Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Norbertus Riantarno adalah pendiri Teater Koma
Riantiarno mewariskan karya-karya teater, sastra, dan film
Teater Koma merupakan warisan terbesar Riantiarno
SETIAP kali serangkaian pertunjukan Teater Koma berakhir, yang biasanya bisa berlangsung sekitar dua-tiga minggu—Norbertus Riantiarno mengaku hampir pasti merasakan serentetan sensasi kelegaan dan kegembiraan, sekaligus kecemasan dan kegelisahan baru. Keadaan seperti ini telah berlangsung bahkan sejak pementasan Rumah Kertas yang menandai produksi perdana Teater Koma (Agustus 1977) hingga Roro Jonggrang (Oktober 2022).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa kuat semangat dalam diri Nano—panggilan akrab N. Riantiarno—untuk tiada henti melanglang dan bertualang di jagat teater. Elan yang senantiasa terbarukan. Begitu rampung menggelar satu produksi teater, dia sudah kembali “kelabakan” untuk bisa segera memanggungkan lakon yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu terus pria yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949, ini berderap teramat produktif dari waktu ke waktu. Semacam ketagihan atau keranjingan berteater guna menjawab kecemasan dan kegelisahan baru yang tiada habis-habisnya itu.
Agak sulit dibayangkan bahwa selama 45 tahun kiprah Nano mengepalai sekaligus menangani Teater Koma, produksi terus bergulir dan berhasil terkemas sebanyak 225 pementasan. Sungguh jumlah pementasan yang fantastis. Artinya dalam setahun tersaji rata-rata lima nomor produksi. Boleh jadi itu meliputi pergelaran besar yang biasanya diselenggarakan sekitar Maret dan November.
Selain itu, ada pementasan kecil seperti di museum, sekolah, kampus, stasiun televisi, serta di aneka komunitas. Sebuah capaian yang menakjubkan memang, mengingat sangat jarang kelompok teater di negeri ini mampu bertahan hingga lebih dari empat dekade dan tetap rutin bahkan terlalu rajin manggung.
Tak pelak, Teater Koma adalah cermin produktivitas dan tentu juga kualitas sekaligus. Semua terpadu dalam satu paket. Dan paket itu terus terjaga serta terolah dengan intens sedari Teater Koma berdiri pada 1 Maret 1977 di Jakarta. Tekad bulat para pendiri begitu jelas terpahat. Mereka benar-benar sehimpun penyayang teater. Begitu sejati dan sepenuh hati.
Para pendiri itu, selain N. Riantiarno, tercatat nama Ratna Madjid Riantiarno, Syaeful Anwar, Rudjito, Jajang C. Noer, Rima Melati, Titi Qadarsih, Otong Lenon, Cini Goenarwan, Jim Bary Aditya, Agung Dauhan, dan Zaenal Bungsu. Semua ada 12 orang berdasarkan kolektif kekeluargaan.
Adapun ihwal penamaan Teater Koma, tak syak, mengandung makna yang dalam. Rupanya nama itu sudah berada di saku Nano. Artinya, dialah yang paling siap meletupkan nama itu dengan segala alasan, penjelasan, dan filosofinya. Dengan menggebu-gebu Nano menjelaskan bahwa nama Teater Koma mengandung makna teater yang tidak akan pernah selesai mencari wujud dan isi, terus dan berlanjut terus tanpa kenal titik yang searti dengan mandek.
“Koma adalah upaya eksplorasi tanpa henti. Koma adalah ekspresi pencarian bentuk-bentuk inovatif yang tidak berkesudahan. Koma adalah simbol kegelisahan untuk senantiasa berkarya. Koma adalah cermin kreativitas dan kerja keras yang tidak kenal kata selesai,” ujar Nano. ia kembali memberikan penekanan pada arti penting semangat eksplorasi, ekspresi, dan kreativitas dalam berteater yang, sekali lagi, tanpa kenal titik.
Tatkala Nano mulai mengibarkan bendera Teater Koma, tak bisa dimungkiri, modalitas juga kualitas dirinya di ranah teater sangatlah mencukupi. Menengok sesaat ke belakang, sebelumnya dia telah belajar banyak dari kelompok-kelompok teater terdahulu, termasuk aneka teater tradisional dan teater rakyat yang hidup di seantero Nusantara.
Semua itu bertitik tolak dari kegelisahan pencarian-pencarian akan kemungkinan-kemungkinan lain guna pengayaan wawasan. Maka dia mengakrabi wayang kulit, wayang golek, ketoprak, ludruk, longser, reog, kondobuleng, lengger, lenong, masres, randai, dolalak, sambrah, dulmuluk, makyong, genjring dog-dog, Srimulat, dan bebagrigan.
Nano juga pernah tergembleng di sanggar Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Usia dan jiwa mudanya begitu menggelegak untuk menggapai mimpi sebagai insan teater yang mumpuni. Impian ini lumayan muluk atau katakanlah idealis, tapi bukan tanpa dasar. Dia memang ingin berinisiatif menggugah potensi diri dan berusaha mengembangkannya lebih lanjut. Dan dia mendapat tempat di Teater Populer untuk nyantrik dengan sebaik-baiknya seraya menimba ilmu di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Di lingkungan Teater Populer dan ATNI, Nano pun mereguk serbaneka pengetahuan teater, utamanya yang berkelindan dengan sosok Teater Barat. Tiada hari tanpa kegiatan membaca, berdiskusi, dan berpentas. Boleh dikata, sebulan sekali ia naik panggung. Tanpa pernah putus.
Hampir semua repertoar merupakan karya terjemahan atau adaptasi. Sebut saja Melintas di Tengah Matahari (Lorraine Hansberry), Inspektur Jenderal (Nikolai Gogol), Teh dan Simpati (Robert Andersen), Pemburu Perkasa (Wolf Mankowitz), Kereta Api Hantu (Arnold Ridley), Sang Ayah (August Strindberg), Ranjang Perkawinan (Noël Coward), Pawang Hujan (Robert Nash), Bapakku Sayang Bapakku Malang (Arthur Kopit), Langit-langit Peraduan (Jan de Hartog), dan Tartuffe atau Sang Munafik (Molière).
Pertunjukan kelompok Teater Koma berjudul Roro Jonggrang yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 13 Oktober 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Bahkan jauh sebelum era itu, saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas di kota kelahirannya, Cirebon, Jawa Barat, Nano juga pernah aktif bergabung dalam wadah Tunas Tanah Air (TTA), yakni perhimpunan seniman muda Cirebon yang mangkal di Gedung RRI kota setempat. Di situ dia menyatu dengan dua anggota senior TTA, Mus Mualim dan Arifin C. Noer.
Nano remaja pun kemudian tertarik untuk masuk ke seksi drama, salah satu kegiatan di TTA. Di bawah asuhan sutradara Indra Soeradi, Nano dilibatkan di beberapa pementasan. Salah satunya dalam lakon Caligula karya Albert Camus. Selama seminggu Nano tak pulang ke rumah. Tidak bisa tidak, dia harus total mempersiapkan diri menjadi Scipion dadakan, karena pemeran awalnya ambruk didera sakit liver.
Dia pun sunguh-sungguh mendalami sosok Scipion, seorang penyair yang ayahnya dibunuh oleh Caligula. Sungguh peran yang menantang karena porsi dialog dan akting tokoh Scipion cukup banyak dan tak mudah. Di panggung dia harus menghadapi Caligula, kaisar Romawi yang pembual dan bandot seks yang teramat bengis.
Sedikit-banyak Nano telah menjalani masa pembelajaran tentang dunia teater dengan segala aspek dan seluk-beluknya dengan penuh hasrat dan ketekunan. Juga praktik langsung di banyak pementasan sebagai pemain sungguh memberikan asupan estetika yang lebih dari cukup. Boleh dibilang, bekal berkesenian dalam diri Nano untuk merawat dan membesarkan Teater Koma amatlah memadai.
Nano pun menggenggam erat-erat Teater Koma dengan penuh kecintaan. Sejak awal dia telah memposisikan dirinya dalam penyutradaraan. Itu memang front, palagan, wilayah, atau habitatnya. Dia merasa cocok bertindak sebagai sutradara ketimbang menjadi aktor di atas pentas.
Hal itu rupanya telah tercium sejak dia bergabung di Teater Populer. Adalah Teguh Karya yang “menitahkan sekaligus meneguhkan” Nano untuk lebih menseriusi bidang penyutradaraan. Saran Teguh Karya memang hampir sama dengan pencarian diri Nano pribadi. Adapun Slamet Rahardjo, karibnya di Teater Populer, misalnya, memang “lebih berbunyi” selaku aktor.
Ya, terhitung sejak 1977, dengan mantap Nano melangkah bersama Teater Koma. Boleh dikata, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pun menjadi salah satu playground buat Nano. Ada kegembiraan, keceriaan, dan juga keseriusan di sana.
Namun yang namanya cobaan selalu menyertai sebuah perjalanan. Sejumlah pementasan awal Teater Koma, seperti Rumah Kertas, Maaf Maaf Maaf, Jian Juhro, Kopral Doel Kotjek, juga Bom Waktu belum sepenuhnya dianggap berhasil. Sebaliknya, pementasan-pementasan itu menuai sindiran, cibiran, ejekan, makian, cemoohan, dan kritik, baik yang halus santun maupun yang sengak tajam.
Namun, yang terpenting, langkah pertama dan berikutnya telah diayun oleh Nano dengan tegar. Di samping Nano, ada Ratna Madjid yang kemudian menjadi Ratna Riantiarno, sang istri tercinta. Mereka berdua dalam naungan kasih, terus bahu-membahu berupaya membesarkan Teater Koma dan anak-anak mereka dalam himpunan keluarga.
Tak keliru bila dikatakan bahwa sejoli itu berteater di rumah dan berumah di teater. Memang, mereka berdua bersama para awak Teater Koma lain rutin berkumpul dan berlatih di rumah Ratna di bilangan Setiabudi Barat, Jakarta Selatan. Kebiasaan unik ini bahkan terus berlanjut saat mereka telah pindah ke kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.
Boleh dibilang kedua insan teater itu, Nano dan Ratna, adalah pasangan hidup yang ideal. Dalam mengelola Teater Koma dan kepentingan keluarga, mereka sepakat berbagi tugas dengan sukacita. Untuk urusan teater, Nano habis-habisan menulis naskah sendiri dan mengadaptasi ataupun sesekali menerjemahkan naskah asing. Selebihnya dia disibukkan dengan persiapan, latihan, hingga penyutradaraan di belakang panggung.
Adapun Ratna, sang mantan primadona Teater Ketjil, lebih memfokuskan diri untuk sekuat tenaga memasarkan produk pentas Teater Koma ke banyak instansi dan perusahaan swasta. Sungguh dua energi besar yang saling bersinergi, baik dalam berkesenian maupun berkeluarga.
Ketika kemudian Nano dan Teater Koma mulai menampakkan tuaian yang menggembirakan, ternyata datang lagi hambatan dan gangguan secara bergelombang. Pentas Teater Koma mulai direcoki larangan-larangan yang menjengkelkan. Dari kacamata penguasa Orde Baru, keberadaan Teater Koma dianggap duri dalam daging. Tanpa ampun, sejumlah pementasan Teater Koma dibungkam: Suksesi, Sampek Engtay, Opera Kecoa, Maaf Maaf Maaf, dan Pialang Segitiga Emas.
Untunglah kepenatan Nano dan Ratna dalam mengelola Teater Koma selalu saja menemukan jalan keluarnya sendiri. Nano, misalnya, tetap bisa mengasuh majalah Zaman, sebagai redaktur, dan kemudian Matra, sebagai pemimpin redaksi.
Dia juga menyibukkan diri menulis puisi, novel, dan esai. Sesekali dia terlibat dalam pembuatan sinetron dan film layar lebar. Nano memang bisa hadir di mana-mana, tapi kemudian selalu bergegas kembali lagi ke habitatnya, panggung teater. Demikian pula halnya dengan Ratna.
Di celah-celah kesibukan itu semua, Nano juga mencoba memperhatikan anak wayangnya. Dia membuka pintu kreativitas selebar-lebarnya dengan memberikan kesempatan kepada anak buahnya untuk membuat naskah sekaligus mementaskan serta menyutradarainya atas nama Teater Koma. Jawaban memang ada, di antaranya dari Joshua Pandelaki, Idries Pulungan, Budi Ros, dan Rangga Buana (putra sulung Nano).
Dalam penulisan naskah memang belum semua mampu, kecuali Budi Ros. Dengan penuh keberanian, Joshua menyutradarai Raja Ubu karya Alfred Jarry. Tiba giliran Idries menggarap pemanggungan Perampok karya Schiller. Lantas Budi Ros dipercaya menangani karya sendiri sepenuhnya, Festival Topeng. Adapun Rangga unjuk diri melalui Antigoneo dari Evald Flisar.
Ya, bagaimanapun Nano telah berkenan berbagi kegembiraan, pengetahuan, wawasan, dan kepekaan melalui panggung Teater Koma dengan gema yang lama. Bayangkan, dari 1977 hingga 2022. Sayang sekali, begitu memasuki 2023 dia ternyata harus bergulat keras melawan penyakit tumornya yang mengganas.
Nano wafat di rumahnya di Bintaro pada Jumat, 20 Januari lalu, setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Padahal dia telah menyusun dengan rapi rencana berproduksi sepanjang 2023 sejak jauh-jauh hari. Ya, dia memang selalu mendekap kegelisahan baru untuk terus berkarya. Terus berlanjut, tanpa kenal titik.
Nama N. Riantiarno dan Teater Koma pun akan terus ada dengan gema yang lama. Bahkan untuk selama-lamanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo