Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md. tak boleh kendur mendorong penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat. Hak DPR ini penting untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif pada 14 Februari 2024 yang menjadi percakapan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima partai pendukung dua pasangan calon presiden itu adalah Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa,Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan. Dengan 314 kursi, mereka bisa menghadang partai koalisi calon presiden Prabowo Subianto, yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan sejumlah partai kecil lain, yang memiliki 261 suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Intimidasi penguasa, seperti pengakuan sejumlah politikus pendukung hak angket, tak boleh menciutkan nyali. Para politikus mungkin punya dosa yang bisa dipersoalkan secara hukum. Tapi, hendaknya mereka ingat, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan segenap aparaturnya punya dosa lebih besar, yakni mengkhianati konstitusi sepanjang proses pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Penggunaan hak angket merupakan kesempatan membongkar dosa-dosa tersebut. Presiden Jokowi, sebagai kepala pemerintahan, bertanggung jawab atas segenap penyelewengan Pemilu 2024.
Perlawanan harus dilakukan dengan menepis iming-iming jabatan. Mengorbankan kepentingan publik hanya untuk satu-dua kursi kabinet adalah tindakan amoral. Masuk ke koalisi besar Prabowo mungkin mendatangkan keuntungan politik jangka pendek. Tapi, sebagai pendatang baru, partai-partai rival Prabowo akan mendapat porsi kecil dengan posisi tawar yang terbatas.
Sebagian orang baru menyadari Presiden Jokowi merusak demokrasi ketika anaknya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden dengan mengakali Undang-Undang Pemilu lewat Mahkamah Konstitusi. Padahal Jokowi memutar balik arah reformasi, terlihat ketika ia menyetujui pelemahan pemberantasan korupsi lewat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019.
Indonesia bisa diselamatkan dari kehancuran demokrasi jika kekuatan penyeimbang tak mudah dibujuk dan ditekan. Keberadaan oposisi—meskipun tak dikenal dalam sistem politik kita—penting untuk mencegah pemerintah menyelewengkan kekuasaan. Di DPR, tugas ini diemban partai politik, terutama mereka yang berada di luar pemerintahan.
Tentu bukan tugas yang mudah. Pemerintah yang alergi terhadap perbedaan pendapat boleh jadi menggunakan segenap cara untuk mencegah penentangnya memiliki jumlah kursi yang signifikan di badan legislatif. Partai di luar kekuasaan atau yang berusaha berbeda pendapat ditekan dengan segala cara. Dalam lima tahun terakhir, kita melihat partai-partai membebek penguasa dan menjadi tukang stempel kebijakan.
Di luar DPR, tak ada tokoh seperti Anwar Ibrahim di Malaysia yang tabah menjadi oposisi sebelum memenangi pemilihan umum. Sejarah Reformasi 1998 menyimpan cerita tentang Abdurrahman Wahid yang bersama sejumlah tokoh lain tak tunduk pada bujuk rayu Soeharto. Seperempat abad berlalu, politik berubah, termasuk muncul politikus yang menjadikan politik sekadar arena mendapatkan kekuasaan demi mengisi perut dan pundi-pundi. Politik bagi mereka sekadar urusan “siapa mendapatkan apa, seberapa banyak, dengan cara apa”.
Karena itu, pelbagai upaya membentuk koalisi besar partai pendukung pemerintah harus dilawan. Gagasan koalisi besar kini dikemukakan politikus dan ahli politik kelas kambing, dengan dalih pembangunan lancar tanpa gangguan oposisi. Mereka pura-pura lupa, pemerintahan tanpa oposisi adalah pemerintahan tanpa kontrol. Kemungkinan lain: mereka ingin menggaruk kekayaan alam lewat korupsi yang dibeking negara (state capture corruption) tanpa gangguan.
Sinyalemen pelemahan demokrasi disampaikan Prabowo Subianto, calon presiden yang kemungkinan besar memenangi pemilu. Katanya, dalam sebuah forum diskusi, demokrasi melelahkan, berantakan, dan mahal. Sampai di sini, kita tak punya pilihan selain melawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jangan Surut Mengupayakan Hak Angket"