Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang lelaki kulit putih bercelana pendek dan berjas berdiri di samping perempuan bersepatu hak tinggi dan mengenakan rok. Si perempuan terlihat sedang menyerahkan selembar kertas dokumen kepada seorang tentara Jepang yang bertopi baja dan berdiri memegang bayonet. Sketsa itu diperkaya warna untuk menguatkan suasana. Sketsa itu diberi keterangan Ketika Balatentara Nippon masoek di Kota Bandoeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sketsa lain memperlihatkan ratusan orang bersukacita. Senyum merekah tampak di bibir orang-orang yang memenuhi jalan sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Ada pasukan drum band dan spanduk-spanduk serta beberapa perempuan terlihat mengibarkan bendera Nippon dalam ukuran kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihatlah pula sebuah pemandangan di gerbang bertulisan "Linggajati", dengan beberapa orang terlihat berjalan menuju tempat perundingan saat perang revolusi. Juga pemandangan beberapa kapal Nippon yang tengah mengarungi Laut Cina Selatan, atau yang saat itu disebut Lautan Tiongkok Selatan. Sebuah kegembiraan rakyat Indonesia terlihat setelah pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan.
Sketsa-sketsa itu merupakan karya Ono Saseo, seorang perupa Jepang-anggota militer Jepang yang bertugas mendokumentasikan perang. Ia tak hanya menyeket pasukan Jepang dan situasinya, tapi juga mengabadikan suasana di pasar-pasar, kota, kehidupan sehari-hari, serta tradisi di Jakarta dan sekitarnya. Rekaman karya Ono Saseo ini dipertontonkan dalam bentuk video di Gedung B Galeri Nasional Indonesia. Ini menjadi salah satu materi dari pameran bertajuk "(Re)Kreasi Garis", yang digelar pada 4-16 September 2018. Pameran ini dikuratori Bambang Bujono, Beng Rahadian, dan Teguh Margono.
Bersama karya Saseo, juga ada sketsa karya Henk Ngantung, yang mengabadikan peristiwa perundingan Renville dan Linggarjati. Tak hanya pada pokok peristiwa dan sosok delegasi perunding, tapi juga suasana perundingan yang "hidup".
Karya Ono Saseo diambil dari buku sang seniman yang dimiliki seniman Srihadi Soedarsono. Buku inilah yang kemudian menginspirasi dan melecut semangat Srihadi muda. Srihadi memperoleh buku itu karena diberi oleh pelukis Soerono. Buku tersebut menuntun Srihadi sebagai penyeket dan pelukis besar. Srihadi pun mengikuti jejak Saseo mengabadikan perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satunya bangkai pesawat tempur Belanda yang jatuh tertembak.
Ono Saseo menjadi penting dalam perjalanan sketsa Indonesia. Ia menghimpun para seniman Indonesia dalam Keimin Bunka Sidosho (KBS), memberi latihan melukis yang kemudian mempengaruhi perupa Indonesia. Mereka diajak ikut ke luar studio dan menggambar langsung obyek peristiwa.
Dari sanalah muncul Sudjojono, Affandi, Henk Ngantung, Soerono, Sudjana Kerton, dan lainnya. "Dia mengajari menyeket di luar ruangan. Sebelumnya tidak ada. Paling melukis di luar studio, cara melukis Eropa," ujar Bambang Bujono, salah seorang kurator pameran.
Menurut Bambu-panggilan akrab Bambang Bujono-kumpulan seniman sebelum KBS, seperti Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), menjadikan sketsa sebagai persiapan untuk diselesaikan menjadi lukisan. Jadi sketsa bukan sebagai karya utuh. Sketsa kemudian menjadi kegiatan wajib di dunia pendidikan seni rupa.
Berangkat dari sejarah, dalam pameran itu dipamerkan pula sketsa karya Srihadi, Ipe Ma’roef, Tedja Suminar, Tohny Joesoe, X Ling, dan Oesman Effendi, yang merupakan koleksi Galeri Nasional Indonesia. Peta sketsa ini dilengkapi karya generasi perupa berikutnya, seperti Romo Mudji, Toto B.S., Tatas Sehono, Yusuf Susilo Hartono, Seto Parama Artho, Setiawa, Jevi Alba, Donald Saluling, Duki Noermala, Bambang Harsono, Daniel Nugraha, Dharr Chedharr, Deskamroro, Harry Suryo, Iwann Widodo, Nashir, dan Zamrud Setya Negara.
Sketsa saat ini seperti menjadi "virus" yang menghinggapi banyak orang. Mereka membentuk kelompok penyeket. Yang terbaru adalah munculnya sketsa urban. Dikerjakan oleh warga dan melepaskan diri dari kuasa akademikus yang definitif. Menurut Beng Rahadian, kurator lain pameran ini, kemunculan mereka tidak lagi mengutamakan sketsa sebagai bagian studi atau rencana. "Sketsa urban ini menjadi kegiatan yang mengumpulkan semua teknik menggambar dan mengutamakan kesenangan," ujar Beng.
Karya-karya sketsa urban ini dipamerkan di Gedung C. Kategori ini menghadirkan 177 karya dari 125 sketcher Indonesia yang terpilih dari 446 karya dari 265 peserta yang mengirimkan karya. Umumnya karya yang ditampilkan adalah spot-spot dari lokasi gedung atau bangunan, menara masjid di antara genteng-genteng rumah, pojok pasar yang semrawut, atau jalan.
Namun sedikit di antara mereka yang membuat sketsa tentang kegiatan orang atau suasana sebuah peristiwa. Dari sedikit itu, kita bisa melihat misalnya karya orang yang duduk di kafe atau menunggu meja stan pameran. Rupanya karya dari para sketcher urban ini tak lagi hanya tarikan garis yang sederhana dan spontan, tapi banyak yang sudah diperindah dengan arsiran, blok, dan warna. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo