Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGIAN ruang pameran itu menyerupai ruang tamu. Perabot berupa meja dan kursi tamu antik, bufet, meja samping, rak-rak kayu, serta foto-foto mungil menghiasi dinding. Anda dipersilakan duduk-duduk atau bercengkerama di situ. Suasana rumah orang Jawa zaman dulu? Yang tidak biasa adalah beberapa labu atau botol kaca serta kompor di atas meja dan rak. Di bawahnya terdapat wadah-wadah plastik berisi air dan pompa. Alat-alat itu digunakan untuk menyuling. Jika Anda betah duduk berlama-lama di situ atau mendekat ke mulut labu kaca, sayup-sayup terhidu beberapa aroma, seperti pala, cengkih, dan lada. Itu rempah-rempah ekspor unggulan Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping itu, yang menarik perhatian adalah beberapa buku tebal dengan halaman terbuka di ujung tabung, yang di antaranya memperlihatkan kesibukan Presiden Soeharto meresmikan pabrik kayu lapis dan tekstil serta kilang minyak dan industri pesawat di sejumlah kota di Jawa. Lewat tabung kaca, air hasil penyulingan rempah menetesi halaman buku. Tak membutuhkan waktu lama untuk melembapkan atau “menguapkannya” jika proses itu lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu satu dari tujuh karya Ade Darmawan yang memenuhi ruangan dengan judul Tuban (2019) dalam pameran tunggalnya, “Water Resistance”, di ROH Projects, Jakarta, 7 Juli-4 Agustus 2024. Pameran yang serupa berlangsung di Cemeti Art House, Yogyakarta, 27 Juni-3 Agustus 2024. Ade Darmawan, 50 tahun, adalah lulusan Jurusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1997) dan pernah mengikuti residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten (1998-2000). Bersama Ruangrupa, ia menjadi bagian dari tim artistik “Lumbung”, tema Documenta Ke-15 di Kassel, Jerman, pada 2022.
Apa kaitan antara aroma rempah, penyulingan, dan Orde Baru? Bukan hanya halaman foto, buku-buku yang menyuguhkan teks mengenai hal tersebut juga mesti dicerna sebelum bertambah lembap dan sulit dibaca. Salah satu petikannya: “…sementara itu, keadaan politik berkembang pesat. Proses peralihan jabatan kepresidenan dari Bung Karno kepada Pak Harto berjalan secara halus melalui sidang-sidang MPRS di bulan Maret 1967 dan 1968. Di masa inilah saya temukan sifat Pak Harto untuk mikul ndhuwur, mendhem jero terhadap Presiden Soekarno.” Ini cuplikan buku Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991) yang sudah terkena air dan merupakan bagian dari karya instalasi Tuban tersebut. Anda mungkin merasakan peralihan kekuasaan yang “berjalan secara halus” setara dengan aroma tipis-tipis yang terhidu di ruangan itu.
Salah satu meja di ruangan instalasi Tuban (2019) yang menunjukkan proses penyulingan dan buku yang terkena tetesan penyulingan di ROH Projects, Jakarta, 17 Juli 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Perhatikan pula kutipan dari buku yang lain, sambil berupaya mengendus uap rempah: “The Financial Times edisi 17 Oktober 1995 memaparkan peta bisnis sejumlah pengusaha dan kaitannya dengan keluarga Presiden. Diakui oleh Sofjan Wanandi, jubir kelompok Prasetya Mulya, sebagian kelompok bisnis yang berkembang pesat mendapat bantuan pemerintah. Namun, menurut James T. Ryadi, wakil pimpinan Lippo Group, asumsi bahwa tanpa patron politik suatu usaha tidak bisa tumbuh, tidak bisa diterima. Dalam daftar 100 konglomerat yang dimuat oleh majalah Eksekutif edisi Agustus 1995, nama empat putra-putri Presiden tercantum.”
Dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989)—salah satu buku di “ruang tamu” itu—kita bisa membaca pernyataannya di halaman lain: “Menjelang Magrib, sekarang tiap hari saya mesti bertemu dengan cucu-cucu. Saya memerlukan kehangatan suasana keluarga setelah ditimbun oleh pekerjaan-pekerjaan berat.” Kita bertemu dengan kata “kehangatan” di sini, sebuah sensasi sarat makna yang, menurut antropolog Saya Sasaki Shiraishi, sangat kuat memproduksi memori kolektif dalam keluarga Indonesia.
Sensasi “hangat” adalah bagian utama relasi dalam “keluarga”. Tapi apa yang sering disebut sebagai “kekeluargaan” adalah bahasa politik khas Orde Baru. Soeharto adalah “Bapak Presiden” yang di dalam budaya politik Orde Baru telah memberi arti penting bagi “famili-isme” atau sistem kekeluargaan. Dialah “Bapak” dari segala bapak. Sang Bapak adalah sosok panutan yang mesti dipatuhi oleh para pembantunya dan warga negara sebagai “anak”, orang yang selalu siap memberikan semua petunjuknya. Dalam kata-kata Shiraishi, “Indonesia pada masa Orde Baru adalah dunia koneksi mahabesar. Dalam dunia koneksi ini, hanya ada satu hubungan hierarkis: bapak-anak. Keluarga memperluas dirinya melalui bermacam-macam relasi sosial, dan mempunyai caranya sendiri untuk membedakan diri dengan orang asing. Seseorang mampu mempunyai akses ke kantor-kantor pemerintah untuk semua jenis kegiatan tergantung kepada jaringan ‘keluarga’ masing-masing.”
Melalui sensasi “hangat” dalam proses-proses penyulingan yang dipertontonkan Ade, kita bisa meraba pesan pada karyanya tentang sistem kekeluargaan yang meresap dan mengisap ke sana-kemari. Tampaknya masuk akal membayangkan ada sosok bapak, ibu, dan anak bercengkerama di “ruang tamu” pameran itu ketika pertama kali kita masuk. Segera setelah itu, kita berupaya menangkap aroma hangat yang sangat samar—elemen bau yang tidak selalu dapat kita tangkap—bersumber dari labu-labu yang mengukus rempah atau drum-drum yang memanas ketika kita mendekat atau menyentuhnya.
Philippe Pirotte menulis pengantar yang secara artistik mengartikan pameran ini sebagai “pabrik penyulingan yang mengingatkan kita bahwa seni dengan caranya sendiri menggunakan ekstraksi dan distilasi untuk mengubah para pelaku dari suatu ekosistem menjadi 'sumber daya' untuk memasuki 'siklus kehidupan' yang lain dan berlangsung melalui proses dan fungsinya yang baru”.
Kita telah mengendus “bau” yang tak menentu—aroma rempah dan budaya politik—dan mengetahui acuan pokok Ade dalam buku Arus Balik, karya besar Pramoedya Ananta Toer (1995). Judul pameran ini bahkan sangat terasa terinspirasi novel sejarah yang dibaca Ade di sekolah menengah itu. Selama ratusan tahun, kata Pramoedya, manusia Indonesia hanya melihat ke darat, menjauhkan diri dari sungai dan laut. Seusai masa kekuasaan hegemonik Kerajaan Majapahit di abad ke-16, Nusantara tidak lagi menjadi kerajaan maritim besar yang menentukan arus dari selatan ke utara. Sebaliknya, Nusantara mundur ke pedalaman. Berlakunya sistem Tanam Paksa pada 1830 hanya membuktikan kehadiran kuasa kolonial Belanda—dari arah utara—atas wilayah selatan. Pelabuhan terpenting di masa sebelumnya, seperti Tuban di Jawa Timur, tidak lagi berperan. Arus balik yang terjadi berabad-abad berlanjut di masa pasca-penjajahan melalui koneksi negara dengan kekuatan-kekuatan perdagangan yang tetap dikuasai dunia Barat. Eksploitasi sumber-sumber alam yang terjadi di daratan berlanjut sampai era Orde Baru, dan tentunya sampai kini.
“Perlawanan air” adalah arus balik tetesan-tetesan kecil pada budaya yang modernisasinya berorientasi pada darat dan pulau. Selain berupaya menggapai kesubliman perihal makna “tanah” dan “air” melalui unsur bau dan penyulingan, sudut pandang Ade membawa kita menyusuri teks sejarah, budaya, dan politik dalam konteks “selatan”. Pemaknaan atas istilah “tanah air” telah berlangsung lama. Pada 1945, Mohammad Yamin mengartikannya sebagai kesatuan istilah yang tidak terpisah. Sejak saat itu, wacana mengenai dikotomi antara darat dan laut terus berlanjut. Wilayah belakang ataupun wilayah depan negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia ini, bagaimanapun, adalah sama saja: laut.
Rempah-rempah yang menjadi penguasa baru sebagai komoditas sejak masa kolonial menjadi bahan distilasi untuk pameran ini. Dalam pameran di Cemeti, bahan-bahan mentahnya ditampilkan di ruang pameran, memperkaya dan mengkonkretkan imajinasi pengunjung. Dalam pameran di ROH, dua piring porselen kebiruan berlambang kongsi dagang Belanda, VOC, yang ditampilkan di kolong bufet pada karya Tuban memberi gaung pada karya di bagian lain. Semua reproduksi foto di dinding—hadir di Cemeti dan di ROH—dikerjakan dengan mesin kecerdasan buatan dan menggambarkan lanskap Nusantara masa lalu, tentara-tentara kolonial, dan tanaman rempah, yang merupakan campuran antara yang fiksi dan yang nyata (Lexicon of a Lexicon of Foreign Artists Who Visualize Indonesia [2024]).
Karya instalasi lain di ujung ruangan adalah Moralitas Molaritas per Barrel (2024). Istilah “kemolaran” menunjukkan kepekatan zat atau bahan yang dilarutkan. Delapan drum minyak berisi pala, cengkih, pandan, melati, tapak liman, lada, kayu manis, dan daun sirih dikukus untuk menghasilkan uap dan tetesan air. Kehadiran drum-drum besar dan tabung gas ini terasa kontras dengan labu-labu kaca yang mungil dan meneteskan “keharuman dan noda”. Konfigurasi karya ini tidak lagi mirip dengan laboratorium rumahan, tapi sebuah dapur penyulingan yang barangkali dibayangkan semacam kartel atau persekutuan. Ada drum bekas minyak yang bertulisan “Pertamina”, perusahaan negara yang di awal kejayaannya justru menimbun utang lebih besar dibanding warisan utang dari rezim yang ditumbangkan.
Moralitas Molaritas per Barrel (2024) karya Ade Darmawan dalam pameran bertajuk "Water Resistance" di ROH Projects, Jakarta, 17 Juli 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Karya Santalum Album Family (2024) bermakna ganda. Santalum album adalah nama ilmiah cendana yang batang kayunya termasuk bahan rempah. Tapi cendana juga berkaitan dengan nama jalan yang menjadi lokasi kediaman keluarga Soeharto di Jakarta. Keluarga “Bapak Presiden” sering disebut dengan “Keluarga Cendana”. Sebuah drum Pertamina, tangki minyak, kompor, potongan pagar besi rumah, slang, dan pipa knalpot secara fisik menunjukkan apa yang tidak bisa kita lihat secara langsung dalam proses penyulingan. Bau politik Orde Baru dan arus balik yang digugat oleh Pramoedya sejak berabad-abad lalu agaknya masih menarik diendus karena ekstraksi sumber-sumber alam terus berlangsung sampai hari ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hendro Wiyanto adalah penulis dan pengamat seni rupa. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Menyuling Tanah Air".