Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH bongkahan besar bergantung dari atas panggung. Tampak mengayun-ayun. Di banyak sudut panggung terlihat plastik-plastik penuh totol-totol kotor. Foto pertunjukan Tai karya Putu Wijaya dan Teater Mandiri di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, pada 1983 dengan skenografer Roedjito itu disajikan dalam pameran “Rupa Panggung: Serpihan Skenografi Indonesia” di Salihara, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran itu juga disajikan maket kecil tata panggung Tai. “Saya ingat, kami membeli kertas warna-warni, merajang, lalu menempelkannya di plastik-plastik yang digantung untuk memberi kesan kotoran yang berceceran,” kata Sony Sumarsono, kurator pameran yang juga pernah menjadi asisten mendiang Roedjito.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran di Salihara itu menampilkan rekonstruksi kecil tata panggung yang pernah digarap penata panggung teater dan tari kita, dari Danarto yang menangani pentas Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer sampai Syaeful Anwar yang menata panggung pentas Teater Koma, Sampek Engtay. Sebuah replika nisan Cina mirip garapan Syaeful Anwar dihadirkan.
Yang menarik, pameran skenografi ini juga menyajikan arsip tulisan tangan mendiang Roedjito. “Ada tiga tumpukan kertas dengan tulisan Roedjito yang kami temukan di rumah istri almarhum. Itu berisi catatan proses,” ujar Sony.
Roedjito. Dok. Tempo/ Nirfan Rifki
Roedjito yang wafat di usia 71 tahun pada 2003 boleh jadi penata panggung yang begitu kuat mewarnai dunia teater dan tari Indonesia pada 1970 sampai 1980-an. Roedjito lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Hampir semua kelompok teater ternama Indonesia, dari Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil, Teater Mandiri, hingga Teater Gandrik, pernah menyerahkan penataan set panggung mereka kepada Roedjito. Set yang dibangun Roedjito dikenal murah, tapi berkualitas. Dia juga memberi ruang yang menimbulkan perasaan nyaman dan sugesti bagi aktor untuk berekspresi.
“Setahu saya, sampai 1983, Tai adalah pementasan Teater Mandiri yang membutuhkan biaya panggung. Untuk membeli kertas warna-warni itu, kami mengeluarkan uang Rp 54 ribu,” kata Sony. Selebihnya, untuk pentas Teater Mandiri lain, Roedjito memanfaatkan barang-barang yang terbuang di sekitar lokasi untuk dijadikan dasar imajinasi set.
“Konsep Roedjito bertolak dari kredo Putu Wijaya: bertolak dari yang ada,” ujar Sony. “Saya ingat pada akhir 1970-an TIM mengalami renovasi. Graha Bhakti Budaya mulai dibangun. Saat itu banyak alat bantu konstruksi, seperti kayu dolken, ditemukan. Itu kemudian digunakan Roedjito untuk set pentas-pentas Putu,” tutur Sony. Tiang-tiang kayu dolken yang sepanjang 3-4 meter, Sony mengimbuhkan, diletakkan Roedjito di sudut-sudut panggung untuk menciptakan efek tarikan bidang datar ke atas.
“Pernah suatu ketika, di Teater Tertutup TIM, Roedjito menemukan kain-kain bekas yang bolong-bolong karena dimakan rayap. Kain itu lalu digunakan dalam pertunjukan Teater Mandiri, Aduh dan Edan. Saat kain itu dipasang menjadi dinding dan disorot lampu dari belakang, efeknya mengejutkan secara estetik,” kata Sony.
Pementasan drama Tai di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1983. Dok TEMPO/ Ali Said
Roedjito juga pernah memakai sumbu kompor yang digantung di atas kepala dalam pentas Gusmiati Suid dan Teater SAE. Sony menjelaskan, Roedjito memiliki konsep tersendiri tentang ruang. Ruang pementasan selalu diibaratkan Roedjito sebagai rongga tempat peristiwa terjadi.
“Roedjito selalu mengajarkan kami untuk peka terhadap ruang sela. Bila kami diminta menggambar dedaunan pohon, Roedjito selalu menyuruh kami memperhatikan interaksi di antara lubang-lubang di antara rerimbunan daun, bukan daun itu sendiri,” ujar Sony.
Hal itu dimaksudkan Roedjito agar penata panggung selalu peka terhadap interaksi antarbidang di prosenium. Interaksi benda-benda yang ada, termasuk kostum pemain, harus “cocok” sampai bisa menimbulkan rasa.
Yang senantiasa diingat Sony adalah Roedjito selalu rigid dalam menentukan titik benda-benda diletakkan. “Harus tepat. Tidak boleh bergeser beberapa inci pun. Jika salah, pasti dibongkar. Itu sering membuat saya bertengkar dengannya,” ucap Sony.
Sony ingat cara Roedjito menata skenografi selalu dimulai dengan “ritual” mengajak anggota kru mengepel panggung sampai bersih, kemudian ia bersama semua anggota kru duduk di kursi penonton memperhatikan panggung kosong. Lalu dia memerintahkan kru menaruh level pada satu titik. Kemudian ia meminta menambahnya di titik lain. Dengan cara demikian, Roedjito mencari gagasan dasar tata letak level. “Suasana mencoba-coba selalu riang, gembira, saling ledek,” Sony mengenang.
Sony bercerita, banyak hal tak terduga yang diimbuhkan Roedjito dalam penggarapan set. “Saat Rendra menggelar latihan Oedipus Rex di Teater Terbuka TIM, pas adegan Oedipus yang buta masuk hutan, tiba-tiba ada angin berembus ke panggung, membuat tikar-tikar tergetar. Tersorot lampu, getaran tikar-tikar itu bagus. Oedipus seperti tertelan ke dalam hutan. Tikar-tikar yang sesungguhnya dibawa anggota Bengkel untuk beristirahat itu oleh Roedjito digunakan sebagai bagian set,” kata Sony.
Untuk pementasan di Teater Terbuka TIM, Roedjito selalu memperhitungkan angin yang masuk. Karena itulah, tatkala Rendra mementaskan Macbeth di Teater Terbuka, Roedjito menampilkan set berupa bambu-bambu yang diikat menjadi satu rumpun. Saat angin berembus, bambu-bambu itu bisa mengeluarkan suara.
Ketika Roedjito menggarap pementasan Arifin C. Noer bersama Teater Kecil, Dalam Bayangan Tuhan, cara yang digunakan berbeda pula. Roedjito meminta Sony memasang tripleks dengan bidang yang dicat dengan komposisi warna biru, merah, dan hijau-merah. “Saya kaget, tiba-tiba dari interaksi warna itu muncul sendiri garis putih di bidang,” tutur Sony.
Pada saat Arifin C. Noer mementaskan Ozon, Roedjito menggantung layar putih melengkung dan plastik-plastik diletakkan di belakangnya. Naskah ini bercerita tentang perjalanan ruang angkasa kapal Waska, sang perampok semesta. “Set sederhana itu mampu menciptakan suasana seperti ruang angkasa,” ujar Sony.
Roedjito banyak belajar dari konsep ruang teater tradisi. Ruang dalam teater tradisi adalah ruang sakral. Sony menjelaskan, Roedjito pernah tinggal lama di Desa Sindu, Sanur, Bali. Di sana, dia mempelajari seni pertunjukan sampai teknik mengukir. “Untuk tata cahaya, Mbah Djito—panggilan akrab Roedjito—suka menggunakan warna-warna yang membuat penonton merasa berada dalam suasana ambang. Saya kira itu hasil belajar Mbah dari teater tradisi,” kata Sony.
Replika nisan Cina mirip garapan Syaeful Anwar dalam pentas Teater Koma, Sampek Engtay, di pameran "Rupa Panggung: Serpihan Skenografi Indonesia" di Salihara, Jakarta, 9 Juli 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Sony bercerita, Roedjito pernah mengatakan, saat menonton pertunjukan wayang kulit pada waktu dinihari, antara tidur dan terjaga, layar yang hanya diterangi cahaya obor akan terasa indah sekali. “Untuk itulah Roedjito suka menggunakan warna-warna agak gelap, seperti ungu tua, biru tua, dan merah-hijau. Dalam situasi ambang, menurut Roedjito, orang akan dapat melihat sesuatu dengan lebih baik,” Sony menambahkan.
Cara menggarap “bertolak dari yang ada” penuh dengan kepekaan dalam memanfaatkan barang-barang bekas. Cara ini juga lebih menekankan proses tumbuh yang memunculkan ketakterdugaan. Teknik ala Roedjito tersebut mungkin tak lagi menjadi model bagi pertunjukan masa kini karena dianggap riskan. Di masa kini, perencanaan pementasan cenderung terukur dari awal.
“Skenografer di masa sekarang cenderung mendesain, bukan kembang-tumbuh. Dengan menggunakan cara Roedjito, efek estetis bisa timbul dari proses yang tidak sengaja. Adapun penata panggung pada masa sekarang cenderung merancang efek sejak awal. Bagi Roedjito, kesenian organik tumbuh terus, sementara penata panggung kini production-oriented,” tutur Sony.
Arsip tulisan tangan Roedjito dalam pameran "Rupa Panggung: Serpihan Skenografi Indonesia” di Salihara, Jakarta, 9 Juli 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Sony mafhum di masa sekarang pementasan yang profesional membutuhkan perencanaan produksi yang pasti, termasuk soal set. Sebab, hal ini menyangkut anggaran dan waktu kerja. “Tahun 1990-an, saat arsitek seperti Jay Subiyakto masuk merancang skenografi seni pertunjukan, makin terjadi pencanggihan set. Set tak lagi sederhana seperti pada 1970 sampai 1980-an saat era Roedjito,” ujar kurator Asikin Hasan saat membuka pameran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Roedjito dan Skenografi Kita".