Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Bunga Yuridespita mengeksplorasi ruang galeri di Salihara.
Pameran mural besar yang merengkuh lukisan lain, membuat pengunjung serasa ikut menjadi bagian mural.
Mural karya Bunga mengubah ruang galeri menjadi lain.
BUNGA Yuridespita menyadarkan saya bahwa ruang tempat kita hidup, bernapas, dan beraktivitas bisa berubah. Bukan berubah hanya karena renovasi. Renovasi, betapapun total, tetap saja ruang yang kita kenali, dunia yang dulu juga. Ini suatu perubahan tak terduga, perubahan yang membuat kita serasa di dunia lain dan fantastis. Kita memang masih bisa membayangkan ruang yang dulu, galeri yang berbentuk bundar, tapi sudah “entah di mana”. Perubahan itu adalah perubahan yang fantastis, sebuah ruang yang “menerima” kita sekaligus “memperingatkan” bahwa kita belum pernah berada di sini. Kita tak tahu beton dan baja itu “menyimpan” apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah pameran seni rupa karya Bunga Yuridespita di Galeri Salihara, Jakarta, yang dimulai pada pekan pertama Maret dan berakhir pada pekan pertama April 2024. Galeri Salihara yang hilang oleh mural tampak sebagai sebuah beranda gedung beton dan baja berlapis pualam. Terdapat pilar-pilar persegi panjang berjajar rapi, dinding-dinding yang kokoh, dan garis-garis yang tajam. Tak saya lihat satu pun garis atau bentuk lengkung. Sebuah bangunan yang angkuh tapi tidak mengancam. Konon, arsitektur yang baik adalah yang nyaman dilihat serta menimbulkan perasaan aman dan nyaman. Bunga memang seorang arsitek yang kemudian melukis dan mematung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran bertajuk “Common Sanctum” ini menyuguhkan sejumlah lukisan nonfiguratif, satu patung nonfiguratif, sebuah video rangkaian warna, barik dan unsur seni rupa lain, karya berjudul A Dance of Dimensions, dan sebuah mural yang menguasai ruang pameran bertajuk Cosmic Dreamscape.
Kecuali patung yang diletakkan di serambi Salihara, semua karya berada di ruang galeri. Di dalam ruang itu semuanya terasa menyatu. Begitu melewati pintu masuk galeri, dalam beberapa langkah, yang saya rasakan adalah pameran ini sebenarnya hanya menyuguhkan satu karya: Cosmic Dreamscape. Mural berupa lukisan beranda sebuah bangunan khayali itu merengkuh segala yang ada. Lukisan-lukisan dan sebuah karya video itu serasa bagian dari mural. Lukisan-lukisan itu, bagi saya, bermakna karena berada di “mimpi semesta” Bunga. Bentuk pilar-pilar persegi dan lain-lain itu menempati sekitar separuh luas dinding. Tapi komposisi dan bentuk serta garis yang kokoh dan kuat, juga garis-garis yang menuju atas, samping, dan bawah (garis dan bentuk yang berlanjut atau bermula dari lantai), menguasai sekujur ruang. Pengunjung pun dipersilakan “masuk” ke beranda fiktif dengan bertelanjang kaki. Sederhana dan lumrah. Tapi bukankah dengan demikian kita merasa menyatu dengan pameran ini?
Pameran seni rupa yang mengubah ruang pameran bukan baru kali ini dihadirkan. Namun saya tak ingat adakah di antara pameran itu yang membuat ruang menjadi sama sekali baru. Ruang itulah yang menjadi ruang untuk karya-karya yang lain, seperti Cosmic Dreamscape ini.
Stellar Illusion dalam pameran "Common Sanctum" di Galeri Salihara, Jakarta, 8 Maret 2024. Witjak Widhi Cahya P
Ini tak lalu berarti lukisan-lukisan Bunga hanya pelengkap pameran. Satu per satu lukisan nonfiguratif itu bisa dinikmati terpisah. Karya-karya itu merupakan lukisan dengan komposisi warna yang padu, kemudian di sana-sini adalah warna aksen yang kontras dengan keseluruhan. Komposisi yang tidak lekas membikin bosan kita yang memandanginya.
Karya nonfiguratif Bunga merupakan lukisan abstrak yang berbeda dibandingkan dengan, misalnya, lukisan Handrio. Lukisan Handrio yang sepenuh bidang gambar, dengan perpaduan bentuk-bentuk geometris dan permainan ruang, bagi saya, memberikan imaji musik yang liris.
Lukisan Bunga terasa tidak masuk ke dunia liris, dunia rasa. Lukisan ini sebuah konstruksi bidang dua dimensi dan tiga dimensi, membentuk “benda”. Ini dicapai dengan cara tak mengisi penuh bidang gambar. Perpaduan bentuk itu berlatar kosong. Terasa kemudian lukisan nonfiguratif ini menjauh dari nonrepresentasi. Bunga terasa seperti “menggambar alam benda”. Maka, saya bayangkan, pameran lukisan bunga akan menjadikan karya-karyanya tertarik-tarik antara desain, upaya mengarang bentuk untuk sesuatu yang lain, dan lukisan nonfiguratif.
Tentu hal tersebut terasa juga di Salihara, tapi terselimuti oleh “mimpi semesta” yang gigantik secara ukuran serta menguasai ruang dari susunan bentuk dan goresan garis.
Ini kedua kalinya Bunga mengubah ruang pameran. Yang pertama adalah pameran karyanya di Rubanah, sebuah galeri underground yang dipilihnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan Hilanglah Galeri Salihara"