Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Radhar baca puisi
Radhar mentas sajak
Radhar baca sajak
WUDHU, sujud, zikir, thawaf, cahaya, takbir, raudah, salawat, basmallah, hijab, masjid. Kata-kata itu bertaburan dalam sajak-sajak Radhar Panca Dahana di kumpulan puisinya yang terbaru, LaluKau (2020). Berpeci putih, juga berkostum serba putih—serupa santri entah dari pesantren mana—Radhar membacakan sajak-sajaknya dengan berbagai ekspresi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radhar mengumpulkan sajak-sajaknya yang berbau kontemplasi religi dari 1986 sampai 2019. Ia berbicara tentang perjalanannya. Ia mengemukakan perenungannya tentang yang fana. Ia berbicara tentang suasana keagamaan akhir-akhir ini yang cenderung menjauhkan agama dari hal-hal sublim dan perenial. Ia mengutarakan kegelisahannya tentang agama yang direduksi menjadi komodifikasi politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisinya bukan jenis puisi lirik yang sepenuhnya menghadirkan suasana dan imaji-imaji simbolis. Pun sajak-sajaknya bukan sejenis sajak yang melempar kita ke suasana naratif tertentu. Tapi selalu ada keinginan untuk memberikan statement dan lontaran pikiran. Diksi-diksi dan permainan bahasanya diramu dengan kalimat-kalimat penuh pertanyaan yang nadanya seperti gugatan artikel opini. Vokabulernya juga ramai dengan jenis kosakata yang seperti ingin mengajak orang berdiskusi.
Jadilah pecimu/gamis, sajadah, tasbih/juga masjidmu rontok makna segala melulu makna/habis-habisan kau bela/kau puja, hingga binasa
Pertunjukan ini ingin mengemas pembacaan puisi dengan ensambel musik, akapela, dan warna-warna suara sopran. Musik ditata oleh Yasser Arafat, komposer jebolan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat. Selain menghadirkan Yasser & Ensemble, pertunjukan menampilkan kelompok akapela Bianglala Voice dan penyanyi seriosa Aning Katamsi. Bergantian, Radhar, Deddy Mizwar, dan Niniek L. Karim membacakan sajak. Suara mereka ditingkapi akapela dan vokal sopran Aning. Keduanya berupaya memberikan aksen pada pembacaan sajak.
Deddy Mizwar, yang lama tak muncul di panggung karena kesibukan birokrasinya, tampil sebagai seorang aktor tua berwibawa. Ia tak banyak menampilkan gestur tangan atau gerak-gerak sebagaimana Radhar saat membaca. Ia cukup mengandalkan kewajaran dan suaranya yang setengah bariton. Ujaran kalimat-kalimat Deddy terasa bersih dan dalam saat dia memaknakan sajak “Lelaki Sunyi Sendiri”.
Sepuluh menit menuju puncak/gunung ini tak hanya menawarkan dingin/tapi padamnya segala ingin/bangkainya gairah, mampusnya denyut malaikat yang begitu purba/mencari jantung dalam dirimu .
Niniek jauh lebih tenang. Ia paling jernih dalam intonasi dan artikulasi dibanding Radhar dan Deddy. Lewat penyampaian kata-katanya, Niniek mampu mengangkat sajak yang aslinya biasa-biasa saja ke tingkat perenungan yang bisa dirasakan penonton. Itu terjadi saat ia membacakan “Hijab di Hatimu”.
Apa terjadi pada hati kita/saat pikiran merajalela/mencipta dendam dan curiga/berbekal prasangka dan dusta/tidakkah ibu qalbumu meringis/dan hati buram didekap tangis?
Tapi yang membuat pertunjukan pada 18-19 Februari lalu itu menjadi bertenaga adalah pemunculan Iwan Fals. Iwan mengolah beberapa sajak Radhar menjadi lirik lagu dan menyanyikannya. Jarang menyaksikan Iwan menyanyi berdasarkan puisi penyair. Yang paling lekat dalam ingatan adalah sajak-sajak W.S. Rendra yang dinyanyikan Iwan saat ia bergabung dengan kelompok musik Kantata Takwa yang didirikan Rendra, Setiawan Djodi, dan Sawung Jabo. Iwan juga pernah tampil dalam pertunjukan Opera Diponegoro yang disutradarai koreografer Sardono W. Kusumo.
(Dari kiri) Deddy Mizwar, Niniek L Karim, Iwan Fals, Radhar Panca Dahana dan Aning Katamsi saat pementasan Teatrikal Puisi bertajuk LaluKau oleh Teater Kosong di Gedung Kesenian Jakarta, 19 Februari lalu./TEMPO/Nurdiansah
Berpeci hitam, Iwan Fals dengan gitarnya duduk di atas set berbentuk bebatuan karang yang ditata kru Teater Kosong—kelompok teater yang didirikan Radhar pada 1981. Iwan bersama gitarnya seolah-olah bernyanyi di atas sebuah bukit . Iwan memilih sajak Radhar berjudul “Karena Dia” untuk mengawali penampilannya.
Bahkan mimbar pun binasa/pelantang memuntahkan amarah/syiar dahulu kini berbisa/sorban putih memerah darah/lalu ayat apa lagi tersisa/bila sujudmu tiada arah/semua rakaat tak jadi shalat/dan dzikirmu padat kesumat/saat kuasa kau jadikan syahwat
Tiga atau empat sajak Radhar kemudian dinyanyikan Iwan. Dia mengakhiri pementasan dengan melantunkan sajak berjudul “Kau yang Kosong 1”. Sejak awal sampai akhir pertunjukan dengan penampilan sambung-menyambung ini lancar, tapi terasa kurang ada lapisan-lapisan. Bila saja unsur akapela dan sopran diberi porsi mandiri dan tidak hanya menjadi pengiring, pertunjukan tentu lebih variatif. Misalnya beberapa sajak diserahkan kepada akapela untuk diaransemen sendiri. Demikian juga apabila Aning Katamsi diberi porsi lebih besar, bukan hanya sebagai latar.
Multimedia yang terlalu boros gambar dan ingin menyajikan visual sebanyak mungkin (yang materi gambar-gambarnya entah dicomot dari mana) malah kurang memberikan ruang imajinasi. Kesannya, multimedia ingin berlomba memberikan ruang informasi. Sejak menit awal sampai akhir, layar penuh dengan visual rapat massal sebuah organisasi keagamaan tertentu, gambar masjid, suasana air terjun, panorama bintang, juga hiruk-pikuk orang lalu-lalang. Visual memilih gambar-gambar yang sudah ada ketimbang menciptakan sendiri ilusi-ilusi artistik yang tak terduga. Tengok bagaimana tatkala Radhar membacakan sajak “Thawaf Tak Insyaf”, di belakang layar ditampilkan suasana orang memutari Ka’bah sebagaimana sering kita lihat.
Thawaf…thawaf/takbir tak mencari insyaf/tahmid tak meminta maaf/tahlil tak melerai khilaf/segala taka da manusia/asapku sekejap ada lalu tiada/ thawaf…thawafku/insyaf yang sirna
Tak banyak kejutan artistik panggung. Padahal pertunjukan dimulai dengan kemunculan hologram berbentuk sosok Radhar. Apabila tubuh hologram dan tubuh riil Radhar dipermainkan, tentunya itu mengagetkan.
Memang, Radhar bukan Emha Ainun Nadjib, Gus Mus, atau D. Zawawi Imron, yang biasa membacakan sajak di depan jemaah dalam jumlah besar—bahkan hingga ribuan orang. Para penyair yang biasa membacakan puisi-puisinya di hadapan massa pesantren tentu memiliki kemampuan mengukur bagaimana kata-kata dalam sajak mereka bisa menjangkau massa secara efektif. Mereka mampu memperhitungkan dan mengelola mana diksi-diksi mereka yang hanya bisa dipahami sendiri dan mana yang bisa menggugah komunikatif bagi orang banyak. Tapi, malam itu, berpeci putih, saat mengakhiri pertunjukan dengan membacakan sajak berjudul “Hari Penghabisan”, penampilan Radhar cukup menggetarkan.
Saudaraku, bukan rumah hidayahmu yang kosong, kusesali dengan seribu dzikir/atau tubuh syahwatmu yang azab/ kuratapi dengan segenap doa/namun hari penghabisan itu/yang kau kandung itu/akan mengkhianatimu…
Seno Joko Suyono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo