COMING TO AMERICA Pemain: Edie Murphy, Arsenio Hall Cerita: Edie Murphy Skenario: David Sheffield dan Barry W. Blaustein Sutradara: John Landis MEMBANGUNKAN Pangeran Akeem pada ulang tahunnya yang ke-21 memerlukan orkes gesek di balkon. Inilah Kerajaan Zamunda di bilangan Afrika, tempat raja harus menginjak tebaran bunga mawar kalau melangkah. "Apakah aku tidak boleh mandi sendiri sekarang, setelah berusia 21 ?" tanya Pangeran Akeem, setelah terjaga. Pembantunya langsung menggenjot, "Itu pertanyaan yang tidak lucu, Pangeran." Maka, sang pangeran terpaksa kembali membiarkan para petugas menyikat beliau di kamar mandi. Dengan intro yang nyleneh itu, kita segera tahu bahwa film ini mengajak tertawa. Tetapi berapa banyak? Pelawak Edie Murphy, yang sudah memukau kita lewat penampilannya yang tangkas dalam film 48 Hours dan Beverly Hills Cop, kini tak membanyol. Tidak sengit dan nyerocos sebagaimana biasanya. Ia tampil anteng, sopan, aristokrat, dan nampak ganteng. Maklum, pangeran. Di meja makan yang luar biasa panjangnya, kedua orangtua Akeem (James Earl Jones dan Madge Sinclair) memberi hadiah jodoh. Seorang mempelai jelita yang telah terlatih untuk bilang "ya". Calon istri yang kemudian dipujikan oleh protokol, "wanita yang bebas dari segala penyakit dan siap melakukan apa saja untuk pangeran". Akeem pun sempat mengetes calon istrinya. Wanita itu memang benar-benar sudah dilatih untuk "mengembik". Disuruh apa saja mau. Menirukan suara binatang pun oke. Tapi Akeem tak suka jodoh yang dihadiahkan. Ia ingin memilih sendiri. Nampakya, ia seorang demokrat. Untuk itu, ia menoleh pada wanita Amerika yang tersohor mandiri. Kawasan Queen di New York pun kemudian menjadi daerah perburuannya. Ditemani oleh punakawannya: Semi (Arsenio Hall), ia berangkat ke Negeri Paman Sam itu. "Negeri ini benar-benar demokratis, karena orang boleh membuang pecahan kaca ke jalanan," kata Akeem di sebuah jalanan di Queen ketika menemukan pecahan kaca yang terlontar dari sebuah jendela. Seperti rusa masuk kota, Akeem mulai mengamati wanita-wanita Amerika yang tersohor memuja kebebasan bersikap. Ia mencari dan berkenalan dan sempat juga ketanggor bencong. Pada suatu kali ia terlempar menghadiri "khotbah" seorang pendeta gereja gospel. Di sana matanya terpaut pada Lisa (Shari Headley), anak pemilik restoran McDowell (John Amos). Terpukau sejak pandangan pertama, Akeem lantas melamar kerja di restoran tersebut dan dapat tugas sebagai tukang pel. Sejak itulah ia dekat dengan idamannya. Dengan lugu dan sopan, ia mencoba melakukan pendekatan. Tetapi apa lacur, sang idaman sudah punya pacar, Darryl (Eriq LaSalle), seorang anak pengusaha kaya. Tampaknya, kamu begitu senang menyapu dan ngepel. Ada apa, sih?" tanya Lisa pada suatu kali, sambil mernpersilakan Akeem duduk sebentar beristirahat. Sang pangeran mengangguk sopan. "Kalau ingin terbang, kamu harus belajar merangkak dan ngepel," kata Akeem. "Tapi itu kata Nietzsche," tambahnya cepat-cepat. Lisa tidak tercengang mendengar nama filsuf Jerman yang beken itu dari mulut seorang tukang pel. Maklum, di Amerika banyak mahasiswa bekerja sebagai pelayan. Karena insiden antara Lisa dan Darryl, yang menyangkut soal yang sangat prinsipiil bagi wanita Amerika -- kebebasan menentukan pendapat -- Akeem dapat angin. Wanita itu jadi dekat dengannya. Apalagi Akeem sempat menghajar seorang perampok bersenjata yang nyelonong masuk ke dalam restoran. Pangeran yang mengaku gembala kambing ini mendadak jadi pahlawan. Lisa, yang mengaku tidak mendambakan kekayaan ttapi membutuhkan cinta itu, akhirnya berpaling kepada Akeem, kendatipun ayahnya menentang. Serta-merta tahu siapa sebenarnya Akeem, Lisa langsung menampik. Ia mencintai Akeem, tapi bukan Pangeran Akeem. Dan mendengar Akeem sudah punya istri di negerinya, ia tak bisa dibujuk lagi. Seperti meniru adegan dalam film Crocodile Dundee, Akeem pun sempat berbantahan dengan pacarnya di subway New York. Tetapi kisah cinta yang ringan ini tak bermaksud menjadi drama percintaan. Cerita berakhir klise, penonton blong, karena tidak diganduli pesan, kecuali kisah cinta "anak muda" dengan dialog-dialog yang kadang kala nyerempet ke "lampu merah". Masih dalam kelas "hiburan", komedi ringan ini segar. Kehadiran Edie Murphy, 27 tahun, berbeda dari biasanya. Ia tak konyol lagi. Ia pacaran, ia berciuman, ia menjadi pemuda idola. Seakan ingin membuka image baru pada dirinya. Tapi gaya banyolannya yang energetik: ngotot, ngeyel, dan nyerocos masih tersisa lewat tokoh-tokoh lain. Misalnya dari kelompok orang tua yang suka ngumpul di tukang cukur. Juga dari pendeta gospel yang dengan tangkasnya mempermainkan kata-kata: "Aku ini mencintai Tuhan. Dan kalau itu salah, aku tidak ingin benar." Cerita karangan Edie Murphy ini, lewat penyutradaraan John Landis yang cukup bersih -- ia pernah menelurkan Blues Brothers -- seperti mengolok kehidupan feodal. Tapi diam-diam juga terasa "mengejek" kebebasan menentukan sikap Lisa. Wanita yang begitu demokrat dan mengaku tak mendambakan kekayaan dan kehormatan itu tiba-tiba berbalik pada adegan terakhir. Di atas kereta, ketika dielu-elu oleh rakyat, Pangeran Akeem masih sempat memberikan tantangan. "Demi cintaku kepadamu, aku sanggup meninggalkan semua ini, kalau itu yang ente mau, Lisa," kata Akeem dengan nekat. Lisa berpikir sejenak dan tiba-tiba saja ia menjawab, tersenyum dengan kerlingan mata nakal, "Tak usyeh, ya". Lalu tutup buku. Cerminan sikap Murphy terhadap wanita? Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini