Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Soekarno dalam c mayor

Jakarta : rajawali, 1988 resensi oleh : ridwan saidi.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEKARNO, PEMIKIRAN POLITIK DAN KENYATAAN PRAKTEK Editor: Dr. Nazaruddin Sjamsuddin Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1988, 247 halaman ADA beberapa hal yang menarik membaca kumpulan tulisan tentang Soekarno yang disunting Dr. Nazaruddin Syamsuddin ini. Pertama, motivasi penulisan buku ini oleh Nazaruddin dikatakan, dalam pengantarnya, karena dunia akademis kita hingga saat ini belum pernah menulis satu buku apa pun tentang Soekarno. Nazaruddin benar. Sejak berakhirnya kekuasaan Soekarno pada 1967, akademisi kita tidak pernah menjadikan Soekarno sebagai obyek telaahnya. Bukan karena Soekarno kurang penting perannya dalam sejarah Indonesia, tapi lebih disebabkan oleh praanggapan soal ini termasuk sensitif, seperti sindiran Nazaruddin kepada kalangan sendiri. Kedua, enam orang ilmuwan politik yang menyumbangkan tulisannya, kecuali Nazar, adalah orang-orang muda yang boleh dikatakan masih kanak-kanak ketika Soekarno tengah berkuasa. Chusnul Mar'iyah yang menulis Soekarno dan Demokrasi lahir 1961, Frederica J.E. Agoes yang menulis Soekarno dan Masalah Ekonomi tamat FISIP-UI tahun 1987, Isbodroini Suyanto dengan Soekarno dan Nasionalisme selesai studi di UI tahun 1978. Lalu, Toto Pribadi yang menulis Soekarno dan Internasionalisme lahir tahun 1954, Valina Singka Soebekti yang menulis Soekarno dan Marhaenisme lahir tahun 1961. Hanya Nazaruddin Syamsuddin sendiri, yang dalam buku ini menulis Soekarno, Sebuah Tragedi?, lahir tahun 1944. Hal ini menarik karena kita mendapat gambaran bagaimana ilmuwan muda melihat secara ilmiah pikiran dan praktek politik Soekarno. Mayoritas penulis adalah orang yang tidak secara langsung mengikuti kiprah politik Soekarno berikut akibatnya pada masa tersebut. Jarak emosional antara penulis dan obyek yang ditulisnya amat penting untuk mendapatkan tingkat obyektivitas yang tinggi. Tapi tampaknya tingkat obyektivitas juga ditentukan oleh faktor lain, misalnya keleluasaan kepustakaan. Semua penulis dalam buku ini menggunakan kepustakaan yang baku, tidak kita jumpai sumber-sumber yang spesifik. Rata-rata penulis mengacu pada buku yang ditulis Harold Crouch, Bernhard Dahm, Herbert Feith, John D. Legge, Dan Lev, Kahin. Dari sumber Indonesia sendiri yang diacu Roeslan Abdulgani, B.M. Diah, Mohammad Hatta, A.H. Nasution, Tan Malaka. Dengan data yang diambil dari sumber yang sama, akhirnya kekuatan buku ini harus dicari dari deskripsi penulisan dan interpretasi data. Karena spesifikasi topik didasarkan pada pemisahan aspek-aspek pemikiran Soekarno, seperti aspek demokrasi, nasionalisme, ekonomi, internasionalisme, dan marhaenisme, maka deskripsi penulisan menjadi satu nada, dan hampir semua penulis mengulang-ulang hal yang sama. Yang mencolok adalah kesamaan yang begitu banyak dalam tiga tulisan tentang Soekarno dan, Demokrasi, Soekarno dan Nasionalisme, dan Soekarno dan Marhaenisme. Seharusnya ketiga tulisan itu dapat dijadikan satu. Seandainya spesifikasi penulisan didasarkan atas periodisasi kehidupan Soekarno, niscaya kita tidak menghadapi buku ini bagai mendengar lagu pop yang dinyanyikan dengan nada dasar C mayor, biasa-biasa saja. Para penulis umumnya berpendapat bahwa Soekarno adalah tokoh permersatu bangsa. Tetapi mereka juga menyimpulkan Soekarno itu romantis, idealis, emosional, tidak pragmatis, dan tidak tanggap terhadap soal ekonomi. Kesimpulan ini tidak seluruhnya benar, karena tidak untuk seluruh perjalanan kariernya Soekarno tampil dalam sosok yang romantis dan tidak pragmatis. Dalam periode 1945-1950, sebagai presiden RI pertama, Soekarno tampil sebagai politisi yang pragmatis. Kemelut intern yang terjadi pada masa awal revolusi, dengan rupa-rupa kekuatan dalam spektrum politik nasional berikut rupa-rupa aspirasi dan kepentingannya, melahirkan pelbagai ketegangan yang berujung pada Peristiwa 3 Juli 1946. Soekarno, seperti dikatakan Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda 1944-1966, akhirnya muncul sebagai tokoh yang makin kuat kedudukannya secara politis. Tentu karena Soekarno mampu melakukan management of conflict terhadap kepentingan-kepentingan yang berbenturan. Itu tidak mungkin ia lakukan jikalau tidak berpikir pragmatis. Akademisi kita juga kurang menyoroti peran Soekarno dalam menghadapi politik Van Mook yang memecah belah kekuatan RI dengan membentuk pelbagai negara bagian. Soekarno memainkan peran penting "memecah" kekuatan dalam negara bagian itu menjadi blok "federalis" dan "unitaris". Sehingga proses pembentukan Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1945 berjalan lebih cepat, karena kekuatan "unitaris" dalam tubuh negara-negara bagian semakin besar. Jikalau Isbodroini dalam tulisannya tentang Soekarno dan Nasionalisme menempatkan posisi Islam berhadap-hadapan dengan gagasan Soekarno, niscayalah itu mengandung kebenaran separuh saja. Artinya, sejauh yang dipergunakan sebagai acuan adalah pikiran-pikiran A. Hassan dan M. Natsir. Isbodroini tidak dapat dipersalahkan, karena sumber penulisan tentang Islam dan Nasionalisme amat sterotip. A. Hassan dan Natsir tidak dapat dikatakan mewakili secara utuh pandanan Islam tentang Nasionalisme. Tulisan Toto Pribadi tentang Soekarno dan Internasionalisme memberikan refrain yang manis, sehingga membuat buku ini menarik untuk dibaca. Secara keseluruhan, kehadiran buku ini patut disambut baik, karena pandangan ilmuwan muda tentang Soekarno merupakan keaksian tersendiri. Ridwan Saidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus