Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MONSTER-MONSTER hasil karya Darbotz “menyerbu” Yogyakarta. Dalam sebuah pameran tunggal, monster berbentuk cumi-cumi yang diimajinasikan seniman grafiti asal Jakarta itu merangsek dan memenuhi lantai atas Srisasanti Gallery di Kota Gudeg selama dua bulan lebih, tepatnya pada 2 Maret-5 Mei 2024. Darbotz mengusung dimensi grafiti yang khas berupa kelindan antar-bangun datar lingkaran, elips, segi empat, dan segitiga. Ada monster berkepala bulat besar dan ada yang berkepala lebih kecil dari badannya. Ada yang matanya melotot. Pun tak sedikit yang sipit dan terkesan mengantuk. Bahkan ada yang tajam menyelidik. Giginya panjang, runcing, dan rapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monster ala Darbotz tak semenyeramkan imajinasi orang kebanyakan, justru terkesan unik. Hal ini mengingat monster-monster yang mulai dipopulerkan Darbotz pada 2004 di tembok-tembok Jakarta tersebut adalah caranya menggambarkan kehidupan kota metropolitan yang ditinggalinya. Ruwet, kejam, dan macet, tapi masih menyimpan sisi humanis dan kemampuan bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pameran 2024 di Yogyakarta adalah 20 tahun gue berkarya dan karakter ini ada. Menampilkan sesuatu yang baru,” kata Darbotz lewat akun Instagram @darbotz.
Yogyakarta menjadi persinggahan pertama karyanya pada 2024. Ini sekaligus pameran solo pertamanya di Yogyakarta untuk menggenapi enam pameran tunggal sebelumnya. Yang spesial dalam pameran ini, Darbotz menampilkan metamorfosis karya-karyanya yang disebutnya proses pendewasaan selama 20 tahun berkarya (2004-2024).
“Karya pertama justru berwarna,” ujar seniman yang tak pernah memunculkan identitas aslinya itu.
Lantaran masyarakat kebanyakan mengenal karya khas Darbotz dalam monokrom hitam-putih, beralihlah dia ke karya monokrom. Penggunaan warna monokrom ini sekaligus menjadi strategi agar karyanya lebih terekspos. Hal ini mengingat Jakarta sudah penuh warna dan gemerlap dengan aneka lampu hingga papan iklan. “Pengin gambar gue lebih kelihatan,” ucapnya.
Dalam karya monokrom itu, publik akan mengingat sulur-sulur tentakel cumi-cumi yang khas dalam karyanya berkelindan. Kian menampakkan Jakarta yang ruwet. Kemudian lahir karya versi sederhananya, monster ball. Bola monster ini tak butuh banyak waktu penggarapan saat digambar di jalanan.
Kini karya Darbotz muncul lebih berwarna. Apakah Darbotz kembali ke masa awal?
“Itu menggambarkan Jakarta yang dulu chaos, sekarang getting better. Mungkin seperti yang gue alami. Dulu kacau, sekarang berevolusi menjadi orang yang lebih dewasa,” Darbotz memaparkan.
Ada 29 lukisan di atas kanvas, 24 gambar di atas kertas, 10 gambar kolaborasi bersama seniman grafiti Yogyakarta, 2 patung, dan 1 mural yang akan menghiasi galeri.
Di tengah derai hujan, Rabu petang, 6 Maret 2024, Tempo mengamati monster-monster Darbotz menempel di dinding-dinding ruang pameran yang hening. Ada 16 karya serial yang diberi judul Faces of Resilient Beasts berukuran 150 x 120 sentimeter yang dibuat pada 2023. Darbotz melukisnya di atas kanvas yang dipotong sesuai dengan pola bentuk karyanya dengan sentuhan warna hitam, putih, merah muda, jingga, biru, dan hijau. Beberapa ada yang dominan dengan warna jingga.
Faces of Resilient Beasts.
Tak hanya menyajikan lukisan, di dalam ruang pameran itu Darbotz menampilkan dua karya patung yang diberi judul Bullet in Your Head. Karya terbaru 2024 itu dibuatnya dengan fiber resin yang didominasi warna merah muda gelap dan hijau. Menampilkan dua sosok monster berbentuk seperti kepala peluru yang bulat, tanpa kaki dan tangan, satu monster terlihat menyeringai dengan gigi-gigi tajamnya. Adapun monster yang satu lagi tampak imut dan mengantuk.
Sementara itu, di dinding luar ruang pameran, Darbotz memadukan karya media kanvas dengan mural. Di atas kanvas, dua karya yang diberi judul Monster Within itu adalah karya monokrom hitam-putih. Karya itu dibuat dengan latar garis-garis hitam tegak lurus yang tegas dan dihiasi bola-bola merah muda yang tertata. Sementara itu, dinding tempat kanvas tersebut dipajang dihiasi karya mural dengan warna monokrom abu-abu dan putih.
Selain karya-karya berukuran di atas 1 x1 meter, Darbotz menyajikan 14 seri karya totem hitam-putih di atas kertas A4 di dalam pigura. Ada seri totem dengan warna monokrom hitam-putih. Kemudian totem monokrom dengan berlatar garis-garis merah muda. Selanjutnya, ada juga totem monokrom dengan sentuhan warna hijau berlatar kotak-kotak hijau-putih.
“Transformasi natural dari proses berkarya Darbotz dapat dilihat dari seri totem ini,” tulis periset Donna Carollina dalam katalog.
Totem yang biasa dimaknai sebagai simbol spiritual atau kebudayaan tertentu, menurut Donna, menjadi simbol komunitas grafiti bagi Darbotz. Mereka menjadi satu ekosistem, seperti apa pun bentuk karya yang ditampilkan, dan saling menghargai.
Darbotz juga punya ruang tersendiri dalam mengapresiasi Yogyakarta dalam karyanya. Ia menempatkannya di sudut kecil ruangan dengan beragam media. Ini dimulai dengan dua karya pada kanvas yang diberi judul yang sama seperti tajuk pamerannya, Monstrous Mastery. Keduanya monokrom dengan berlatar garis-garis mendatar jingga dan merah muda serta kotak-kotak biru-hijau.
Lewat judul yang sekaligus mewakili tema besar pamerannya tersebut, Darbotz memindahkan keruwetan Jakarta ke Yogyakarta. Kota yang dimaknainya masih berselimut mitos akan kebesaran seni dan grafitinya. Kota Yogyakarta dinilainya tak tendensius dan menganut cita-cita akan perseduluran dan keramahan. Kota ini, belasan tahun lalu, menjalin kenangan dengan Darbotz lewat pergelaran seni lengkap dengan seni grafitinya.
Monster Within.
“Karya yang mengambil inspirasi atas kontradiksi antara kemajuan perkotaan dan keterasingan manusia,” tulis Donna.
Jalinan perseduluran Darbotz dengan seniman-seniman grafiti Yogyakarta tak lekang oleh zaman. Terbukti, meskipun berpameran tunggal, Darbotz memberikan ruang khusus kolaborasi dengan seniman-seniman grafiti Yogyakarta lewat project “Sama-Sama #2”. Mereka adalah Tuyuloveme, Techoo, Sicovecas, Lovehatelove, Muck, Rune, Dyeget, Trasher, Setsu, dan Nick23.
Karya-karya mereka tersebar di tembok-tembok di keramaian hingga kesunyian desa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka merespons monster ball Darbotz yang khas dengan sapuan karya khas masing-masing. Di atas kertas, karya-karya mural itu dipajang dalam pigura dan media video di layar televisi. Dalam proses kreatifnya, Darbotz merekam dan menampilkannya lewat dinding ruang pamer dengan sorotan slide video secara bergantian. Kita serasa melihat langsung karya seni jalanan seniman-seniman ini di tembok galeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "20 Tahun"