DI blantika majalah berita, Time adalah Coca-Cola -- pembentuk trend dan sangat terkenal. Karena itu penampilan baru majalah ini -- sejak edisi 20 April lalu segera mengundang perhatian dan ramai dibicarakan. Perubahan Time tidak semata-mata ganti kosmetik, misalnya tampil dengan desain baru. "Edisi ini mempunyai perubahan mendasar, terjadi pertama kali sejak terbit tahun 1923," tulis Redaktur Pelaksana Henry Muller pada pengantar edisi baru perdananya. Dari segi perwajahan, dominasi warna putih segera terasa. Foto berukuran besar pun segera menarik perhatian kendati perimbangan ruang foto dan teks tak berubah. Yang berubah drastis adalah susunan artikelnya. Isi majalah pada dasarnya hanya dibagi ke tiga bagian: berita singkat sepekan ("The Week"), artikel panjang yang penuh analisis, dan kumpulan kritik (Review). Walhasil, kecuali rubrik surat pembaca di depan dan "People" (semacam Pokok & Tokoh) serta "Essay" (sejenis kolom) tak ada lagi rubrikrubrik tetap seperti pada Time lama. "The Week," gadogado berita singkat sepekan, tak peduli apakah berita nasional, kesehataan, atau luar negeri. Ini tampaknya memang dirancang sebagai tempat "berita keras". Berita "lunak" -- inti majalah -- ditulis dalam bentuk artikel panjang di tubuh majalah. Analisa penulis dianggap jualan utama. Tinjauan ("Review") bernada sama. Bedanya, yang dibahas bukan berita melainkan seni, film, video, dan buku. Tekanan Time versi baru ini memperlihatkan watak Henry Muller yang menduduki posisi managing editor sejak lima tahun silam. Dengan tiras di atas 4 juta, Time tersebar di seluruh dunia. Usia ratarata pembacanya dari survei terakhir 49 tahun. Bisa disimpulkan, majalah ini ditinggalkan kalangan muda Amerika dan juga di dunia yang lebih tidak sabar dalam mengikuti berita. Mereka umumnya beralih ke televisi yang bisa menyajikan berita lebih cepat dan secara visual. Dari segi bisnisnya, dampak pengutamaan berita keras adalah tingginya biaya operasional. "Berita lunak" dan analisis jauh lebih murah. Pengiritan ini ada hubungannya dengan pendapatan dari iklan yang merosot terus. Tahun ini Time memperkirakan pendapatan iklannya akan turun 20% dibandingkan dengan tahun lalu. Setelah melakukan riset dan perencanaan selama setahun, format baru yang kini tampil dianggap jalan keluar terbaik. Alasan yang dikemukakan Henry Muller tentu bukan itu. Time baru katanya, "Meninggalkan jurnalisme derivatif menuju jurnalisme orisinal." Perubahan Time mungkin pertanda zaman. Bisnis sedang menjadi "idealisme" baru dan Time bahkan tidak kebal terhadapnya. Robert Sam Anson dari majalah Esquire meramalkan batas antara redaksi Time dan pengelola bisnis majalah itu bakal mencair. Suatu hal yang, "Bisa membuat Henry Luce -- penemu Time -- bangun dari kuburannya". Luce, putra pendeta yang saleh, mengharamkan masuknya kepentingan bisnis dalam dunia keredaksian seperti, "Gereja harus dipisahkan dari negara." Inilah doktrin jurnalistik yang mengangkat Time ke tempat paling terhormat di bidangnya. Pintu para pemimpin dunia selalu terbuka bagi para wartawannya. Tapi tak ada yang permanen di dunia. Seperti runtuhnya Ford di dunia otomotif, sendi-sendi kukuh Time mulai goyah. Tanda-tanda sudah terlihat. Penggabungan Grup Time dengan Warner, sebuah korporasi hiburan, secara langsung melunturkan pamor keredaksiannya. Segera setelah itu 39 anggota redaksinya di-PHK-kan demi efisiensi. Keputusan ini mengguncangkan sikap para karyawan yang terbiasa pada budaya "kerja sampai masa pensiun". Apalagi bersamaan dengan "pemecatan" itu ada isu para pimpinan Time-Warner menerima kenaikan gaji istimewa. Tahun lalu Pemimpin Umum Steve Ross diberitakan menerima bonus 39 juta dolar. "Jumlah itu cukup untuk menggaji 300 wartawan selama setahun," kata seorang reporter senior Time yang tak mau disebut namanya. Merosotnya moral para wartawan di redaksi bisa menjadi lebih buruk. Kini campur tangannya pimpinan sektor bisnis semakin banyak dalam kebijakan keredaksian. Misalnya keputusan untuk tidak meliput berita merger Time dan Warner, tahun lalu. Tidak aneh jika sebagian penulis dan koresponden unggulan majalah ini lalu minggat. Kebanyakan mereka pindah ke harian terkemuka The New York Times. Bagi mereka, melunturnya batas antara "gereja dan negara" adalah sesuatu yang haram hukumnya. Henry Muller tentu menyangkal batas tersebut sudah dilangkahi. Ia berkeras doktrin Luce masih dihormati. Ia berpendapat, banyak komentar terlalu diwarnai "nostalgia". Tak jelas siapa yang benar. Yang pasti, di bawah Muller, hasil survei pembaca ditanggapi lebih serius. Dan ini mungkin perbedaan utama Muller dengan mendiang Luce. Henry Luce membuka pasar dan Henry Muller harus mempertahankannya. Apakah produk Time akan merosot menjadi barang "pasaran"? Masih perlu ditunggu. Yang jelas, sudah ada suara pembaca yang mengusulkan Time kembali saja ke format lama. Pembaca ini setidaknya mengharapkan Time mengikuti jejak Coca-Cola, menyediakan edisi classic bagi para pelanggan yang kepalang setia sejak dulu. Bambang Harymurti (Washington D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini