Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Parfi membunuh kaisar

Karya/sutradara : ikranegara pemain: hendra cipta,kusno sudjarwadi, nani wijaya, mutiara sani, dll. penata artistik : fred wetik. produksi : swa parfi. resensi oleh : putu wijaya.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAISAR VS BRUTUS Karya/sutradara: Ikranegara Pemain: Hendra Cipta, Kusno Sudjarwadi, Nani Wijaya, Mutiara Sani, W.D. Mochtar, Amoroso Katamsi Penata Artistik: Fred Wetik Penata Musik: Embie C. Noer Produksi: Sanggar Wawasan Akting (SWA) Parfi KISAH pembunuhan Kaisar telah merepotkan sejumlah artis film Indonesia di Gedung Kesenian, Jakarta, sejak 27 Januari s/d 4 Februari ini. Lakon yang menelan hampir tiga jam itu ditulis dan disutradarai oleh Ikranegara, pemimpin Teater Saja, yang kini terkenal sebagai pemain film. Berbeda dengan Julius Caesar karya Shakespeare yang memuncak dengan pidato Anthony di depan masa rakyat yang tersohor itu, Ikra mengakhiri cerita ketika sang Kaisar terbunuh. Dengan menonjolkan tokoh Kaska -- dimainkan dengan bersemangat oleh Jefry Sani -- yang mendalangi usaha membunuh Kaisar, Ikranegara telah menyeret para artis film keluar dari bingkai layar perak untuk mencoba stamina, akting, dan bermain sebagai sebuah tim. Usaha tersebut berhasil pada beberapa pemain yang memiliki latar belakang panggung -- dan khususnya dari mereka yang masih terus aktif sampai kini. Seperti halnya Dorman Borisman yang berperan sebagai Suami. Pemain Teater Kecil ini muncul siap dan bermain dengan baik. Bersama dengan Shinta Muin yang memainkan tokoh Mak Gembrot, Dorman merobek kebekuan panggung dan berkomunikasi dengan penonton. Adegan kedua mereka itu hidup dan lucu. Sementara itu, pemain-pemain lainnya, meskipun potensial, masih belum memanfaatkan bahasa panggung. Di atas panggung seorang pemain tak bisa mengharapkan kamera akan membantu memaketkan penampilan. Ruang mesti digarap, intensitas harus kontinu, bloking dialirkan, dan seluruh tubuh terus-menerus diamati penonton dari 180 derajat dengan sudut pandang berbeda-beda. Belum lagi ada yang duduk di balkon dengan pandangan menurut bahasa kamera high angle. Para artis kehilangan apa yang mereka kenal sebagai close up, zoom in/out, reverse dan sebagainya yang selama ini membantu mereka di layar perak. Toh seorang seperti Hendra Cipta tampil cukup baik. Sejak awal ia nampak tekun mengenakan "karakter" Brutus -- pemikir yang sebenarnya tidak memiliki nafsu merebut kekuasaan dari Kaisar. Ia seperti korban ambisi orang-orang di sekitarnya. Kalaupun kemudian ia ikut menusukkan pedangnya ke tubuh Kaisar, nampak jelas ia melakukannya dengan hati yang berat. Hendra sempat menampilkan konflik dalam jiwa perannya, yang kurang keluar dari pemain-pemain yang lain. Sayang sekali, Brutus mengenakan kostum gemerlapan didampingi oleh istrinya (Mutiara Sani) yang lebih menyilaukan lagi. Kilauan bagai opera Cina itu terasa murahan, melemahkan tragik Brutus, yang juga mengkhianati sosok tragedi seluruh cerita. Tak berarti bahwa tragedi yang sudah di"pribumi"-kan ini mesti setia pada konsep tragedi Barat yang steril: kusam. Karena adegan kocak antara Kaisar dan warganya (melibatkan Dorman, Atiek Cancer, Shinta Muin, Bung Salim), yang mirip dagelan Srimulat -- setelah masa jedah -- terasa hidup dan tak lepas. Justru itu adegan yang paling kompak dalam usaha "Parfi membunuh Kaisar" ini. Kusno Sudjarwadi (Kaisar), Amoroso Katamsi (Kasius), Achmad Nugraha (Oktavian), Dwi Yan (Antoni), dan Mutiara Sani (Forlia), Nani Wijaya (Kalpurnia), bermain dengan sungguh-sungguh, melontarkan dialog-dialog. Tetapi yang hilang adalah karakter. Emosi yang nampak ketika dialog dimainkan adalah emosi per dialog dari lubuk hati pemain itu sendiri. Bukan dari karakter. Endapan peristiwa pun tak muncul. Kostum yang dikenakan jadi aneh, karena kita masih merasa itu ucapan Kusno, ucapan Nugraha, ucapan Dwi -- kendatipun mereka menguasai elemen-elemen suara. Masalahnya: cerita ini sudah terlalu terkenal. Kostum yang digarap dengan sungguh-sungguh seperti menuntut imbangan karakteris yang mendalam tentang seorang kaisar dari kekaisaran Romawi, tentang seorang Antoni yang begitu beken kemudian, karena perannya yang menentukan, setelah Kaisar terbunuh. Mungkin konsep sutradara tak merata pada pemain, Ikranegara, yang selalu tampil memukau sebagai pemain, sebagai sutradar tak memberikan garis merah yang menyatukan para pemain sebagai tim untuk menggebrak. Bukan masalah mengajar bagaimana bermain, karena itu mungkin bukan yang dikehendaki oleh Ikra. Tetapi menyatukan pandang dalam mendekati cerita dan menyamakan strategi dalam menyampalkan benang merah cerita. Kecuali terasa memberikan pengarahan pada Narator (dimainkan dengan suara bariton yang memukau oleh Aspar), Ikra tak tuntas mengutarakan apa yang dikehendakinya dari pemain lain. Selain Kusno, Nugraha, Dwi, Nani, yang mestinya empuk dan andal sebagai pemain, Ira Wibowo, yang bermain sebagai Kastilia, sebagai misal, juga mubazir. Memerankan wanita jelita yang dipasang Kaska sebagai mata-mata di istana Kaisar, Ira dibiarkan membungkuk-bungkuk dan begitu "Ira" di tengah tokoh-tokoh kerajaan Romawi. Dengan cerita yang sudah berhasil menyalurkan kepenyairan Ikranegara dibantu oleh set dan kostum yang sungguh-sungguh dari Fred Wetik (yang sudah jarang dilakukan sekarang) musik Embie C. Noer yang membuat kita seperti nonton film -- persembahan Parfi ini mungkin baru semacam pemanasan. Sebagai usaha terobosan, untuk membiasakan orang film berkeringat di panggung. Karenanya, perlu diteruskan. Ikra sendiri muncul makin mantap sebagai seorang penulis dengan cirinya yang khas, menyelipkan kritik-kritik sosial. "Apakah sekarang ada larangan untuk resah?" tanya Ikra lewat seorang tokohnya. Naskahnya, yang mengandung kemungkinan visual lni, belum semua tertuangkan kepanggung. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus