Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Buku di Tangan Seniman

Pameran ini mengajak para seniman untuk menjadikan buku sebagai produk budaya yang subyektif, unik, dan penuh imajinasi.

26 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buku PEJUANG KEHIDUPAN karya LINTANG WIDYOKUSUMO. Foto: bukuseni.garasiseni10.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Torehan tinta Cina berwarna hitam seperti menari-nari di atas kertas berukuran 120 x 30 sentimeter. Jejaknya membentuk semacam tulisan tangan berhuruf sambung yang kadang miring dan tegak. Di bawahnya samar-samar terlihat teks dan gambar foto seperti di koran atau majalah. Alih-alih seperti manuskrip pada lembaran yang dilipat-lipat, tulisannya ternyata tanpa arti atau semantik. Karna Mustaqim memberi judul karyanya itu Asemic as Writing as Drawing as Art as Book.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lewat tulisan asemik atau tanpa arti pada karyanya itu, akademisi desain komunikasi visual tersebut mengajak orang berkelana sejenak ke masa silam. Masa itu adalah ketika gambar belum disebut atau selesai sebagai gambar, pun tulisan atau corat-coret tangan tanpa makna, aturan bentuk, dan nilai keindahan. Dari bentuk ekspresi yang spontan dan cenderung abstrak itu, Karna mengaitkannya dengan kondisi masa kini, khususnya soal era post-truth yang semerbak oleh kabar bohong alias hoaks serta membuat kebenaran dan makna tulisan lenyap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya itu tampil dalam pameran virtual berjudul “Buku Seni Jagat Nusantara” di laman http://bukuseni.garasiseni10.com/ruang-pamer/. Total ada 36 peserta yang menampilkan karya baru dan lamanya. Pameran yang digagas perupa kertas Setiawan Sabana itu berlangsung pada 17-31 Agustus 2020 dan menjadi bagian dari perhelatan tahunan Bandung Art Month ke-3 bertajuk “Edankeun”.

Bagi beberapa orang, buku telah melekat sebagai tempat untuk menitipkan kisah hidup dan perjalanannya. Yunita Fitra Andriana, misalnya, menjadikan dua halaman buku bergaris untuk mengisahkan pekerjaan domestik seorang ibu pada masa pandemi Covid-19. Tanpa teks, ceritanya mengalir lewat ilustrasi gambar yang semarak oleh sapuan cat air berwarna merah muda.

Berjudul Motherhood Journal, pada kertas buku yang diperbesar menjadi ukuran A3 itu, terlihat seorang ibu berpakaian muslimah. Profesinya di rumah terhitung sebagai juru masak, ahli gizi, guru daring (online) dadakan, teman bermain anak, sekaligus mencari uang sebagai wanita karier, juga penjual barang.

Seniman lain, Maria Junia, menuangkan perjalanan bersama keluarganya ke berbagai kota di dalam dan luar negeri lewat gambar berwarna. Karya berupa buku dari kertas kulit kayu (daluang) dengan ukuran 21 x 36 x 30 sentimeter itu berjudul Visual Journal. Adapun Abed Azarya membuat karya berisi kumpulan gambar dan tulisan dengan pensil berjudul Pesan tentang Perjuangan pada lembaran-lembaran kertas berukuran A4. Menurut dia, pada tahun ini banyak cerita yang harus didokumentasikan dan menjadi momen yang patut diabadikan.

Masa pandemi yang berdampak pada masyarakat kalangan menengah bawah menimbulkan sorotan perhatian, empati, ataupun simpati. Lintang Widyokusumo, misalnya. Dia menggambar aktivitas warga, seperti tukang becak, ojek sepeda motor, pedagang kaki lima, petugas satuan pengamanan, penjual kopi keliling, serta para bapak yang mengasuh anak dan bekerja di dapur. Terbagi dalam beberapa bab, buku kompilasi sketsanya itu berjudul Pejuang Kehidupan.

Berbeda dengan seniman lain yang memakai bahan kertas, pematung Dolorosa Sinaga memajang karya lamanya berupa patung buatan 2015 yang berdimensi 40 x 50 x 26 sentimeter. Memakai bahan dari logam perunggu, tema karyanya pun cadas, yaitu tentang kekerasan politik berjudul Concise History of Mass Murdered in Indonesia 65-66. Patungnya berupa sebuah buku tebal bersampul cokelat dengan sesosok orang tengah berbaring di dalamnya. Seorang lagi tengah memeluk peti hitam di atasnya.

Beberapa peserta juga membuat karya video, tapi tidak semua bisa dilihat karena tautannya nihil. Salah satu karya yang bisa dilihat adalah milik Dhyani Hendranto berjudul Awakened Land. Berdurasi 2 menit 32 detik, video berteknik animasi itu bertokoh sebuah buku yang bercerita soal sejarah dampak kolonialisme terhadap pertanian Indonesia.

Setiawan Sabana, dalam tulisan pengantar pameran virtual itu, menjelaskan buku sebagai produk autentik dari peradaban kertas dengan bentuk dan ukuran yang khas, pun cara membacanya. Dalam pameran pada masa serba digital ini, ia mengajak para seniman dan desainer untuk menjadikan buku sebagai produk budaya yang subyektif, unik, dan penuh imajinasi. “Buku di tangan seniman menjadi benda artistik yang unik.”  ***

 ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus