Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran fotografi di Bali.
Menghadirkan karya fotografer Korea Selatan, Indonesia, Belanda, dan Prancis.
DUA pasang sepatu perempuan berwarna putih menjadi obyek yang hampir selalu hadir dalam jepretan kamera Yang Han-mo. Fotografer Korea Selatan ini menghadirkan 50 frame fotonya dalam judul Hanok is a Living Culture. Setiap frame berdimensi 90 x180 sentimeter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pasang sepatu itu ada di balok di depan pintu dengan tirai putih yang melambai-lambai, di tangga dengan balok kayu, di samping tirai berwarna tanah yang di depannya terhampar pemandangan sebuah rumah kayu. Yang juga memotret sebuah jendela dengan tirai terikat di tengah, memperlihatkan hijau dedaunan di luar, sebuah lorong teras berbahan kayu dengan tirai putih berkibar-kibar di sisi kanan, dan beberapa bagian bangunan rumah kayu lain. Sejatinya, sang fotografer hendak memperlihatkan bangunan rumah tradisional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya foto Hanok is a Living Culture memotret bagaimana pembuatan rumah tradisional Korea. Terlihat betapa sirkulasi udara yang baik dan pencahayaan yang berlimpah dari desain rumah di tepi pantai itu. “Di Korea kan ada empat musim. Nah, rumah ini didesain untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang posisinya di daerah pesisir,” ujar salah satu kurator pameran, Warih Wisatsana.
Hanok is a Living Culture menampilkan jepretan proses pembuatan rumah tradisional Korea dengan jumlah foto lebih dari 50 frame. “Tidak hanya fungsi, tapi ditonjolkan juga esensi atau nilai yang bermuara pada keheningan,” ucap Warih. Fotografer Korea lain, Weon Young-hee, menyuguhkan pemandangan di Korea, sepotong punggung pegunungan bersaput awan tipis dari kejauhan.
Sedangkan Son Muk-gwang membidik lanskap sebuah wilayah daratan dan lekukan alur beserta sedimen-sedimen yang terbentuk. Ia membidik pemandangan dari atas dan memberinya judul Korean Culture Heritage.
Tiga fotografer tersebut adalah bagian dari 14 fotografer Korea Selatan yang sedang berpameran bersama 15 fotografer Indonesia serta dua orang dari Prancis dan Belanda. Ratusan karya para fotografer ini dipajang di Natta Citta Art Space, kompleks Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sore itu, masih tampak satu-dua pengunjung yang asyik memperhatikan beberapa foto dalam pameran "Bali-Bhuwana Rupa (Global-Bali Photography Exhibition)" yang digelar pada 17-22 Oktober ini.
Pameran ini dikurasi oleh Jeon Dongsu dan Rektor ISI Denpasar I Wayan "Kun" Adnyana dengan ko-kurator D.A.E. Savitri Sastrawan dan Warih Wisatsana. Warih menjelaskan, karya-karya fotografi yang dipamerkan kali ini secara umum dapat dipilah dalam ragam bentuk yang menautkan berbagai elemen disiplin documentary, culture photography, composite photography, dan fusion photography. Hal ini juga mencerminkan gambaran transformasi yang melingkupi latar sosial-kultural para fotografernya.
Warih mengatakan pameran ini mengusung tema "Wara-Samasta-Waruna" atau Puja Samudra, Mulia Semesta. Para fotografer diberi kebebasan mengeksplorasi tema bahari atau samudra dalam segenap dimensinya. “Bukan hanya secara harfiah, seperti seruan peduli lingkungan.”
Karya fotografer Korea tidak hanya menyuguhkan keindahan alam dan budaya tradisional Korea yang unik dan estetik. Tema samudra, tutur Warih, disikapi tidak secara harfiah atau melulu memindahkan realitas lautan sebagai peristiwa biasa. Hamparan laut, gugusan pulau, bentangan gunung, juga obyek pohon menjulang mewarnai sebagian besar karya fotografer Korea ini. Muncul pula rumah tradisional Korea atau wujud bangunan dalam lanskap dan momen tertentu yang mengesankan tak terulang lagi.
Menengok sebagian karya lain fotografer Korea, pengunjung seperti terseret ke dalam suasana yang kontemplatif, hening, tenang, dan damai. Seperti dalam foto-foto karya Kim Shim-hoon, rangkaian seri Korean Pavilion, dengan bangunan suci (sacred space) membayangi imajinasi justru karena komposisinya yang membentangkan jarak pandang di kejauhan yang diliputi suasana hening. Nuansa yang sama dijumpai dalam karya Kim Dong-wook (Suncheon Bay), Cho Sung-je (White Margin), Kim Mi-joung (Road), Bae Gab-sun (Island), Kim Yang-soo (Pine Tree in Korea), Jeo Hyun-ok (A Sea of Clouds), Jang Yong-sig (Mountain), Kim Tae-kyu (Civilization), Kim Jung-hee (Wallscape), Son Muk-gwang (seri Korean Cultural Heritage).
Sederet wujud atau visual yang menggugah pandangan merupakan karya foto murni yang lebih dari sekadar hasil dokumentasi, juga foto-foto yang telah mengalami pengolahan kreativitas; sentuhan kolase dan montase tertentu, menggambarkan kehidupan ritual dan upacara tradisi (Bali) atau mengkonstruksi rangkaian obyek terpilih yang menggambarkan dinamika sosial-kultural, sebagian menyiratkan kesan ironi tersendiri.
Lindungi Sampah Laut karya Anis Raharjo. Dok. Bali Bhuwara Rupa
Lihatlah karya-karya composite photography Ida Bagus Candrayana (Seagrass, Dancing With The Waves) dan Anis Raharjo (Lindungi dari Sampah Laut, Dampak Sampah Laut, Ikan Tercemar Polutan) yang titik mula ciptanya dari fotografi menyapa kita dengan kesan sebagai karya lukis. Karya ini menarik disandingkan dengan karya para seniman yang berlatar belakang pendidikan desain komunikasi visual seperti Gede Bayu Segara Putra (Need “Vitamin Sea”) dan Wahyu Indira (Per-Suite of Happiness).
Permainan pilihan warna, lapisan gambar, tekstur, dan gradasi tampil dalam sesosok perempuan simbolik yang lengkap dengan sayapnya dalam karya Basuh di Segara. Sedangkan karya tunggal Tjandra Hutama, bertajuk Seaspiracy, adalah karya fusion photography yang meramu bentuk faktual hamparan laut serta memadukannya dengan rupa asosiatif (ikan, pesawat kertas) berikut label peringatan fragile yang secara keseluruhan menyarankan pesan kehati-hatian atau seruan kesadaran akan bahaya pencemaran lingkungan laut.
Seaspiracy karya Tjandra Hutama. Dok. Bali Bhuwana
Sederet karya dokumenter diolah dengan sentuhan estetik yang autentik, terlihat pada karya fotografer Indonesia. Sisi spiritual dari upacara-upacara di Bali tampil dalam jepretan D. Tjandra Kirana (Merah Senja), Gede Dalam Suardita (Warm), Made Saryana (Rutinitas di Pagi Hari), Amoga Lelo Octaviano (Contextual Motivations), I Komang Yorda Garmita (Melasti Ceremony), I Made Adi Dharmawan (Tanah Lot Temple), I Dewa Putu Ari Kresna Artha Negara (Di Antara Senja), I Made Bayu Pramana (Light of Life), Cokorda Istri Puspawati Nindhia (Solitude), dan Ida Bagus Putra Adnyana (Melis).
Pameran ini dihelat untuk merayakan hubungan diplomasi Indonesia dengan Korea Selatan yang telah terjalin selama 50 tahun. Acara ini sekaligus menjadi bagian dari serangkaian Festival Internasional Bali-Padma Bhuwana III.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jepretan-jepretan Hening dari Korea"