Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tafsir Komachi dan Rintrik dalam Pentas Teater

Pentas The Smiling Old Women di Bentara Budaya Jakarta. Kolaborasi Indonesia-Jepang.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG masuk ke ruangan pertunjukan, penonton diberi secarik kertas berisi pertanyaan oleh panitia untuk diisi. Beberapa penonton mengisi “angket” itu, tapi sebagian lain tidak. Pertanyaan yang harus dijawab: Kematian seperti apa yang Anda inginkan? Di planet apa kalian ingin dikubur? Bersama siapa Anda ingin dikubur?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segera kita meraba bahwa pertunjukan ini akan berkaitan dengan refleksi kematian. Begitu masuk ke ruangan di Bentara Budaya Jakarta, penonton langsung melihat dua kursi goyang antik berwarna putih sebagai sentral. Lalu muncul satu pemain dari Jepang dan satu dari Indonesia. Keduanya berias perempuan tua. Pemain dari Jepang membawa boneka bayi. Keduanya adalah alegori sosok Komachi dan Rintrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komachi adalah tokoh utama naskah Yukio Mishima, Sotoba Komachi. Ia perempuan pengemis tua berumur hampir seratus tahun yang mencari puntung rokok. Ia selalu datang ke sebuah taman di Tokyo pada jam yang sama dan duduk di bangku yang sama tiap hari. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang penyair mabuk di taman tersebut. Sebagaimana naskah Mishima lain, ujung naskah ini adalah kesepian dan tragedi. Nenek itu berdansa waltz dengan sang penyair yang tiba-tiba berhalusinasi melihat wajah nenek tersebut kembali muda. Sang penyair mati. Dalam hidupnya, sang nenek selalu melihat laki-laki yang mengaguminya akan mengalami kematian.

Adapun Rintrik adalah tokoh utama cerita pendek Danarto. Ia seorang perempuan tua buta yang bekerja sebagai penggali kubur mayat-mayat bayi. Rambutnya panjang, tubuhnya kerempeng tinggal kulit, pakaiannya compang-camping. Rintrik tiba-tiba datang ke sebuah lembah yang telah ditinggalkan. Ia membawa piano dan sering memainkannya. Dulu lembah itu indah dan menjadi lokasi tamasya. Namun kemudian tempat itu menjadi nista karena banyak bayi mati yang dibuang di situ. Rintrik kemudian datang menggali lubang-lubang kuburan tanpa bayaran. Cerpen Danarto surealis dan mengundang diskusi di mana-mana, dari perbincangan mengenai adegan-adegan Rintrik yang sangat filmis sampai obrolan tentang cerpen yang sarat kontemplasi atas persoalan ketuhanan. 

Pentas The Smiling Old Woman di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta, 14 Oktober 2023. Tempo/Magang/Joseph Teddy Saputra

Bambang Prihadi, sutradara Laboratorium Teater Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, dan Yasuhito Yano, sutradara Theatre Company Shelf dari Jepang, cukup lama melakukan kerja crossing text, mendialogkan kedua teks naskah tersebut, yakni empat tahun (2019-2023). Naskah Sotoba Komachi diterjemahkan oleh (almarhum) Yoko Nomura, pencinta teater asal Jepang yang dulu tinggal di Jakarta. Bambang dan Yano tidak mentah-mentah menggabungkan adegan-adegan dalam kedua karya itu. Hanya di bagian prolog tersebut pemain Jepang mengucapkan kalimat Rintrik dan pemain Indonesia menuturkan kalimat Komachi tentang kematian. Selanjutnya, mereka cenderung menyusun fragmen-fragmen berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman para aktor menyaksikan peristiwa kematian. Walhasil, karya ini lebih menjadi sebuah bunga rampai. Ada kurang-lebih 14 fragmen yang disajikan.

Fragmen pertama yang menampilkan seorang aktor membawa senapan mengendap-endap bak pemburu mengingatkan kita pada bagian akhir cerpen Danarto: Rintrik diseret dan diadili oleh para pemburu dan barisan penembak karena dianggap mempertuhankan diri. Adegan-adegan para aktor Jepang menemukan, mengumpulkan, mengidentifikasi, dan menghitung mayat-mayat tak dikenal korban gempa bumi serta bencana lain di kota-kota di Jepang selanjutnya cukup mengundang refleksi. Di layar, kita bisa melihat data korban tanpa identitas.

“Asal alamat dan nama tidak diketahui, usia sekitar 30-60 tahun. Jenis kelamin laki-laki. Korban mengenakan jaket hitam, sweater lengan panjang berwarna biru navy, kemeja lengan panjang hitam, celana dalam boxer merah….” Dengan dingin para aktor Jepang menampilkan adegan melabeli mayat, memperlakukan mayat-mayat hanya sebagai angka. Adegan ini dilakukan berulang-ulang di sekujur pertunjukan hingga terasa bagi saya sebagai tulang punggung atau struktur utama naskah. Data mayat tanpa identitas yang diumumkan kantor layanan sosial Kota Ofunato, Prefektur Iwate; Kota Shinagawa-ku, Tokyo; sampai Kota Izumo, Prefektur Shimane, yang dapat kita baca di tirai-tirai latar panggung melambungkan imajinasi getir. Adegan ini, meski tidak berkaitan dengan cerita Rintrik, seolah-olah berasosiasi dengan kisah mayat-mayat bayi tanpa identitas yang dilempar di lembah. 

Tantangan sebuah pertunjukan yang memilih pendekatan mozaik adalah bagaimana antara fragmen satu dan yang lain secara keseluruhan bisa solid dan dramaturginya tidak lepas satu sama lain. Ia memiliki kesinambungan, leitmotif, dan ikatan yang kuat. Adegan berulang pengidentifikasian mayat-mayat tak dikenal di Jepang terasa menyambung dengan adegan-adegan yang kemudian disajikan aktor-aktor Indonesia: adegan jenazah-jenazah bersarung bergeletakan. 

Kita dibawa asosiasi bagaimana jenazah-jenazah dikuburkan dengan tak semestinya, tanpa ritual dan doa-doa yang layak. Padahal baik di Jepang maupun di Indonesia begitu banyak khazanah ritual kematian. Begitu banyak upacara kematian yang sangat menghormati mereka yang telah meninggalkan dunia. Ritual itu pun berlangsung tidak hanya pada saat penguburan, tapi juga pada hari-hari khusus. Adegan seorang aktor Jepang membawa lampion lalu seolah-olah masuk ke area makam dan menghormati nisan ayahnya merupakan adegan yang kontras dengan adegan bagaimana mayat-mayat tanpa identitas tercampakkan. Adegan ini menyajikan adanya tradisi ziarah dan penghormatan terhadap orang mati yang masih kuat di Jepang.

Pentas The Smiling Old Woman di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta, 14 Oktober 2023. Tempo/Magang/Joseph Teddy Saputra

Bila saja berfokus pada jalinan “interteks” mayat-mayat tanpa identitas yang diperlakukan tak semestinya dalam peristiwa gempa dan sebagainya (bisa juga dalam kasus pembantaian politik) dengan tradisi penziarahan yang memiliki makna religius yang dalam, mungkin pertunjukan malam itu lebih solid dan utuh. Persoalannya, tatkala para pemain sampai ke fragmen pelelangan makam di planet-planet Bima Sakti, adegan agak longgar. Memang hal ini dimaksudkan sebagai satire atas orang-orang jetset yang untuk kematian mereka sering membeli makam mewah di bukit-bukit eksklusif. Tapi mood adegan itu tiba-tiba adalah banyolan, yang membuat rasa tragis menurun. Hal yang sama terjadi tatkala angket dikumpulkan, dibuka, dan hasilnya dibacakan dengan akting bak pemandu kuis. Adegan ini lebih menjadi sebuah intermeso, hiburan belaka, dengan niat mencairkan suasana.

Adegan diakhiri dengan kembali munculnya Komachi dan Rintrik. Dalam karya Yukio Mishima dan Danarto, perempuan itu sesungguhnya adalah sosok misterius dan magis. Dalam kolaborasi Indonesia-Jepang ini, keduanya muncul hanya di awal dan akhir sebagai prolog dan epilog, tidak masuk peristiwa yang membuat mereka merajut “kompilasi” agar bisa makin saling merekat. Betapapun demikian, tidak juga bila mereka disebut hanya sebagai tempelan. Pada akhir pertunjukan, aktor Jepang dan Indonesia menaburkan bunga-bunga kuburan di lantai Bentara Budaya. Harumnya menyengat dan menguarkan rasa mistis. Adegan kuat untuk sebuah ending.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Komachi, Rintrik, dan Kisah-kisah Kematian"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus