GOODFELLAS Pemain : Robert de Niro, Ray Liotta, Joe Pesci Skenario : Martin Scorsese dan Nicholas Pilegi Sutradara : Martin Scorsese Produksi : Warner Bross "SEINGAT saya, sejak dulu saya selalu bercita-cita menjadi anggota gangster." Ini suara Henry Hill (Ray Liotta), seorang anggota gangster di pinggir kawasan Brooklyn, New York. Ia anak tertua dari tiga bersaudara keluarga Hill yang berdarah campuran Irlandia dan Sisilia. Sambil memandang keluar jendela, Hill mengaku menjadi gangster, "jauh lebih hebat daripada menjadi Presiden Amerika Serikat." Cita-cita Henry kecil (diperankan oleh Cristopher Serrone) segera terkabul. Dengan mudah dia menjadi bagian dari keluarga besar The Goodfellas di bawah pimpinan Paul Cicero (Paul Sorvino). Tentu saja menjadi keluarga besar mafia Sisilian-Brooklyn itu harus melalui berbagai tahap dan masa magang. Dari belajar membakar mobil orang, menagih utang, menyiksa orang, hingga belajar konsep kesetiaan dan pengabdian pada keluarga besar Goodfellas. Mentor magang Henry adalah mafioso terkenal, Jimmy Conway (Robert de Niro). Jimmy pula yang mengajarkan peraturan-peraturan tak tertulis. Misalnya, mereka harus terlihat terhormat, yang artinya berpakaian rapi dan dandy. Sebenarnya, film tentang sepak terjang gangster di Amerika bukan barang baru dalam perfilman Hollywood. Ada serial Godfather versi Francis Ford Coppola, Bugsy Siegel dengan bintang Warren Beatty, dan Billy Bathgate yang dibintangi Dustin Hoffman yang akan bertarung di arena Academy Awards tahun ini. Namun, rasanya belum ada yang dapat menyaingi realitas yang divisualisasikan secara brutal dan dramatis seperti dalam Goodfellas. Bukan hanya karena ini adalah kisah nyata Henry Hill yang dipaparkan kepada wartawan kriminalitas Nicholas Pillegi dalam buku Wiseguy. Tapi, juga karena sutradara Martin Scorsese bersama aktor cemerlang macam Robert de Niro mampu menampilkan realitas kekerasan hidup gangster yang mencapai taraf absurd dan kontradiktif. Jika serial The Godfather lebih sering meromantisasi kehidupan mafia hingga taraf fantasi -- maklum, pengarangnya adalah seorang novelis pop bernama Mario Puzo -- Goodfellas memperlihatkan dunia hitam yang jorok, kasar, brutal, sekaligus menjijikkan. Tokoh-tokoh Goodfellas adalah setan-setan yang bangga akan sisi hitam dalam dirinya. Sejak awal, melalui narasi Henry Hill, Goodfellas menyajikan darah, peluru, pisau, dan uang sebagai tokoh utama. Henry, Jimmy Conway, dan Tommy de Vito (Joe Pesci) membuka adegan awal ketika mobil yang mereka kendarai terganggu oleh bunyi tendangan korban yang dikurung di bagasi. Mereka berhenti, dan bagasi dibuka. Ternyata, korban yang dibungkus dengan taplak yang penuh darah itu masih menggeliat-geliat. "Sialan! Mati kau, sialan!" Dengan semangat, Tommy menancapkan pisau ke tubuh korbannya berkali-kali hingga wajahnya sendiri penuh dengan cipratan darah. Adegan-adegan sadistik macam inilah yang memenuhi seluruh film. Scorsese membuat adegan penembakan, penikaman maupun pemukulan-pemukulan dengan kamera closeup. Kamera itu, sesungguhnya, mewakili mata Henry Hill. Dan ini merupakan kelebihan film ini. Seperti halnya keluarga mafia lainnya, "Goodfellas" juga terpaksa memasuki soal pribadi anggotanya. Misalnya, ketika hubungan Henry dengan kekasihnya, Janice, sudah terlalu jauh hingga membuat istrinya histeris, para bos ramai-ramai menasihati Henry agar meninggalkan Janice. Tapi, "Goodfellas" bukan gangster yang penuh pretensi dengan cita rasa tinggi macam keluarga Corleone di dalam Godfather. Henry Hill tidak segan-segan memperlihatkan rumah barunya dengan mebel keemasan, khas selera OKB (Orang Kaya Baru), pohon natal plastik, setelan jas gemerlap, dan menjejali isteri cantiknya dengan bergepok uang. Yang penting juga dicatat, kisah ini dapat muncul karena Henry berdarah campuran Irlandia dan Sisilia. Hal yang tak memungkinkannya jadi godfather, dan mungkin karena itu ia merasa tak perlu setia seumur hidup. Itu memungkinkannya memberikan keterangan yang semiantropologis, juga bisa memberikan komentar tentang para pelaku di dalam dunia hitam ini. Kelebihan film ini tentu saja karena kecermatan Scorsese yang mengejar detail. Dari penggambaran kostum hingga penggunaan kata-kata kotor khas gangster Brooklyn. Narasi Henry Hill dari awal hingga akhir sesuai dengan babbab sebuah buku karena setiap adegan selesai, Scorsese menghentikannya dengan teknik kamera freezeframe. Ini sebuah teknik yang tidak konvensional. Dengan teknik ini subyektivitas Henry Hill, yang begitu menggebu menceritakan semua sisi kehidupan gangster yang dialaminya hampir seumur hidupnya, menonjol. Belakangan, kehidupan "Goodfellas" diwarnai saling curiga antarkawan. Henry pun merasa dirinya akan disingkirkan. Karena konsep kesetiaan sudah basi, Henry menganggap pengkhianatan adalah salah satu jalan untuk menyelamatkan dirinya. Ia melaporkan keberadaan kawan-kawannya kepada polisi. Dan sebagai imbalannya, Henry dilindungi di bawah Witness Protection Program, sebuah institusi pemerintah yang memberikan perlindungan, karena setiap saat anak buah Paul bisa menembaknya dari belakang. Bersamaan itu, nama Henry Hill dianggap hilang dari muka bumi. Ia kini hidup dengan gaya hidup normal di bawah nama lain. Dan sejauh itu, menurut pengakuannya pada akhir film, Henry tak pernah merasa berdosa dengan segala yang pernah dilakukannya di masa lalu. Ia hanya dongkol, tak bisa hidup semewah dulu lagi. Scorsese memang tak bermaksud memberi khotbah. Ia menyajikan realitas. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini