Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tony Ardie adalah aktivis HMI yang dua kali dipenjara pemerintah Orde Baru pada 1980-an.
Dia pertama kali dipenjara karena pelanggaran pasal penyebaran kebencian, sementara yang kedua akibat dianggap mendalangi peristiwa Tanjung Priok.
Tony meninggal pada Jumat malam, 27 Desember 2024.
WAKTU tak pernah menjadi musuh Tony Ardie. "Kecil," katanya sembari menjentikkan jari kelingking dengan jempolnya. Saat itu, Februari 1984, dia berada di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Saroso Bagyo baru mengganjarnya hukuman penjara sembilan bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis tersebut datang karena Tony—saat itu 29 tahun—dianggap menghina pemerintah ketika berceramah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 28 Agustus 1983. Dalam pertemuan yang membahas larangan jilbab di sejumlah sekolah negeri itu, Tony menyitir film Warkop DKI yang dirilis pada tahun yang sama, Maju Kena Mundur Kena. Tony mengatakan, "Umat Islam sering kali maju kepentok Firaun, mundur kepentok Allah." Hakim menganggap Firaun yang Tony omongkan adalah Presiden Soeharto sehingga dia dikenai Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pernyataan kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti ditulis majalah Tempo edisi 18 Februari 1984, sepanjang pembacaan putusan, Tony terlihat acuh tak acuh. Dia sesekali melirik ke arah penonton dan meneguk teh yang ia bawa dalam kemasan di tas kecil. Hakim Saroso pun harus bersabar ketika pada awal persidangan Tony malah membaca koran. Amarah hakim hampir meledak saat dia mendengar jawaban si terdakwa untuk naik banding. "Yang mempersamakan Presiden dengan Firaun adalah majelis hakim sendiri," ujar Tony.
Tony Ardie adalah aktivis Islam pada 1980-an. Dia lahir di Surabaya, 28 Februari 1954. Anak pertama dari sepuluh bersaudara ini awalnya menganut Katolik, seperti ibunya yang berdarah Indo-Madura. Tony mulai mendalami Islam saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pada 1973, setelah satu tahun kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tony pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI.
Selain cerdas—Tony antara lain pernah menjadi asisten dosen Sardjono Yatiman untuk mata kuliah Sistem Sosial Indonesia—dia aktif berorganisasi. Tony menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI cabang Jakarta pada 1978-1979.
Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan 2004-2009, adalah rekan lama Tony. Mereka berkenalan dalam pelatihan kepemimpinan HMI pada 1979. Saat pertama kali bertemu, keduanya langsung bersawala tentang prinsip hidup dan keyakinan. "Kami berdebat tinggi. Tapi, karena dia lebih banyak baca buku, ya ia menang," tutur M.S. Kaban kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2025.
Di mata Kaban, Tony sangat lihai berargumentasi. Semua pendapatnya logis dan didukung bukti kuat. Kaban juga sangat menikmati pidato Tony yang ia sebut bisa menumbuhkan keyakinan masif bagi pendengarnya. "Saat itu saya merasa dia sudah menjadi tokoh," ucap Kaban.
Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang 2016-2022, mengatakan Tony aktif di dunia dakwah sejak masa kuliah. Dia mengenal Tony di UI—Sofyan di Fakultas Hukum, Tony di FISIP. "Sejak kuliah dia kerap jadi khatib salat Jumat," kata Sofyan kepada Tempo, Selasa, 7 Januari 2025. Ceramah-ceramah Tony, Sofyan melanjutkan, tergolong kritis dan berani sehingga dia kerap disebut sebagai bagian dari kelompok Islam garis keras.
Tudingan itu yang kembali menyeret Tony ke penjara. Pemerintah Orde Baru menyebutnya sebagai salah satu dalang peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984, bersama antara lain Andi Mappetahang Fatwa, Mawardi Noor, dan Oesmany Al Hamidy.
Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu berawal pada Sabtu, 8 September 1984, saat dua personel bintara pembina desa masuk ke Musala As-Sa'adah di Gang IV, Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tanpa melepas alas kaki—dalam sidang mengaku melepas sepatu. Mereka hendak mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Ketegangan meningkat dua hari kemudian, saat warga membakar sepeda motor aparatur tersebut. Para tentara lantas menangkap empat pelaku pembakaran tersebut. Esoknya, 11 September 1984, Amir Biki, tokoh masyarakat setempat, mendatangi kantor Komando Distrik Militer (Kodim) 0502/Jakarta Utara meminta empat orang tersebut dibebaskan, tapi tidak diindahkan.
Pada 12 September 1984, Amir Biki dan sekitar 1.500 orang berunjuk rasa di Kodim Jakarta Utara. Sebagian massa merusak gedung di sekitar mereka. Tuntutan mereka dibalas dengan serentetan peluru tentara. Laporan pemerintah menyebutkan 24 orang tewas. Adapun saksi mata meyakini sedikitnya seratus jiwa melayang, termasuk Amir Biki.
Tragedi ini muncul di tengah penolakan terhadap asas tunggal Pancasila yang diterapkan Orde Baru. Sebelum kejadian, Tony menyampaikan, "Ya, Allah, penjara lebih aku sukai daripada menerima asas tunggal."
***
"Kecil."
JARI kelingking Tony Ardie kembali dijentikkan dengan jempolnya di ruang sidang. Padahal kali ini vonisnya lebih berat. Majelis hakim menghukumnya sembilan tahun penjara karena dinilai terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok. Tony menolak tawaran naik banding dengan alasan mempercayai putusan hakim. Di luar tata cara persidangan, dia malah langsung meminta grasi kepada Presiden Soeharto.
M.S. Kaban beberapa kali menyambangi Tony di penjara. Kunjungan itu tak pernah sepi dari diskusi soal isu kenegaraan.
Selepas dari jeruji besi, Kaban mengatakan, Tony menarik diri dari ranah politik dan berfokus di jalur dakwah. "Dia jadi lebih soft," katanya. "Seperti betul-betul dapat tekanan dari tentara saat itu."
Menurut Kaban, Tony tidak pilih-pilih forum dakwah. Suatu waktu, Kaban mendapati Tony berceramah di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Saat dia berbicara, pedagang berhenti beraktivitas dan mendengarkan dakwahnya," ucap Kaban.
Sofyan Djalil jarang berkomunikasi dengan Tony selepas masa kuliah karena Sofyan melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Sekembali ke Tanah Air, dia menjadi pegawai negeri sipil. "Pendapatnya yang kritis sebenarnya mewakili suara kebanyakan orang. Tapi, karena saat itu saya PNS, saya harus jaga jarak dengannya," ujarnya.
Kedua sahabat itu baru kembali berhubungan saat Sofyan menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika 2004-2007. Tony tiba-tiba meneleponnya dan bernostalgia mengenang masa kuliah. Mereka terakhir kali berkomunikasi menjelang pemilihan presiden 2024. Sofyan meyakini Tony punya kemampuan menerawang masa depan sehingga dia menanyakan peluang kemenangan kandidat pilihannya. "Tapi kami tidak berdiskusi banyak karena saat itu Tony sedang menyetir," kata Sofyan, kini Komisaris Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk.
Tony Ardie meninggal pada usia 70 tahun, Jumat malam, 27 Desember 2024. Dia dimakamkan di Purworejo, Jawa Tengah.
Mitra Tarigan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo