Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Toeti Kakiailatu adalah wartawan dengan rasa ingin tahu besar
Toeti Kakiailatu dengan Istana di masa Sukarno dan Soeharto
Lebih mengemukakan sisi kemanusiaan dalam liputannya
PADA mulanya adalah sebuah kontrak antara surat kabar Jepang, Sankei Shimbun, dan Toeti Kakiailatu pada 1960-an. Koran tersebut menerima Toeti sebagai koresponden dengan perjanjian: Toeti terutama meliput kegiatan Presiden Indonesia, Sukarno. Inilah awal Toeti sebagai wartawan, dan kira-kira itulah sebab ia akrab dengan Bung Karno, dan kemudian dengan Istana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di majalah Tempo—ia menjadi wartawan Tempo sejak awal majalah ini terbit, Maret 1971—kedekatan itu tak hanya memudahkan Toeti meliput, tapi juga mewawancarai dan mengungkap hal-hal yang mungkin wartawan lain sulit mendapatkannya. Baru dua bulan majalah mingguan Tempo terbit, Toeti meliput apa dan siapa Nyonya Tien Soeharto; sebuah liputan dari sisi keseharian seorang ibu negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini contohnya: “Dia memang lugu. Selugu keluarga-keluarga Indonesia lainnja, barangkali. Dalam hal tidur, suami isteri jang sudah menikah 24 tahun lamanja, tidur sendiri-sendiri. Bukan karena mereka sudah tidak ada tjinta lagi. Tetapi kerena imbauan sang anak. Mamiek jang bungsu minta tidur bersama ibunja. Tommy 9 tahun, tidur bersama ajahnja.”
Tempo sesudah bredel pun meminta Toeti menulis obituari Nyonya Hartini, Maret 2002. Rupanya, Toeti pernah mewawancarai Hartini dan itulah yang membuat obituari tersebut “enak dibaca dan perlu”. Misalnya, “Engkaulah Tien, wanita terakhir yang aku kawini...,” demikian Bung Karno pernah berkata. Hati Hartini pun lumer oleh gombalnya Bung Karno. Sejak semula, tak ada niat Hartini untuk merebut kedudukan Fatmawati sebagai ibu negara. “Saya nrimo, Jeng, untuk dijadikan istrinya setelah Ibu Fat,” demikian cerita Hartini. Ia menambahkan: “Saya merinding kalau melihat Bapak berpidato. Bapak itu betul-betul lelaki komplet. Besar kebahagiaan dan kedukaan saya bersama Bapak.”
Sapaan “Jeng” dalam tulisan tersebut membuktikan bahwa Toeti memang mewawancarai Hartini, dan itu wawancara eksklusif tampaknya. Tentu itu berkat kedekatan Toeti dengan Presiden Sukarno. Kiat wartawan agar memperoleh liputan eksklusif salah satunya memang kedekatan dengan narasumber, dengan catatan: kedekatan yang harus dijaga sehingga tidak terjadi bias.
Salah satu bukti kedekatan Toeti dengan Bung Karno adalah foto. Di zaman media sosial kini, tidak sulit menemukan foto Toeti membungkuk dan Presiden Sukarno meletakkan kertas di punggungnya, kertas yang mesti ditandatangani Presiden—kala itu tak ada yang bisa dijadikan landasan buat membubuhkan tanda tangan dan Presiden memilih punggung Toeti, bukan wartawan lain yang sedang meliput.
Kedekatan dalam makna luas, termasuk adanya kepercayaan antara wartawan dan narasumber. Inilah yang memungkinkan Toeti mewawancarai beberapa tokoh Republik Maluku Selatan (RMS), organisasi yang mencitakan berdirinya Maluku Selatan sebagai negara. Kala itu, Desember 1975, terjadi pembajakan satu gerbong kereta api di Belanda dan ramai diberitakan bahwa RMS ada di belakang peristiwa tersebut.
Inilah pembajakan terbesar di Eropa hingga waktu itu: sekitar 288 jam sebanyak 29 penumpang disandera, 3 tewas termasuk masinis. Toeti diterima oleh pemimpin RMS antara lain karena nama belakang Toeti adalah Kakiailatu, nama Ambon. Kakiailatu nama suami Toeti, lengkapnya Frits August Kakiailatu, seorang dokter Angkatan Laut. Pada waktu itu, kebetulan, dr Frits sedang melanjutkan kuliah di Belanda.
Wawancara Toeti mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan RMS. Soal dana, rupanya datang dari organisasi yang didirikan oleh seorang bekas anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang bermukim di Belanda. Juga soal ketidakserasian di dalam RMS.
Adalah sebuah laporan Toeti pada 1990 yang antara lain seperti ini: “Wajah bekas Inrehab itu kini sudah sulit dibedakan dengan wajah desa lain. Bahkan terasa makmur. Para penghuninya memang berubah. Mereka bukan lagi melulu tahanan politik -- para anggota PKI golongan B, melainkan didominasi orang-orang transmigran, setelah kawasan itu diubah menjadi areal transmigrasi. Rumah tembok beratap genting dan berjendela kaca nako telah banyak menggantikan rumah papan beratap seng. Antena TV pun makin ramai menjulang. Padahal, listrik belum mengalir ke sana” (rubrik Selingan, majalah Tempo, 24 Maret 1990).
Itulah reportase tentang Pulau Buru setelah tak lagi menjadi kamp tahanan mereka yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Tulisan itu memenangi Trofi Adinegoro, penghargaan tertinggi karya jurnalistik dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta, 1990. Sebuah laporan dengan reportase yang membawa pembaca seolah-olah mengunjungi sendiri Pulau Buru.
Sebuah reportase dengan latar sejarah kamp tahanan dimungkinkan karena sebelumnya, awal 1980-an, Toeti menulis tentang berbagai cara adaptasi bekas tahanan Pulau Buru terhadap keluarga, masyarakat, dan lingkungan baru mereka setelah dibebaskan pada akhir 1970-an. Tulisan ini merupakan tugas kuliah di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, kemudian diterbitkan menjadi buku oleh fakultas tersebut.
Itulah Toeti, yang tampaknya memang menyimpan bakat yang diperlukan dalam kerja jurnalistik: rasa ingin tahu, selalu mengembangkan diri lewat pendidikan formal ataupun belajar sendiri, dan siap secara fisik untuk menjelajah ke mana pun. Ini yang tampaknya mendorong Toeti menawarkan diri meliput gempa di Irian Barat, 1970-an, padahal transportasi untuk sampai ke lokasi gempa sangat tidak mudah. Toeti menumpang pesawat yang biasanya digunakan oleh gereja. Di lokasi, ia tak hanya melakukan liputan, tapi juga membantu pekerjaan di dapur umum.
Toeti juga meliput renovasi Candi Borobudur, 1982. Informasi di balik renovasi stupa dan pembuatan taman yang harus menggusur permukiman dimungkinkan karena ketua proyek itu adalah mantan Menteri Penerangan, Budiardjo, yang mengenal dan dikenal Toeti. Sebuah liputan yang meliput pihak-pihak yang terlibat, pemerintah ataupun pihak yang menjadi korban.
Setelah Presiden Sukarno dilengserkan, Toeti pun tak lagi bekerja untuk Sankei Shimbun. Ia menjadi wartawan koran Pelopor Baru, sebelum bergabung dengan majalah mingguan Ekspres, 1969. Muncul konflik di majalah ini, 1970, ketika terjadi “perebutan” Ketua PWI antara Rosihan Anwar dan B.M. Diah. Nama belakangan itu kebetulan pihak penerbit Ekspres.
Rupanya, sebagian anggota tim redaksi majalah cenderung mendukung Rosihan. Para pendukung Rosihan lalu melepaskan diri dari Ekspres dan mendirikan majalah mingguan berita Tempo. Toeti ikut ke Tempo. Pada 1997, Toeti menulis buku tentang B.M. Diah, B.M. Diah Wartawan Serba Bisa, diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Itulah Toeti Kakiailatu, yang hampir selalu dalam liputannya mengemukakan sisi-sisi kemanusiaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo