Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Yos Suprapto mengenai pangan dan kekuasaan dibatalkan Galeri Nasional.
Pemerintah menilai lima lukisannya vulgar dan bermuatan politik.
Pameran ini didasari hasil penelitian Yos mengenai dampak pupuk kimia pada pertanian.
PINTU kaca Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, yang sering disebut Galnas, tetap terkunci. Sampai Sabtu, 21 Desember 2024, bahkan Yosef “Yos” Suprapto, perupa senior Yogyakarta, tidak bisa masuk menyaksikan lukisan-lukisannya yang telah terpasang di sana dalam pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang seharusnya dibuka pada 19 Desember 2024 dan berlangsung hingga 19 Januari 2025. Pelukis 72 tahun berambut putih sebahu itu hanya bisa melongok-longok dari pintu kaca gedung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Yos sebenarnya hendak membawa Bonnie Triyana, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dikenal peduli terhadap kebudayaan, dan sejumlah wartawan masuk ke gedung. Pihak galeri tak mengizinkan dengan alasan belum ada persetujuan Sekretariat Jenderal Kementerian Kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Galeri Nasional, yang menggembok gedung, menggelapkan ruangan, dan tak mengizinkan pameran Yos beberapa jam sebelum acara pembukaan, itu mengundang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta turun. “Tidak ada argumentasi rasional dari pihak Galnas. Negara berperan aktif mengekang kebebasan ekspresi,” kata Alif Fauzi Nur Widiastomo, pengacara publik LBH Jakarta, di kantornya pada Sabtu, 21 Desember 2024.
Yos mengatakan telah meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengusut “pembredelan” pamerannya. Pada Jumat, 20 Desember 2024, Komisi telah melayangkan surat kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Kepala Galeri Nasional Indonesia untuk meminta keterangan mengenai dugaan pemberangusan pameran itu. “Kami akan mengawal terus pemanggilan ini,” ucap Alif.
Pameran ini dirancang Yos dan Galeri Nasional sejak 2022. “Akhir 2022, saya memasukkan proposal ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2023, proposal itu disetujui,” tutur Yos. “Saya mendapat dana sekitar Rp 1,4 miliar, tapi semua dana dipegang Galnas. Sampai sekarang saya hanya diberi Rp 60 juta untuk ongkos produksi dan Rp 3 juta untuk transportasi Yogyakarta-Jakarta.”
Yos Suprapto dan lukisan Konoha II/Tempo/Subekti.
Isu utama pameran adalah pertanian. Selama 15 tahun Yos melakukan riset ilmiah ke berbagai provinsi. Ia berpendapat bahwa revolusi hijau merugikan petani. “Pupuk kimia itu hanya nutrisi untuk tanaman, tapi berbahaya bagi kesuburan tanah,” ujarnya. Ia melihat tanah di banyak lahan pertanian malah mengeras bagai batu.
Yos mencoba mencari solusi dengan mempelajari pemikiran Masanobu Fukuoka, ahli pertanian Jepang yang mengembangkan pertanian alami. Ia juga berkunjung ke kampung Baduy di Banten untuk mempelajari sistem pertanian setempat. Ia meriset tanaman-tanaman lokal yang memiliki kandungan mineral tinggi dan bisa kembali membuat tanah subur.
Pameran lukisannya di Galeri Nasional ini menyertakan hasil penelitiannya itu. “Penelitian tanah itu memakai duit saya sendiri. Pengiriman sampel tanah dari Aceh sampai Sorong sebesar Rp 40 juta juga masih memakai dana pribadi. Seharusnya itu didanai Galnas karena termasuk rencana anggaran biaya dalam proposal,” kata Yos.
•••
YOS Suprapto adalah pelukis yang lahir di Surabaya pada 26 Oktober 1952. Dia dikenal sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI, yang kemudian berkembang menjadi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, angkatan 1970. Ia tak menyelesaikan studinya karena pecah Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), unjuk rasa besar mahasiswa yang memprotes kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, pada 1974.
Sebelum Malari meletus di Jakarta, Yos menggalang beberapa unjuk rasa di Surabaya yang menentang investasi Jepang. Saat itu Jepang dianggap sebagai pemodal asing yang ingin menguasai perekonomian Indonesia. Kerusuhan pecah di Surabaya dan ia dicari aparat keamanan.
Yos lari ke Denpasar, Bali, dan menemui Herbert Feith, indonesianis berkebangsaan Australia yang meneliti politik Indonesia sejak 1950-an. Dia lalu pergi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan dibantu teman-temannya terbang ke Darwin, Australia.
Selama 1974-2000, Yos tinggal di Negeri Kanguru. Dia melanjutkan kuliah hingga meraih PhD di bidang sosiologi kebudayaan di Southern Cross University, Lismore, New South Wales. Selama di sana dia juga aktif menyumbang sketsa-sketsanya untuk Independen, majalah bawah tanah yang diterbitkan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) setelah majalah Tempo dibredel pada Juni 1994. Beberapa contoh gambar tinta hitam di atas kertas gaya sampul Independen juga rencananya dia pajang dalam pameran di Galeri Nasional itu. Belakangan, Yos juga tertarik pada pertanian dan aktif meneliti serta mengembangkan metode pertanian alami.
Untuk rencana pameran ini, Galeri Nasional menunjuk Suwarno Wisetrotomo, kurator seni dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, sebagai kurator. Selama Oktober-November 2024, Suwarno tiga kali mengunjungi studio Yos di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. “Semua lukisan saya yang hendak saya pamerkan dia lihat dan tidak ada komentar apa pun dari dia,” ucap Yos.
Menurut Yos, dalam kunjungan kedua, Suwarno bahkan didampingi para petinggi Galeri Nasional, seperti Ketua Tim Museum dan Galeri Indonesia Heritage Agency Zamrud Setya Negara dan Penanggung Jawab Unit Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra. “Keduanya juga tak ada keberatan apa pun saat itu,” ujar Yos. Bahkan, pada akhir November 2024 itu, Suwarno dan juru kamera dari Galeri Nasional membuat video yang membahas lukisan bertema kedaulatan pangan.
Yos Suprapto menurunkan lukisan Air Mata/Tempo/Subekti.
Sejak Selasa, 10 Desember 2024, Yos bersama asistennya, perupa Munir dari Yogyakarta, menginap di Wisma Seni Galeri Nasional. Mereka mulai memasang instalasi dan lukisan tiga hari kemudian. Pada Senin, 16 Desember, semua lukisan dan instalasi sudah terpasang, termasuk video hasil wawancara dengan Suwarno yang berdurasi 1 jam 40 menit. “Seharusnya pada 15 Desember Suwarno mendampingi kami mensupervisi pemasangan, tapi dia tidak datang,” kata Yos.
Pada Selasa, 17 Desember, pukul 10.00, Yos menggelar konferensi pers di Galeri Nasional tanpa Suwarno. Yos baru bisa menghubungi sang kurator pada sorenya. Dalam percakapan via telepon itulah Suwarno menyatakan bahwa dia menolak dua lukisan berjudul Konoha 1 dan Konoha 2 karena tidak sesuai dengan kuratorial. Yos tidak bersepakat karena dua lukisan itu, menurut dia, bagian dari keseluruhan pameran.
Lukisan Konoha 1 menggambarkan sosok seperti mantan presiden Joko Widodo yang duduk di singgasana dan di bawahnya dua orang tengah berkelahi. Dua kaki “sang raja” menginjak punggung mereka. Konoha 2 menggambarkan dua sosok telanjang yang tengah dijilati sekelompok makhluk. “Itu metafora prinsip asal bapak senang, saling jilat,” tutur Yos. Lukisan ini, menurut Yos, adalah modifikasi sebuah lukisan lamanya yang telah dibeli Lin Che Wei, pengusaha yang kini dipenjara dalam kasus korupsi minyak goreng.
Sesungguhnya gambar-gambar itu tidak begitu mengejutkan. Publik seni rupa sudah lama mengenal idiom satire semacam itu, yang dulu banyak digarap Semsar Siahaan, Taring Padi, sampai Yayak Atmaka.
Yos menuturkan bahwa semua lukisannya di pameran sesungguhnya sebuah narasi bersambung yang kronologis. Di pameran itu, Yos juga menaruh sebuah instalasi peta Indonesia di lantai. Di berbagai titik pulau dia tempatkan gumpalan-gumpalan tanah hasil penelitiannya. “Ini tanah-tanah keras membatu yang saya datangkan dari 38 provinsi,” ucapnya.
Semua lukisan yang mengelilingi peta berkisah tentang kekuasaan yang menghalangi munculnya kedaulatan pangan. Yang pertama, ada lukisan sepanjang 10 meter berjudul Bangkit. Lukisan ini terdiri atas tujuh fragmen, dari zaman Indonesia gemah ripah loh jinawi, masa pembantaian 1965 yang memunculkan kultur ketakutan, sampai era pertanian rekayasa dengan pupuk kimia. Dua lukisan Konoha berkaitan dengan hal ini.
Agar pameran tetap berlangsung, Yos melunak. Dia bersedia menutupi seluruh lukisan Konoha 2 dengan kain hitam. Adapun untuk lukisan Konoha 1, hanya muka “Jokowi” yang akan ditutupi. Penutupan kemudian mulai dilakukan.
Niscaya/Tempo/Subekti.
Pada Kamis pagi, 19 Desember 2024, Yos menyediakan waktu untuk tur pameran kepada staf Galeri Nasional dan relawan. “Ini semacam lecture kepada staf Galnas,” katanya. Siangnya, tiba-tiba Galeri mengundang Yos beserta Munir dan Suwarno mengikuti rapat. Rapat dihadiri Zamrud Setya Negara dan Jarot Mahendra serta bawahan mereka, yakni Bayu, Bramantya, dan Desi. Galeri meminta Yos menurunkan tiga lukisan lagi, yakni Keniscayaan, Politik Dagang Sapi, dan Memberi Makan Anjing-Anjing. Suwarno mendukung permintaan petinggi Galeri.
Tiga lukisan yang dipersoalkan itu tidak begitu sarkastis. Memberi Makan Anjing-Anjing, misalnya, menggambarkan seorang petani bercaping dikerumuni anjing-anjingnya. “Di desa-desa, umum petani memiliki anjing,” ujar Yos. Perdebatan pun terjadi. “Saya heran, kalau lima lukisan itu dicopot, sepertiga ruangan bisa kosong. Tapi saya diancam pameran tidak akan dibuka.”
Dalam pertemuan itu, Suwarno juga secara resmi mengundurkan diri. Bagi Yos, sikap itu menunjukkan Suwarno lepas tangan dan tidak bertanggung jawab. “Saya tak habis mengerti bagaimana Warno tak bisa menghubungkan persoalan sistem pangan kita dengan kekuasaan,” ucapnya. Rapat itu selesai tanpa kesepakatan.
Dalam pernyataan tertulis pada Jumat, 20 Desember 2024, Suwarno hanya menyebutkan dua lukisan yang ia nilai menggambarkan opini seniman tentang praktik kekuasaan yang tidak sejalan dengan tema kuratorial dan berpotensi merusak fokus terhadap pesan dari tema pameran. “Dua karya tersebut 'terdengar' seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” katanya.
Lukisan 2019/Tempo/Subekti.
Suwarno tidak menyetujui dua karya tersebut dipajang, tapi Yos tetap ingin memamerkannya. Perbedaan pendapat ini, menurut Suwarno, terjadi selama proses kurasi yang dimulai secara intensif sejak Oktober 2024 hingga hari pembukaan pameran. Karena tidak ada kesepahaman yang tercapai, dia mengundurkan diri sebagai kurator pameran. “Bagi saya, seorang kurator bertanggung jawab terhadap kesesuaian tema yang disepakati dengan materi pameran—dan, bagi saya, sebagai seorang kurator, pendapat saya penting untuk dipertimbangkan oleh seniman.”
Diskusi kembali digelar oleh wakil Galeri Nasional dan Yos, tapi tetap menemui jalan buntu meskipun Yos mengaku bersedia berkompromi dan menutup lima lukisannya yang dipersoalkan itu dengan kain hitam. Beberapa jam sebelum acara pembukaan, Galeri mengatakan pembukaan ditunda atas perintah pejabat Kementerian Kebudayaan. Pintu Gedung A lalu digembok dan lampu dimatikan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan pembatalan pameran Yos itu berhubungan dengan karya yang dianggap kurator tidak sesuai dengan tema. Beberapa lukisan, dia menjelaskan, bermuatan politik. “Bahkan mungkin makian terhadap seseorang,” tutur politikus Partai Gerindra itu pada Jumat, 20 Desember 2024. “Kemudian ada yang telanjang. Sedang bersetubuh. Itu tidak pantas.”
Fadli menyebutkan ada lukisan orang telanjang memakai topi yang menggambarkan identitas budaya tertentu, seperti topi yang biasa dikenakan orang Jawa, raja Jawa, atau raja Mataram. Dia menuding isi lukisan tersebut masuk kategori bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan. “Itu kan bisa membuat orang tersinggung,” ujar kolektor piringan hitam, keris, dan lukisan tersebut.
Yos membantah pernyataan Fadli bahwa otoritas pameran berada di tangan kurator. “Seniman pencipta juga berhak menentukan pameran. Apalagi kurator sudah mengundurkan diri,” ucapnya.
Yos juga menolak tuduhan bahwa lukisannya bermuatan politik. “Lukisan itu berbicara tentang kultur hipokrit. Bahwa lukisan itu bertema persanggamaan dua tokoh politik, itu hanya imajinasi pihak Galnas dan terlalu dibawa ke ranah politik,” katanya. Menurut Yos, masyarakat dapat menilai sendiri apakah karyanya asusila atau tidak karena fotonya telah beredar luas di media sosial.
Abrakadabra/Tempo/Subekti.
Bila jadi dibuka, pameran ini bukanlah jenis pameran aeng-aeng atau aneh. Di sebelah kiri pintu masuk Gedung A, terdapat teks kuratorial Suwarno. Dua lukisan berjudul Trans (Kesurupan) dan Matahari Kembar Ibu Kota dipasang mencolok mengarah ke pintu. Lukisan ini menampilkan pertunjukan tari rakyat dengan latar belakang gedung pencakar langit. Tari itu mengingatkan, terutama dalam Trans, pada para penari yang bergumul dengan celeng—tema-tema lukisan Djoko Pekik, seperti jatilan dan tayuban.
Di sayap kanan terpasang lukisan sepanjang 10 meter dan instalasi pulau-pulau Indonesia dengan tanah keras berbentuk bola. Deretan lampu ditata di lantai dengan apik. Di bagian tembok kiri, ada sederet sketsa tinta hitam di atas kertas. Lukisan-lukisan yang dipersoalkan itu ditempatkan di ruang belakang.
Secara keseluruhan, sama sekali tak ada kesan vulgar pada karya Yos. Bahkan ada sebuah lukisan bergambar perempuan desa berambut panjang yang cantik dan bernada romantik. Juga ada sebuah lukisan berjudul Air Mata yang menampilkan seorang nenek berambut putih menangis dipeluk sosok mirip Joko Widodo berkemeja merah. Menyaksikan lukisan ini, kita justru seperti melihat propaganda relawan Jokowi. “Ini lebih bagus dari pameran tunggal Yos tahun 2017 di Galnas,” ucap pengamat seni rupa, Bambang Bujono.
Di bagian belakang sayap kanan, Yos menampilkan dua lukisan telanjang yang berbeda dengan Konoha 2, yakni Help dan Corona. Dua lukisan ini, meski sampai menonjolkan payudara perempuan, sama sekali tak menuju ke kesan erotik atau pornografi, tapi lebih sebagai simbol kemanusiaan antarsesama.
Yos sudah telanjur kecewa terhadap perlakuan Galeri Nasional yang ia nilai tidak adil. Pada Senin sore, 23 Desember 2024, ia membungkus semua karyanya dengan plastik dan memasukkan semua ke mobil boks untuk dibawa pulang ke Yogyakarta. Yos berencana memamerkan lukisan-lukisannya ini pada Juni tahun depan di Kota Gudeg. Skandal besar Galeri Nasional berakhir di sini, tapi sebuah Desember hitam telah terjadi. ●
Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Blunder Galeri Nasional dan Perlawanan Yos