PADA mulanya AIDS memang meluas di kalangan homoseks. Maka, homoseksualitas, yang senantiasa tersembunyi pada masyarakat mana pun, seperti diseret ke permukaan. Gejala yang sudah lama dikenal ini lalu menjalani penilaian ulang. Adakah homoseks bagian dari eksplorasi seks yang berlebihan? Karena itu adalah pertanda kebejatan moral dengan AIDS sebagai akibatnya? Atau, homoseksualitas adalah gejala alam yang tak bisa ditolak? Ternyata, tidak banyak hasil penelitian yang bisa dijadikan rujukan dalam mencari jawaban. Pendapat yang menyimpulkan homoseksualitas adalah gejala herediter (karena faktor keturunan) tidak pernah sesungguhnya dibuktikan. Penelitian tentang homoseks lebih banyak ditekankan pada faktor kejiwaan yang dipengaruhi lingkungan, sosialisasi, dan pertumbuhan. Penelitian ini lebih dekat dengan tujuan praktis. Dilema homoseks, terutama karena penolakan masyarakat, berada di sekitar masalah psikologis. Ketika AIDS muncul sebagai isu besar, pengamatan psikologis dengan mudah bergeser ke penilaian moral. Dan untuk memastikan penilaian ini, muncullah pertanyaan itu: apakah homoseksualitas gejala herediter, atau gejala kejiwaan yang dibayangi sikap dan kemauan? Penelitian herediter di sini lalu menjadi pusat perhatian. Desember lalu, The Archieves of General Psychiatry, jurnal psikiatri yang terbit di AS, memublikasikan hasil penelitian herediter tentang homoseks. "Ini untuk pertama kalinya faktor genetik yang mempengaruhi orientasi seksual diteliti," tulis penelitinya, Dr. J. Michael Bailey, ahli ilmu jiwa dari Universitas Northwestern. Bailey, bersama rekannya, Dr. Richard C. Pillard dari Universitas Boston, meneliti homoseksualitas pada saudara kembar. Selain meneliti faktor genetik, keduanya membandingkan homoseksualitas pada saudara kembar yang berasal dari satu telur dan kembar bukan dari satu telur. Penelitian perbandingan ini menyertakan pula faktor kejiwaan dan pertumbuhan. Kembar satu telur adalah gejala genetik. Di sini sel telur melakukan pembelahan setelah dibuahi oleh satu sel sperma. Maka, pada kembar satu telur ini terdapat kesamaan-kesamaan genetik. Ini berbeda dengan kembar dari dua sel telur dan dibuahi dua sel sperma. Misalnya, terdapat kesamaan pada kembar ini, persamaannya tidak genetik, tapi kesamaan yang mengikuti hukum Mendel. Dalam penelitian itu Bailey dan Pillard mengamati 56 kembar satu telur, 54 kembar bukan satu telur, dan 57 saudara angkat seusia yang punya hubungan akrab. Semuanya sukarelawan yang diseleksi dan direkrut melalui iklan. Hasilnya menunjukkan bahwa kembar satu telur yang punya gejala homoseksual kedua-duanya menjadi homoseks. Bila dibandingkan, hanya 22% kembar bukan satu telur yang kedua-duanya homoseks. Selebihnya hanya satu homoseks, dan saudara kembarnya tergolong heteroseks. Pada 22% kembar bukan satu telur yang kedua-duanya homoseks, Bailey dan Pillard menyimpulkan adanya kesamaan lingkungan tumbuh. Hal yang sama terjadi pada 11% saudara angkat yang kedua-duanya homoseks. Kedua ahli itu mengakui, homoseksualitas tak ditentukan hanya oleh faktor genetik. "Kondisi sosial adalah faktor penting dalam menentukan orientasi seksual," tulis Bailey. Namun, keduanya menyimpulkan, faktor genetik atau bawaan sejak lahir adalah faktor utama dalam pembentukan homoseks. Mereka memperkirakan 70% dari homoseks adalah akibat gejala herediter ini. Sisanya, karena faktor kejiwaan yang dipengaruhi lingkungan tumbuh dan sosialisasi. Maka, gen pembawa sifat homoseks sama dengan gen-gen pembawa sifat yang lain. Ketika diturunkan, gen ini terselip di antara rangkaian senyawa asam amino berbentuk spiral di dalam inti sel. Inilah awal pembentukan sangat kompleks manusia seutuhnya. Diperkirakan, ada milyaran pola genetik yang mendasari semua aspek fisik, kejiwaan, daya, dan sifat manusia. Sampai kini baru beberapa juta pola genetik itu bisa dipetakan. Tak ada yang tahu bagaimana gen pembawa sifat berkembang dan membangun keseimbangan yang tetap dalam pertumbuhan. Terdapat banyak faktor yang kait-mengait. Namun, gen yang mempengaruhi orientasi seksual dipengaruhi faktor kompleks lainnya dalam pertumbuhan, yaitu perkembangan hormon seks. Pada tiap manusia terdapat hormon seks pria dan wanita yang keseimbangannya membangun perilaku seks. Keseimbangan inilah yang sangat dipengaruhi lingkungan dan aspek kejiwaan. Bailey dan Pillard mengungkapkan bahwa penelitian mereka melengkapi penelitian genetik homoseks yang sudah dipublikasikan lebih dulu. Penelitian yang dilakukan Dr. Simon LeVay disebutkan Pillard sebagai usaha pertama mencari aspek fisiologis perilaku seks (TEMPO, 14 September 1991). Tapi penelitian LeVay dinilai belum lengkap membuktikan homoseksual berpangkal pada faktor genetik. Dalam penelitiannya itu LeVay menemukan perbedaan ukuran hipotalamus pada otak pria dan otak pria homoseks. Hipotalamus pria lebih besar dari hipotalamus homoseks, yang ukurannya mirip hipotalamus wanita. Salah satu bagian hipotalamus, yang merupakan pusat saraf, dikenal berfungsi mengatur perilaku seks dengan mengontrol deposit hormon. LeVay memperkirakan sel-sel pengontrol perilaku seks pada hipotalamus, yang kelak menentukan ukuran hipotalamus, sudah terbentuk pada awal kehidupan janin. Namun, kelemahan penelitian LeVay, yang juga diakuinya, sel-sel ini tidak segera berfungsi ketika terbentuk. Fungsinya sebagai pengontrol perilaku seks, yang kemudian menentukan ukuran hipotalamus, terbentuk pada masa pertumbuhan. Pada masa ini faktor lingkungan dan kejiwaan ikut menentukan. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini