Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irfan Sholeh Fauzi
Takmir Liqo Akar Sungai, Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekasih Tuhan tak melulu berkisah tentang hal-hal ganjil atau cerita menggemparkan laiknya membelah lautan, berjalan di atas air, tak mempan dibakar api, menghidupkan orang mati, bepergian ke langit, dan seterusnya. Atau pendeknya, peristiwa yang tak bisa dikompromikan pikiran waras. Kisah semacam itu-yang apesnya terus diulang-hanya membuat Tuhan berjarak dari akal sehat. Tentu saja Tuhan melampaui akal manusia dan tak peduli manusia percaya kepada-Nya atau tidak. Tapi keseringan merepetisi kisah demikian hanya menjerumuskan kita pada kesimpulan bahwa iman tak boleh dibantah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal iman itu pergulatan. Dalam agama Islam, misalnya, kalimat tauhid meminta kita menyebutkan "tiada Tuhan selain Allah", bukan "Tuhan adalah Allah". Pengucapan kalimat tauhid bukan upacara penuh dogma. Ada pergumulan, proses menegasikan liyan yang mulanya dianggap Tuhan.
Fariduddin Attar, salah satu penyair agung Persia, menghimpun kisah demikian-kisah yang semestinya lebih sering dibincangkan. Dalam Tadzkiratul Auliya, penyair yang jejak terakhir hidupnya masih diselubungi gelap ini membawa terang. Hampir semua kisah kekasih Tuhan yang dihimpun Attar tak dilahirkan dari lingkungan religius. Mereka menjalani iman lewat pertentangan-pertentangan. Seandainya dari keluarga religius pun, iman tak menjadi sesuatu yang harus diterima begitu saja.
Iman sebagai hal tak dogmatik terkisah dari pengalaman guru sufi Syah bin Syuja dengan putranya. Meski si anak memiliki tanda lahir berwarna hijau bertuliskan Allah di dada, sang bapak tak memasung anak demi menjaga marwah keluarga atau tanda suci di dada. Ada ruang bebas. Ruang ragu mengempas.
Suatu hari, dalam keadaan mabuk, anak Syah berjalan sempoyongan sembari bernyanyi hingga memasuki sebuah lingkungan. Seorang perempuan, yang terganggu oleh berisik suara, beranjak dari ranjang. Mendapati istrinya terbangun, si suami menyusul dan menyaksikan apa yang sedang terjadi. "Anak muda," seru si suami, "Belum tibakah waktunya bertobat?"
Mendapat teguran, putra Syah tercenung. Gemetar. Ia lantas mencabik-cabik jubah dan mematahkan kecapinya. Lalu ia mengurung diri di dalam kamar dan berpuasa selama 40 hari sebelum akhirnya pergi mengembara. "Apa yang telah kucapai selama 40 tahun diperolehnya dalam waktu 40 hari saja," kata ayahnya.
Syah menanam benih yang ia peroleh selama 40 tahun dalam diri anaknya. Iman tak ditancapkan secara paksa dan dibentuk tanpa ampun. Maka, ketika sang putra berpaling dan akhirnya mendapat teguran, benih dalam jiwanya mekar bak benih yang dicahayai terang pagi.
Iman berpaut dengan hati, yang dalam bahasa Arab disebut qalb, yang bermakna "sesuatu yang berganti-ganti". Iman tak statis, ia dinamis. Ada kemungkinan orang beriman akan mencampuri iman mereka dengan keburukan. Kisah Al-Fudhail bin Iyadh membawa kita ke contoh ekstrem sikap percampuran iman dan laku buruk. Ia seorang wali Allah yang mulanya kuncen penyamun.
Syahdan, kafilah besar melewati jalan yang sudah dikepung gerombolan Fudhail. Seorang lelaki dari rombongan yang telah mendengar reputasi penyamun kawasan itu menyimpang dari kafilah, menyembunyikan sekantong emas. Ia mendekati tenda kumuh tempat seorang berpakaian karung dan bertopi wol bermukim. Mengira orang itu pertapa, sang musafir percaya ketika disuruh menaruh emas di sudut tenda.
Ketika lelaki tersebut kembali, rombongan telah dijarah. Kaki dan tangan anggota rombongan terikat. Setelah membebaskan mereka, ia kembali ke tenda dan mendapati para penyamun mengelilingi si pertapa. Pertapa itu Fudhail.
Ia merasa dibodohi. Saat melihat sang musafir, Fudhail menyapa. "Ambilah dari tempatmu menaruhnya," kata Fudhail. Gerombolan Fudhail terkejut melebihi reaksi musafir. Mereka tak pernah menemukan satu dirham pun, sementara Fudhail mengembalikan 10 ribu!
"Orang itu telah berbaik sangka kepadaku, dan aku selalu berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan menerima pertobatanku," kata Fudhail kala anak buahnya memprotes. "Aku membenarkan prasangka baiknya sehingga Allah akan membenarkan prasangka baikku."
Dalam aksi perampokannya, Fudhail tak menjarah barang dari perempuan dan menyisakan harta kafilah. Ia juga tetap melakukan salat ataupun puasa. Kala seorang bertanya ihwal tabiatnya, Fudhail menjawab, "Bukankah Allah Yang Maha Kuasa sendiri berfirman: ‘Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk’?"
Orang itu takjub atas kefasihan Fudahil. Dan Fudhail tetap bersikap selayaknya tafsirnya pada firman Tuhan itu hingga ia mendengar lantunan Al-Quran dari kafilah yang siap dijarah: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah?"
Fudhail seolah mendengar suara: "Wahai Fudhail, berapa lama lagi engkau akan mencegat para musafir? Akan tiba waktunya Kami-lah yang mencegatmu!"
Titik balik mengubah Fudhail dari penyamun yang taat beribadah menjadi manusia yang rajin beribadah "saja". Ia bertobat dan meminta maaf kepada setiap orang.
Dalam contoh ekstrem, kiranya begitulah laku beragama. Kalimat tauhid mengisyaratkan bahwa agama bermula dari menolak-yang berarti telah ditawari atau bahkan menerima sesuatu sebelumnya.
Nurcholis Madjid (1939-2005) kerap mengatakan bahwa kitab suci sering menggunakan metafora "jalan". Bahwa agama adalah proses manusia yang nisbi menuju Tuhan Yang Mutlak. Namun, menurut Nucholis, manusia tak mungkin sampai pada Tuhan. Sebab, kontradiksi jika yang nisbi mencapai Yang Mutlak. Dan agama barangkali memang bukan tentang sampai. Agama ialah tentang menuju-proses yang tak pernah selesai.
Kisah Al-Fudhail bin Iyadh dan putra Syah bin Syuja bercerita tentang itu. Tentang perjalanan dari yang nisbi menuju Yang Mutlak. Kita teringat pada celoteh bagus Goenawan Mohamad (2007) yang agaknya relevan dengan pengembaraan tanpa henti para kekasih Tuhan itu: "Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo