalah putri keduanya, Savitri Setiawan. Saya biasa memanggilnya Vivi. Lukman dikenal menyukai musik Barat. Satu lagu favoritnya adalah “Goodnight, Irene” yang pertama kali dipopulerkan Lead Belly dari Amerika Serikat pada 1948. Saya lupa judul lagu lain yang Lukman nyanyikan malam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam jamuan makan malam itu ada petinggi Jawa Pos Group dan PT Grafiti Pers, yang dulu menjadi penerbit majalah Tempo. Saya datang atas undangan istri Eric Samola, mantan Direktur Utama PT Grafiti Pers.
Pada malam itu, Lukman mengenakan kemeja batik bernuansa kuning dan biru serta bercelana panjang cokelat. Rambutnya perak seperti saya. Ia berkacamata dan ada arloji kecil di pergelangan kirinya. Persamuhan itu juga dihadiri Goenawan Mohamad, pendiri sekaligus pemimpin redaksi pertama Tempo.
Saya berdiri dari kursi dan menyambut Lukman yang duduk manis di kursi roda. “Anda masih mengenal saya?” kata saya, sembari menjabat tangannya. Di usianya yang saat itu 89 tahun, dia masih dapat berkomunikasi dengan baik. Namun daya ingatnya tak lagi sebugar tubuh kekarnya dulu.
“Siapa, ya?” Lukman balik bertanya. Upaya saya mengembalikan memorinya dengan menyebut nama tidak berhasil.
Perkawanan kami dimulai pada 1960-an. Kala itu saya redaktur di mingguan Star Weekly dengan pemimpin redaksi P.K. Ojong. Presiden Sukarno menutup majalah itu pada 11 Oktober 1961 karena dianggap keras mengkritik kebijakan pemerintah. Atas permintaan Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur DKI Jakarta saat itu, saya dan beberapa mantan awak Star Weekly mendirikan mingguan Djaja. Empat tahun berikutnya, P.K. Ojong mendirikan harian Kompas bersama Jakob Oetama.
Di kantor mingguan Djaja, yang menempati bekas gedung Star Weekly di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 86-88, Jakarta Barat, Lukman kerap berkunjung. Saat itu dia bekerja di sebuah surat kabar berbahasa Mandarin, lalu bergabung dengan Kompas. Dia datang karena berteman akrab dengan seorang pewarta Djaja—saya biasa memanggilnya Asike. Dari sini saya dan Lukman bersahabat.
Pertemanan itu terus terjalin setelah saya tak lagi di Djaja dan Lukman hengkang dari Kompas. Kami, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Usamah, Christianto Wibisono, Lukman, dan saya, membicarakan pendirian majalah Tempo. Lukman termasuk yang melobi Ciputra—pendiri dan Ketua Yayasan Jaya Raya—serta Eric Samola, sekretaris yayasan.
Rapat terakhir sebelum penerbitan edisi perkenalan pada Februari 1971 berlangsung di kediaman Ciputra di Slipi, Jakarta Barat. Pertemuan itu menyepakati pendirian Tempo dimodali Yayasan Jaya Raya.
Sebagai awak media seumur jagung, kami banyak merangkap jabatan. Sementara jabatan direktur utama dipegang Eric Samola, saya menjabat direktur keuangan dan umum. Lukman menjadi Direktur Utama PT Tempo Printing. Goenawan menjabat direktur produksi merangkap pemimpin redaksi. Adapun Fikri menjadi direktur pemasaran sekaligus wakil pemimpin redaksi.
Lukman Setiawan (kiri), Fikri Jufri, Harjoko Trisnadi, Goenawan Mohamad, dan Eric Samola dalam acara ulang tahun Tempo ke-16 di gedung Tempo, Jakarta, 1987. Dok. Tempo/Gatot Sri Widodo
Sebagai wartawan Tempo, Lukman bertugas meliput isu olahraga. Ia memiliki jaringan luas di kalangan atlet. Bukan sebatas hubungan pewarta dengan narasumber, dia pun mengenal narasumbernya secara pribadi, seperti atlet bulu tangkis Rudy Hartono. Perkawanan yang luas ini membuat Lukman kerap memperoleh bahan cerita dan peristiwa olahraga yang eksklusif.
Sebagai pekerja media yang menyajikan informasi di media cetak, dia menulis dengan apik. Kabar olahraga yang ditulisnya mengalir. Tentu ia meramunya agar enak dibaca dan perlu. Laporannya lebih “basah” dibanding artikel di media apa pun yang menuliskan isu olahraga yang sama.
Bukan hanya di bidang tulis-menulis, di dunia foto, nama Lukman cukup mentereng. Popularitasnya makin melejit saat ia berhasil menangkap momen kiper tim nasional Indonesia, Judo Hadianto, “terbang” saat hendak menghalau bola yang masuk ke sudut gawangnya pada 1984. Foto itu banyak dipakai surat kabar luar negeri.
Karya lain adalah foto atlet bulu tangkis Minarni Soedarjanto. Lukman memotret atlet Indonesia era 1959-1975 itu saat berlaga dalam Asian Games 1970 di Bangkok. Foto itu dipakai sebagai sampul perdana Tempo ketika meluncurkan edisi perkenalan pada Februari 1971 dengan judul “Tragedi Minarni dan Kongres PBSI”. Kisah di balik foto ini mengungkap temuan tentang cedera serius yang dialami Minarni.
Lukman gigih memperhatikan kesehatan. Gaya hidup sehat itu ia tularkan kepada kawan-kawannya sehingga suatu ketika kami punya klub sepeda dan kelompok olahraga bela diri di Tempo. Kawasan Stadion Gelora Bung Karno menjadi medan ia berolahraga, terutama lari. Pada masanya, Lukman sangat sehat dan bugar.
Suatu hari, kami, termasuk Lukman, didatangi seorang wartawan. Ia bilang akan menulis buku biografi Lukman. Saya berbicara banyak tentang Lukman kepada jurnalis itu. Namun hingga kini saya tak pernah melihat buku itu, apalagi membacanya.
Lukman meninggalkan Tempo untuk ikut mendirikan harian Bisnis Indonesia pada 1985. Ide awal surat kabar ekonomi dan bisnis ini sebelumnya diutarakan Eric Samola, tapi mandek saat Eric jatuh sakit.
Lima tahun belakangan, kesehatan Lukman merosot. Tubuhnya tak sekekar dulu. Ingatannya makin pendek. Sejak perjumpaan di House of Yuen di Hotel Fairmont pada 15 Juni 2023 itu, saya tak lagi bertemu dengan Lukman. Saya hanya sekali melihat dia di foto yang dikirimkan anaknya. Foto itu memperlihatkan Lukman dan istrinya duduk dengan ditemani tiga anaknya di belakang.
Namun, suatu pagi, selepas bangkit dari ranjang, saya membaca pesan yang mengentak di aplikasi percakapan yang dikirim putri Lukman dari Singapura, “Pak Lukman sudah meninggal.” Saya terpukul membaca kalimat ini. Lukman berpulang pada Senin, 16 Desember 2024, pukul 23.57 waktu Singapura. Usianya 90 tahun.
Saya menemui Lukman Setiawan untuk terakhir kali di di Rumah Duka Grand Heaven, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Kamis, 19 Desember 2024. Rasanya sehangat pertemuan pertama kami di kantor mingguan Djaja di Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta, 60 tahun silam. ●
Artikel ini ditulis oleh wartawan Tempo, Ihsan Reliubun, dari hasil wawancara dengan Harjoko Trisnadi di rumahnya di Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada Senin, 23 Desember 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo