DINAMIKA ilmu dan usia muda nan ceria, yang selama ini merupakan ciri kehidupan kampus, ternyata sudah tak lagi berakar di bumi nyata. Berbagai perubahan dalam dekade terakhir telah membuat perguruan tinggi jadi gelanggang yang bersuasana tegang, sangat berdisiplin, tak bercahaya. Gejala yang tak bisa dipungkiri ialah meluasnya stres di kalangan mahasiswa. Sejumlah psikolog sudah menemukan tanda-tandanya. "Stres, bahkan depresi, sekarang ini semakin umum di kalangan mahasiswa," kata Prof. Singgih Gunarsa, psikolog yang menjadi salah seorang pembimbing mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta. Guru besar psikologi ini mengutarakan, sejumlah penyebab stres dan depresi memang baru muncul belakangan ini. Di masa lalu, gejala itu tidak begitu terlihat. Gunarsa menemukan, banyak mahasiswa mengalami stres karena belajar dianggap kegiatan yang tidak menyenangkan. "Misalnya karena salah masuk jurusan," katanya kepada Yudhi Soerjoatmodjo dari TEMPO. Dalam sistem penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru), kemungkinan terlempar ke jurusan yang tidak begitu disukai memang besar. Calon mahasiswa tak punya pilihan lain, kecuali mengisi tempat yang disediakan itu -- diterima di perguruan tinggi negeri saja sudah harus bersyukur. "Mempelajari ilmu yang tidak diminati bukan hanya tidak menyenangkan, tapi juga menegangkan," kata Singgih. Contohnya: Titiek, 20 tahun, mahasiswi Turusan Matematika IKIP Yogya. Ia mengikuti tes Sipenmaru pada 1987 dan memilih Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. "Untuk jaga-jaga saja, saya memilih matematika IKIP," katanya. "Ternyata, malah ini yang saya dapat." Setelah terjun ke matematika, Titiek baru sadar bahwa ia sama sekali tak tertarik pada ilmu itu. Belajar jadi terasa menyiksa. Kini Titiek -- bukan nama sebenarnya berada di bawah perawatan psikolog. Ia terkena stres berat. Semester lalu, seluruh ujiannya ambruk, padahal ia sudah belajar mati-matian. Celakanya, ia masih harus menanggung pukulan lain. Orangtuanya, yang sudah sejak awal kecewa karena Titiek masuk jurusan matematika, marah besar ketika ujian semesternya rontok. "Orangtua saya, dengan keadaan ekonomi terbatas, merasa sudah dengan susah payah membiayai kuliah saya." Menurut psikolog Dr. Bill Raksa Jaya, stres dan depresi di kalangan mahasiswa berpangkal pada ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Memang manifestasinya terlihat sebagai gangguan belajar. Kepala Laboratorium Eksperimen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran ini secara tetap meneliti tingkat stres di kalangan mahasiswa. Disertasinya (1982) yang berjudul Kecemasan Pada Mahasiswa adalah hasil penelitian terhadap 600 responden mahasiswa. Hingga kini, tiap tahun Bill masih tetap membuat penelitian mengenai masalah yang sama. Stres akibat tidak mampu menyesuaikan diri, menurut Bill, bisa jelas dilihat pada mahasiswa-mahasiswa tingkat pertama. Penyebabnya sederhana: tidak mampu menegakkan disiplin belajar di perguruan tinggi. Dengan kata lain, banyak pelajar yang sesungguhnya tak pernah siap belajar di universitas. "Mereka kaget ketika harus belajar lewat diktat, dan mencari sendiri buku-buku wajib," kata Bill. Dalam keadaan ini, banyak mahasiswa kemudian tak mampu mengatasi keadaan. Belajar secara terpaksa dengan sistem yang salah tentulah menyiksa. Dan akhirnya gagal. Kemudian terkena stres, "karena kegagalan dalam sistem, sekarang sanksinya bisa dikeluarkan." "Kalau sampai di DO, malunya bukan main," kata Utet, mahasiswa Politeknik Univesitas Sumatera Utara, Medan, Jurusan Elektro. "Bisa disangka bodoh sama kawan-kawan." Agar tidak sampai dikeluarkan, Utet (bukan nama sebenarnya) belajar mati-matian, padahai ia tidak suka pada keharusan belajar seperti ini. "Cuma sebentar senangnya, diterima di perguruan tinggi," katanya kepada Affan B.H. dari TEMPO. "Tak kusangka politeknik macam ini." Menurut Utet, karena harus belajar, ia tak punya waktu untuk nonton film, ataupun berhura-hura. "Masa harus kuliah terus dari pagi sampai sore. Setiap hari lagi, karena aku tak berani bolos." Prof. Wiranto Arismunandar, Rektor Institut Tcknologi Bandung (ITB), menyatakan bahwa yang disebut kehidupan kampus bukanlah cuma belajar. Kalau cuma belajar, dengan sendirinya bosan. Menurut Wiranto, yang dikenal akrab dengan mahasiswa semasa menjadi Pembantu Rektor Urusan Mahasiswa ITB di tahun '70-an kehidupan kampus punya banyak warna. Kampus adalah suatu lingkungan masyarakat tempat belajar hanya salah satu bagian, walau utama. "Karena itu, kegiatan ekstrakurikuler sangat penting," katanya. Wiranto menjelaskan, di ITB terdapat sejumlah unit kegiatan, dari olah raga, kesenian, sampai perhimpunan ilmiah. Di unit-unit ini, mahasiswa mengenal hidup berorganisasi dan bermasyarakat. Wiranto tidak melihat bahwa konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) membatasi pergaulan dan kegiatan ekstrakurikuler. "Yang dicegah NKK kan politik praktis, pemberontakan yang membahayakan," katanya. Namun, diakuinya, memang perlu diteliti, seberapa jauh konsep NKK membuat mahasiswa apatis, dan malah takut pada kegiatan ekstrakutrikuler. "Saya sendiri sedang menyebarkan angket untuk mendapat jawabannya," ujar bekas wakil ketua Lapan ini. Dari hasil angket ia berharap bisa melihat seberapa jauh mahasiswa terkena stres. Jawaban yang sedang dicari Wiranto, ternyata, sudah ditemukan Universitas Diponegoro, Semarang. Badan Konsultasi Mahasiswa di kampus ini belum lama berselang membuat penelitian terhadap 231 responden mahasiswa dari delapan fakultas. "Memang benar, penyebab stres yang utama karena mahasiswa tidak bisa menyesuaikan diri," kata psikolog Darmanto Yatman dari badan itu "Tapi harus dicatat, suasana kampus juga menyulitkan penyesuaian diri itu." Menurut Darmanto -- juga terkenal sebagai penyair -- NKK membuat mahasiswa tidak mendapat kesempatan untuk ikut menentukan, bagaimana hidup bermayarakat di kampus harus terjadi. "Mereka diharuskan mengikuti aturan permainan," katanya. Diragukannya apakah dengan cara ini mahasiswa kemudian bersedia mengikuti kegiatan yang direkomendasikan. "Secara umum kan kita tahu, kehidupan kampus menarik, karena para mahasiswa dapat mengekspresikan ide-idenya." Psikolog Suci Martikarini, yang mengkoordinasikan penelitian Badan Konsultasi Mahasiswa Undip itu, membenarkan pendapat Darmanto. Hasil penelitian Suci menunjukkan, 99,98% responden menghadapi masalah dalam menyelami kehidupan kampus. Bagi mereka organisasi mahasiwa tidak menarik, dan sama sekali tidak merangsang kehidupan kampus. Malah 96,1% mahasiswa menyatakan, tak bisa mengisi waktu luang mereka di kampus, suatu hal yang dirasakan sebagai masalah. "Memang masuk akal bila ada perkiraan stres meningkat di kalangan mahasiswa," kata Frieda NRH, Kepala Badan Konsultasi Mahasiswa Undip. Dilihatnya, kehidupan kampus sudah tidak akrab lagi. Kebanyakan mahasiswa bersikap individualistis. "Ini membangun iklim kompetisi yang tidak sehat yang, selain menurunkan prestasi akademis, juga potensial melahirkan stres." "Kehidupan mahasiswa sekarang sangat lain dengan dulu," kata Nurdien HK, dosen Fakultas Sastra Undip, yang di tahun '70-an dikenal sebagai aktivis mahasiswa. "Ketika saya mahasiswa, kehidupan kampus mengairahkan, mahasiswa betah tinggal di kampus," katanya. Yang disebut suasana belajar, kata dosen itu, bukan semata-mata mendalami ilmu saja. Ada iklim, yang di dalamnya mahasiswa burusaha mengembangkan kemampuan berpikir intelektualistis. Kegiatan dan pergaulan di kampus, menurut Nurdien, adalah akibat terbentuknya masyarakat mahasiswa. Kegiatan yang terjadi spontan sebagai akibat bisa macam-macam, bergantung pada karakter masyarakat yang terbentuk. "Jadi, tidak bisa dibalik," kata Nurdien. Kegiatan yang dikonsepkan dan pola pergaulan yang ditentukan tidak mungkin bisa membentuk sebuah masyarakat mahasiswa. "Inilah yang terjadi di masa kini," kata Nurdien lagi. Mahasiswa tak punya motivasi lain, kecuali mengejar indeks prestasi. "Suasana kampus jadi kemrungsung, mahasiswa tidak suka berlama-lama di kampus. Sudah tentu mereka gampang kena stres."Jim Supangkat, Nanik Ismiani, Heddy Lugito (yogyakarta), Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini