Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa sejak Indonesia merdeka.
Korupsi kecil dan korupsi besar merugikan keuangan negara dan hak publik menikmati pembangunan.
Kini Prabowo Subianto akan mengampuni pelaku korupsi jika mereka mengembalikan uang korupsi.
KORUPSI tak pernah lepas dari pelupuk mata kita. Ia ada sepanjang sejarah, walau sekarang korupsi betul-betul endemis, sistemik, dan masif. Orang bilang korupsi sekarang dilakukan secara berjemaah, top-down dan bottom-up, menghantam lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di pusat dan daerah sampai ke desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1950-an, beberapa nama terkenal diperiksa dan diadili karena korupsi, seperti Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, Menteri Ekonomi Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, dan Menteri Keuangan Jusuf Wibisono. Korupsi mereka tidak dalam jumlah besar, tapi mereka melakukan “abuse of power for private gain”—meminjam definisi korupsi Bank Dunia. Djody dituduh memberikan visa kepada seorang Tionghoa dengan menerima suap Rp 40 ribu. Iskaq dianggap menerima facilitation payment untuk lisensi kepada pengusaha. Roeslan Abdulgani dituduh menerima rumah dan mobil dari pengusaha Lie Hock Thai. Sedangkan Jusuf Wibisono dituduh memberikan kredit kepada pengusaha yang dekat dengannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1955, sudah lahir inisiatif membuat semacam undang-undang darurat tentang pemberantasan korupsi, tapi gagal. Ikhtiar serupa muncul pada 1956 ketika rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi disiapkan ke parlemen, tapi batal. Presiden Sukarno lalu membuat beberapa badan ad hoc yang bertabrakan dengan militer karena sejumlah jenderal disasar oleh badan sementara ini. Jenderal A.H. Nasution juga membentuk badan ad hoc untuk memberantas korupsi di kalangan militer.
Terlihat ada persaingan yang membuat pemberantasan korupsi itu tersendat. Tapi, dari segi legislasi, usaha membuat peraturan pemberantasan korupsi juga muncul, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 113 Tahun 1958, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor PLP/1/17/1958, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964. Korupsi dan perjuangan memberantasnya telah kita lakukan sejak kita merdeka. Tapi korupsi tak pernah bisa diberantas dan memburuk di zaman Orde Baru dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ketika reformasi lahir pada 1998-1999, gagasan memberantas korupsi kembali mengemuka dengan slogan memerangi KKN. Penumpukan kekayaan pejabat pemerintah dan kroni-kroninya telah membuat rakyat melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi tak bisa diberantas secara normal oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang semuanya sudah dipersepsikan berlumur uang dan dosa karena kecipratan hasil korupsi dan membiarkan korupsi.
Lalu muncul gagasan pembentukan badan baru menangani korupsi dengan kewenangan yang luar biasa. Namanya Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK mendapat mandat bertindak represif, seperti menangkap, menahan, menyita, dan merekam pembicaraan di sambungan telepon sehingga tak seorang pun bisa lolos dari tangan-tangan hukum. KPK pun disebut sebagai superbody.
Pemberantasan korupsi itu ditujukan terutama kepada mereka yang berkuasa dan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, orang lain, atau korporasi. Korupsi kecil tetap tak bisa dibenarkan, tapi tak menjadi prioritas. Korupsi kecil umum terjadi di banyak negara berkembang karena rendahnya remunerasi. Tapi korupsi bukan soal uang. Korupsi merusak governance, mengerdilkan demokrasi, memiskinkan rakyat, dan menghancurkan kohesi kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kita sebetulnya sudah memiliki perangkat hukum yang relatif lengkap untuk memberantas korupsi. KPK sudah memiliki hampir semua kewenangan agar tidak gagal mengungkap korupsi besar. Tapi korupsi itu ternyata bukan semata persoalan lokal dan nasional. Korupsi sudah melewati teritori nasional. Dalam beberapa hal, pelaku korupsi memanfaatkan kelemahan mekanisme hukum internasional sehingga uang korupsi bisa masuk ke instrumen internasional dan dicuci secara akuntansi dan hukum. Dengan begitu, uang korupsi menjadi bagian dari transaksi halal, tak melawan hukum.
Negara-negara kecil yang menampung uang-uang haram malah memberikan pembebasan pajak yang membuat korupsi menjadi aman secara hukum. Apalagi dalam banyak transaksi tak semua nama beneficiary terungkap. Keberadaan perusahaan cangkang telah memberikan perlindungan tambahan bagi uang haram yang dihalalkan.
Dengan latar belakang seperti itu, Bank Dunia menyebutnya “state capture corruption”: negara dibajak melakukan korupsi. Dalam korupsi kartu tanda penduduk elektronik, kita melihat alurnya diawali perencanaan sampai pelaksanaan. Pengadaan, markup, tender, dan seterusnya disiapkan dengan saksama. Tentu ini bukan tipikal Indonesia. Kita juga melihat praktik korupsi yang sama di banyak negara.
Seorang ilmuwan politik, Robert Legvold, membuat kategorisasi korupsi menjadi bad apple, criminalized state, dan criminal state. Korupsi bad apple merujuk pada orang nakal yang tak mampu menahan godaan untuk melakukan korupsi. Criminalized state merujuk pada korupsi ketika badan-badan negara dikuasai dan dijadikan alat untuk melakukan korupsi. Adapun criminal state merujuk pada negara yang dengan sengaja melakukan korupsi. Indonesia bukan criminal state, melainkan lebih pada bad apple dan criminalized state.
Indonesia menundukkan diri pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menekankan perlunya kerja sama global dalam pemberantasan korupsi. Secara khusus, UNCAC menegaskan bahwa korupsi menghantam orang miskin dengan mengalihkan anggaran untuk pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah menyediakan pelayanan umum, meningkatkan kesenjangan dan keadilan, serta menghambat penanaman modal.
Karena itu, korupsi mesti dilihat secara holistik karena memang memiliki banyak moda, seperti suap, penggelapan, perdagangan pengaruh, penyalahgunaan fungsi, kegiatan memperkaya diri sendiri, penyuapan di sektor swasta, pencucian uang kejahatan, dan konflik kepentingan. Dalam bagian mukadimah UNCAC dikatakan bahwa korupsi melibatkan jumlah besar aset negara yang merupakan proporsi substansial kekayaan negara. Jika aset itu dikorupsi, hal tersebut bisa mengancam stabilitas politik dan keberlangsungan pembangunan negara.
Yang pasti, korupsi tak terikat batas-batas negara. Karena itu, sejak dulu banyak yang meneriakkan mutlaknya asset recovery. Juga banyak yang meneriakkan mutlaknya Undang-Undang Perampasan Aset karena begitu banyak aset korupsi yang luput dari sitaan. Dulu malah ada ide radikal memiskinkan koruptor dan memperlakukan sistem pembuktian terbalik. Semua ini gagal diberlakukan dan kita belum melihat ada ikhtiar serius melakukan semua ini.
Jadi pemberantasan korupsi gagal karena kemauan politik kita tak cukup kuat. Ada tangan-tangan hantu yang mengintervensi. Sekarang KPK sudah sangat lemah. Maka seharusnya kita tak usah terlalu gusar karena kegagalan pemberantasan korupsi. Sebab, kita memang tak serius melakukannya. Seperti pepatah Melayu, “awak tak pandai berjoget, lantai awak salahkan”.
Ada kegamangan dalam memberantas korupsi sehingga lembaga yang berwenang tak berhasil menangkap koruptor besar, yang menyebabkan kegagalan menyelamatkan uang negara. Dalam statistik terlihat bahwa KPK, kepolisian, dan kejaksaan hanya menyelamatkan keuangan negara dalam jumlah yang jauh dari harapan. KPK paling banyak dikritik karena kegagalan ini, padahal anggaran KPK jauh lebih besar dari uang yang bisa diselamatkan.
Jadi korupsi tidak boleh menang kalau kita ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita boleh tidak puas, terengah-engah dalam perang ini, tapi tak ada jalan mundur, apalagi memberikan ampunan jika para koruptor mengembalikan uang hasil korupsi. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang hendak mengampuni koruptor jika mengembalikan hasil korupsi akan menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tak didukung oleh political will yang kuat. Lebih dari itu, pengampunan terhadap koruptor akan menimbulkan demoralisasi yang meruntuhkan gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Pada titik ini, mungkin kita perlu menyimak pidato pelantikan Prabowo sebagai presiden pada 20 Oktober 2024 yang bersejarah itu. Prabowo berjanji memberantas korupsi. Dan itu diulanginya berkali-kali, termasuk di depan kader partainya sendiri. Kenapa tiba-tiba ada perubahan sikap dan ia menawarkan pengampunan atau amnesti yang diklaim sebagai hak yang diberikan oleh konstitusi kepada presiden? Pemberian amnesti memang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, tapi ditujukan kepada kasus-kasus yang menyangkut politik, bukan korupsi. Saya belum pernah mendengar ada amnesti terhadap koruptor.
Apakah Presiden Prabowo sedang kehabisan bensin atau tak melihat ada cahaya di ujung terowongan dalam memberantas korupsi? ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo