Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan King Lear, Desdemona kini sangat menggunakan elemen-elemen video art. Mengapa?
Saya menganggap dokumentasi video sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari pesta-pesta ulang tahun sampai pesta perkawinan. Video art merupakan elemen penting dalam seni di masa depan. Saya mencoba membuat kontras ekspresi tradisi yang bertahan dari ratusan tahun lalu dengan seni masa depan itu. Saya kira pada kehidupan sehari-hari di Jakarta, Bangkok, Singapura sudah ada kombinasi seperti itu. Proses penyutradaraan Desdemona memang agak sulit karena setelah berlatih, para seniman video membuat karyanya di studionya sendiri di luar. Ini melahirkan ketegangan karena sutradara sukar untuk membuat keseimbangan antara karya para seniman video art dan ekspresi tari.
Othello adalah sebuah karya tragedi. Bagaimana tragedi ini Anda baca dalam hubungan antaretnis di Asia?
Tragedi ada di kebudayaan mana pun. Othello adalah karya yang menonjolkan perkawinan antarras (Othello dari bangsa Moor, Afrika, sedangkan Desdemona dari Venesia, Italia). Ini adalah naskah multikultural. Di situ ada konflik dan pembunuhan. Pada dasarnya, konflik etnis dimulai dari kesalahpahaman. Ketika Anda bertemu dengan seseorang dari kebudayaan lain, biasanya ada kecurigaan. Bila tidak ada negosiasi, terjadilah kerusuhan etnis seperti yang terjadi sekarang. Kunci masalah ini terletak pada ketidakmampuan (manusia) untuk saling memahami. Itulah spirit pementasan Desdemona.
Tokoh dalam Desdemona adalah individu Asia yang dalam proses mencari dirinya. Othello saya ubah sebagai tokoh yang tak tahu asal-usulnya. Nama kakeknya Othello. Nama ayahnya Othello. Nama bakal anaknya juga Othello. Terus, siapa dia? Who am I? What am I? Di Singapura, orang yang tumbuh besar pada 1960-an seperti saya, misalnya, tak dapat mengidentifikasi masa lalu kehidupan kanak-kanaknya.
Mengapa Anda memilih karya William Shakespeare?
Ya, setiap membaca karya Shakespeare, saya selalu teringat, misalnya, Chinese martial art. Taman-taman dalam kisah Shakespeare mengingatkan saya pada taman Cina yang sangat romantik. Saya merasa ada elemen-elemen Asia yang kuat di sana. Bagi penulis naskah Rio Kishida, masalah seorang anak yang membunuh bapaknya dalam King Lear bisa sangat tipikal Asia. Juga masalah cinta dan kematian dalam Othello.
Bagaimana Anda melakukan perjalanan memahami Desdemona versi Asia ini?
Pendekatan saya sebetulnya semacam respons atas model Peter Brook. "Mahabharata" versi Brook adalah karya multikultural, tapi karya itu menggunakan lanskap bahasa Inggris. Saya ingin berbeda. Pada 1994, saya menyelenggarakan lokakarya Flying Circus Projectsebuah laboratorium yang membahas saling pengertian perbedaan estetika antarseniman tradisi Asia. Pada November 1997 saya melakukan riset ke India, dan Mei 1998 ke Korea. Di sini saya mengadakan pertemuan antarseniman tradisi Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di Korea, saya sangat terpukau dengat kekuatan musik shaman tradisi. Bulan Juli 1998, saya ke Myanmar, bertemu dengan dalang marionette. Saya melihat ada benang merah di antara mereka, misalnya kesamaan pemusatan energi pada pusat seperti yang telah dipelajari dramawan terkemuka Euginio Barba. Pada dasarnya, saya menemukan materi Desdemona dalam perjalanan itu.
Rencana Anda setelah garapan ini?
Saya berpikir akan membuat pertunjukan tentang Buddha. Ada yang menilai pertunjukan Desdemona sangat dipengaruhi kebudayaan Hindu. Sebab, ada penari dari Jawa, lalu dalang dari Burma. Wah, saya malah tak berpikir demikian. Saya berencana membuat lokakarya dengan para spiritualis dari Cina, Jepang, Filipina, Taiwan, dan Tibet untuk rencana penggarapan Buddha itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo