Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Jiwa Zaman dalam Karya Kelompok 7

Pameran bersama karya tujuh perupa anggota Sanggar Dewata Indonesia. Para perupa menampilkan hasil eksplorasi kreasi mereka.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karya-karya perupa Sanggar Dewata Indonesia tengah dipamerkan hingga Agustus mendatang.

  • Tujuh anggota sanggar yang berpameran adalah Ade Djirna, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Made Sudibia, Nyoman Wibawa, Made Bendi Yudha, dan Made Ruta.

  • Mereka menonjolkan karya dari hasil pergulatan kreatif dalam beberapa tahun terakhir.

PAMERAN Kelompok 7 Sanggar Dewata Indonesia (SDI) bertajuk “Pinara Pitu” tidak semata merayakan capaian cipta hampir empat dasawarsa (1990-2024). Namun ini sesungguhnya mempresentasikan pula apa yang diyakini para sejarawan sebagai zeitgeist atau jiwa zaman. Mengedepankan arsip, selain karya terbaru, para perupa tersebut adalah Made Djirna (1957), Nyoman Erawan (1958), Made Budhiana (1959), Made Sudibia (1959), Nyoman Wibawa (1960), Made Bendi Yudha (1961), dan Made Ruta (1962).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Galeri Santrian, Sanur, Bali, menjadi saksi bahwa perhelatan yang dibuka pada 5 Juli 2024 dan berlangsung hingga 30 Agustus 2024 tersebut dipresentasikan tim kurator Gurat Art Project melalui tahapan riset Gurat Institute yang berbasis di Bali. Tujuh karya yang mewakili periode cipta 1980-1990 disanding-bandingkan dengan 23 karya terbaru kurun 2022-2024, dan 1 karya bersama happening art pada 7 Juli 2024. SDI didirikan pada 15 Desember 1970 oleh Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Pande Gde Supada, Wayan Sika, dan Nyoman Arsana. Adapun keberadaan Kelompok 7 ditandai dengan ekshibisi pertama mereka di Ubud, Gianyar, Bali, tepatnya di Museum Neka pada 27 Juli-29 Agustus 1990 dan Galeri Rudana pada 1-4 Desember 1991.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran ketiga ini dikuratori Wayan Seriyoga Parta, Made Susanta Dwitanaya, Dewa Gde Purwita, dan Savitri Sastrawan. Patut dicatat, upaya riset mereka telah menjadikan suguhan tujuh perupa ini tak melulu berupa tata displai yang indah dipandang, tapi juga mengundang renungan dan sekian pertanyaan hakiki. Arsip berupa foto, rekaman wawancara, dan dokumen terpilih lain menandai kebersamaan tujuh perupa lintas masa tersebut. Mereka ibarat alun genta suci (Pinara Pitu) yang menggaungkan filosofi suara semesta (makrokosmos-mikrokosmos) dan terlahir dari lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) serta diyakini menjelma menjadi tujuh karakter nada berbeda. Hal itu menggambarkan tujuh perupa yang masing-masing telah meraih capaian stilistik dan estetik yang autentik.

Bacaan saksama atas arsip dan tata karya mereka memicu pertanyaan: apakah kebersamaan mereka sejak 1980-an tatkala menempuh studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta (yang kemudian menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta) hingga pergulatan kreatif sekarang telah melahirkan aksi kolektif berkelanjutan yang kemudian mewujud sebagai gerakan sosial seni? Bagaimana pula dinamika SDI selama lima dasawarsa aktivitasnya? Sumbangsih apa yang diberikan SDI yang tecermin juga pada reputasi-prestasi eksponen Kelompok 7 dalam mewarnai keberadaan seni rupa Indonesia dan dunia?

Karya Nyoman Erawan, Tradition Gesture #2 (2024). Dok. Gurat Institute/Gurat Art Project

Buku kajian setebal 188 halaman, yang sekaligus juga katalog “Pinara Pitu”, mengemukakan kecenderungan karya perupa Sanggar Dewata Indonesia bergaya abstrak dan surealistik. Tim kurator tak hanya membaca stilistika dan estetika SDI sejak awal berdiri hingga perkembangannya, tapi juga menelaah latar sosial kultural dan kecamuk politik tragedi 1965 yang membayangi kelahiran berikut akselerasi organisasi perupa asal Pulau Dewata ini.

Sebagai pembuka bahasan, diuraikan wacana modernitas yang mempengaruhi transformasi seni rupa Bali lintas masa. Kemudian dikedepankan pula telaah karya-karya awal Kelompok Tujuh berikut pemaknaan Pinara Pitu yang dirujukkan pada arsip dan capaian karya. Tradisi dan spirit Bali dieksplorasi sebagai tawaran aksi kolektif kreatif dan personal mereka. Upaya menggali jiwa zaman atau zeitgeist lima dekade umur SDI dan tiga dekade lebih Kelompok 7 rupanya tak cukup hanya dengan menghamparkan arsip atau menyandingkan penemuan stilistika-estetika karya awal dan capaian terbaru para perupanya.

Para kurator sekaligus tim riset yang tekun ini nyata benar berhadapan dengan tuntutan agar melakukan pengkajian bandingan secara mendalam dan menyeluruh. Mereka tak hanya merunut proses cipta setiap perupa sekian masa, tapi juga membandingkan capaian anggota Kelompok 7 dengan pendahulu dan generasi selanjutnya. Tentu akan terbaca pula akhirnya bagaimana para perupa ini mengolah elan kreatif dan kegelisahan eksistensial seraya melampaui mannerism (stagnan atau pengulangan).

Capaian cipta Nyoman Erawan dan Made Budhiana bolehlah disandingkan. Menarik juga bila pergulatan kreatif setiap anggotanya dibandingkan sebagai bacaan atas pencarian mereka selama berpuluh-puluh tahun itu. Dalam catatan saya, perupa Nyoman Erawan terus bergerak menggali berbagai kemungkinan. Ia tak hanya melukis secara dua dimensi dan tiga dimensi serta membuat dan seni instalasi, tapi juga melahirkan berbagai karya multimedia berikut performing art lintas batas. Ia mempertautkan kekayaan warisan kultural tradisi Bali dengan modernitas nan kontekstual yang mencerminkan kekinian.

Sebaliknya, karya Made Budhiana cenderung berbeda dengan karya-karya perupa Bali umumnya, yang kerap merujuk pada ikon-ikon tradisi serta acuan pada identitas ke-Bali-an ala SDI. Budhiana hadir dengan suatu ekspresi yang terbilang personal. Ia boleh dikata teguh dengan langgam rupa dua dimensinya. Meskipun kanvasnya, dalam karya-karya tertentu, dipenuhi aneka unsur garis dan rupa-rupa maya yang tak terduga, kita tak seketika teringat akan visual ala lukisan Bali. Ekspresi bebas nan otonom itu menunjukkan pelukis yang lahir di Denpasar ini menyikapi akar kulturnya dengan kesabaran olah sublimasinya. Karya-karyanya yang tergolong abstrak ini sejatinya mencerminkan bahwa ia adalah penjelajah kreatif yang teguh dengan pilihan stilistik dan estetiknya.

Nyoman Erawan mengalami kontemplasi berbagai peristiwa dan meluapkannya secara dinamis-ekspresif ke luar diri. Adapun Made Budhiana justru terkesan menghayati pengalaman sebagai sublimasi ke dalam diri. Menariknya, kedua kreator ini sama-sama menyandarkan kreasi tidak semata pada daya intuitif. Bila mencermati karya-karya mereka, baik habluran warna semesta puitisasi ala Erawan maupun garis-garis yang dinamis nonrepetitif dan non-naratif Budhiana, seakan-akan aksi cipta keduanya adalah spontanitas yang begitu saja memancar dari dunia bawah sadar. Unsur-unsur rasionalitas dianggap memainkan peran yang amat minimal.

Namun, bila mengamati lebih dalam serta membaca tahapan-tahapan cipta Erawan dan Made Budhiana, tak dapat disangkal bahwa karya-karya mereka adalah penggalian pengetahuan secara sistematis. Keduanya juga menjadikan studio pribadi mereka sebagai semacam ruang publik tempat berkumpulnya berbagai seniman dan intelektual dari berbagai latar dan kultur. Tahapan cipta dan pergulatan panjang pencarian juga dilalui perupa Made Djirna, Made Sudibia, Nyoman Wibawa, Made Bendi Yudha, dan Made Ruta. Sebagaimana dinamika kesenian 1970-an dan 1980-an yang dihidupkan oleh pencarian kembali ke akar atau tradisi, mereka juga menggali berbagai kemungkinan warisan silam. Ragam surealistik dan abstrak yang membayang tahapan berpuluh-puluh tahun kreasi ini menunjukkan dinamika stilistik-estetik mereka yang makin mempribadi.

(Dari kiri ke kanan) Made Djirna, Nyoman Erawan, Nyoman Wibawa, Made Budhiana, Made Bendi Yudha, Made Ruta, dan Made Sudibia. Dok. Gurat Institute /Gurat Art Project

Made Djirna juga tak puas hanya dengan mencipta karya dua dimensi. Kemodernan dan kekontemporeran yang dialami perupa Bali lintas generasi, terutama setelah bersentuhan dengan dunia akademis, dapat dirunut tahapan ciptanya yang lintas budaya (trans-culture) atau silang budaya (cross-culture) berupa benturan sekaligus pertautan antara nilai-nilai warisan budaya leluhur (tradisi) dan nilai-nilai budaya lain—dialami Bali bahkan jauh sebelum masa kolonial.

Karya instalasi Made Djirna terbilang unik dan autentik justru karena menggambarkan tahapan lintas budaya dan silang budaya. Kuasa dijalani dan dilampauinya secara natural. Karya-karya Made Djirna, terlebih yang tiga dimensi, secara stilistik-estetik digenangi naluri purba. Sekilas, figur-figur seni tiga dimensinya ini mempresentasikan sosok-sosok purba ala art brut atau raw art. Namun harus disampaikan bahwa pencarian dan penemuan ragam bentuk purba itu bukan galian naluri semata, melainkan juga laku penghayatan mendalam pada lapis realitas lingkungan sekitar (sekala-niskala).

Hal ini juga bisa dirujuk pada karya Made Ruta yang menyikapi secara kreatif sosok-sosok patung Tjokot dengan gambaran lidah terjulur serta aneka rupa primitif lain. Keteguhan dan ketekunan merunut alur cipta bertahun-tahun juga terbaca pada karya Bendi Yudha. Dalam karyanya, spirit ke-Bali-an dan warisan rupa tradisi dipresentasikan melalui keunikan stilistik-estetik personal.

Karya-karya dengan capaian mempribadi ini dapat juga dilacak prosesnya pada karya-karya Made Sudibia dan Nyoman Wibawa. Perihal langgam surealistik dan ekspresi abstraksi yang dianut sebagian besar anggota SDI, termasuk Kelompok 7, patut ditelaah tersendiri. Pergulatan mereka melampaui figurasi tersebut tidak sepenuhnya dapat dirujuk pada alur abstrakisme atau surealisme Barat. Memang, selintas pandang secara stilistik atau teknik, tak dimungkiri hal itu adalah bagian dari keberadaan abstrakisme dan surealisme. Tapi dapat diuji di sini bahwa muatan yang terkandung di dalam karya mereka bisa saja berangkat dari latar penghayatan atau titik mula penciptaan yang berbeda.

Sementara para pelukis abstrak Barat berproses melalui sejumlah pertanyaan tentang realitas, terutama secara rasional dan sistematis, pelukis SDI barangkali lebih dipicu oleh perenungan batin atau ragam abstraksi yang bermula dari penghayatan keseharian masyarakat Bali—meyakini bahwa, selain dunia sekala (nyata/kasatmata), terdapat dunia niskala (nirwujud). Keduanya pada hakikatnya hadir tanpa sekat; sebentuk penghayatan akan ketransendenan atau sesuatu yang melampaui nalar sebagai cerminan tahapan spiritualitas komunal.

Karya-karya mereka tak sekadar berciri abstrak atau semata habluran warna personal, tapi juga sebentuk puitisasi semesta diri (mikrokosmos-makrokosmos). Hal itu sekaligus mempresentasikan apa yang disebut budayawan Dick Hartoko sebagai “rasa yang tak terlihat” (unseen feeling) berikut daya kreatif (creative power) yang tak kunjung surut.

Pembukaan pameran terbilang meriah, ditandai dengan presentasi musikal komponis Gde Yudane dan Putu Septa serta pembacaan puisi Mira M.M. Astra. Banyaknya kalangan yang hadir membuktikan bahwa reputasi dan prestasi Kelompok 7 memang telah diapresiasi luas secara nasional dan internasional. Aktivis dan budayawan Putu Suasta, sekretaris Nyoman Gunarsa pada masa awal pendirian SDI, mengungkapkan testimoni pentingnya setelah melakukan riset komprehensif, mendalam, dan menyeluruh terhadap fakta histori mengenai keberadaan Kelompok 7 dan SDI.

Putu Suasta menyatakan SDI belakangan ini kian kehilangan akselerasinya dalam menyikapi dinamika zaman dan percepatan perubahan yang terjadi. Pemberdayaan arsip sebagai bagian upaya membangun aksi kolektif adalah kerja intelektual berkelanjutan. Dari sini barulah mungkin lahir gerakan sosial seni yang memperluas medan kesadaran baru dalam berkreasi. Upaya itu tak boleh mengabaikan fakta atau data historis dalam risetnya. Masyarakat seni rupa di Bali tak boleh luput mencatat aksi personal atau kolektif yang terbukti mewarnai kehidupan kesenian dan kebudayaan di Bali. Di antaranya Darga Gallery, Sanur, dengan sosok Jais Dargawijaya sebagai pialang internasional yang berhasil mewujudkan pameran yang sulit terulang di Bali.

Karya-karya maestro dunia, antara lain Pablo Picasso, Jean-Michel Basquiat, dan Henri Matisse, digelar serta disandingkan dengan karya pelukis terkemuka Indonesia, seperti Nashar. Hadir pula pameran tunggal maestro Bali, Ida Bagus Made, yang langka. Acara ini pun secara khusus memamerkan karya-karya perupa Indonesia di galerinya di pusat seni dunia, Saint-Germain-des-Prés, Paris. Yang turut serta adalah karya Made Budhiana dan Nyoman Erawan.

Pameran yang digelar para pegiat Gurat Institute ini menunjukkan bahwa pendalaman arsip adalah bagian hakiki dalam memahami jiwa zaman. Marlowe Bandem, koordinator lembaga Arsip Bali 1928, menegaskan, senyatanya perhelatan ini tak semata menghadirkan kembali yang silam, tapi juga mempresentasikan pengharapan masa depan yang diakselerasi sebagai peristiwa sekarang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Warih Wisatsana adalah kurator dan penyair. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Gema Cipta Pinara Pitu".

Warih Wisatsana

Warih Wisatsana

Penyair dan kurator

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus