Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Melalui omnibus law perpajakan, pemerintah ingin mendorong peningkatan perekonomian dengan cara memberikan insentif pajak bagi para pelaku usaha.
Sektor ekonomi digital menjadi salah satu basis penerimaan pajak baru yang diincar Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Nilai investasi yang dihimpun dari dana repatriasi program tax amnesty mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun dalam dua tahun terakhir.
KONTROVERSI yang menyertai pembahasan rancangan omnibus law tak menyurutkan langkah Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo. Sejak dilantik menggantikan Robert Pakpahan pada 1 November 2019, Suryo getol mensosialisasi rancangan omnibus law perpajakan— satu dari empat rancangan omnibus law—kepada publik, termasuk para pelaku usaha dan investor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suryo, 51 tahun, mengatakan omnibus law perpajakan bakal memudahkan upaya pemerintah memperluas basis penerimaan pajak yang baru, antara lain dari sektor ekonomi digital. Dengan omnibus law itu, misalnya, Direktorat Jenderal Pajak berwenang mengutip pajak penghasilan dari perusahaan-perusahaan digital asing yang telah beroperasi dan meraup konsumen di Indonesia. “Selama ini pajaknya tidak bisa dipungut. Dengan omnibus law perpajakan ini minimal kita collect pajak pertambahan nilainya dulu, kemudian nanti kita bicara mengenai pajak penghasilannya,” kata Suryo dalam wawancara khusus dengan Tempo di ruang kerjanya, Kamis, 6 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan omnibus law perpajakan atau Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian akan terdiri atas 28 pasal yang merupakan hasil penyelarasan tujuh undang-undang, antara lain tentang pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), serta pajak daerah dan retribusi daerah. Rancangan itu menjadi satu dari 50 rancangan undang-undang prioritas yang disepakati Dewan Perwakilan Rakyat untuk dirampungkan dan disahkan tahun ini.
Suryo tidak menampik kabar bahwa omnibus law perpajakan, yang mengatur diskon pajak penghasilan badan atau korporasi secara bertahap, bakal menggerus potensi pendapatan negara hingga puluhan triliun rupiah. Namun ia meyakini pemberian insentif pajak itu dapat menarik lebih banyak investor sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang tahun ini diperkirakan lesu akibat dampak resesi global.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Aisha Shaidra, Putri Adityowati, dan Andi Ibnu, Suryo juga membeberkan strateginya mendongkrak penerimaan sektor pajak, evaluasi program pengampunan pajak, serta kiat menghadapi para pengemplang pajak.
Sepenting apa omnibus law perpajakan?
Dengan tax dipotong, kami berharap ekonomi bisa lebih berkembang. Jadi harapan besarnya untuk meningkatkan perekonomian, di samping omnibus law yang satunya (RUU Cipta Kerja) untuk mempermudah iklim usaha. Kalau dimensi omnibus law perpajakan, uang enggak disetorkan ke negara tapi tolong diputar. Multiplier effect (dampak penggandanya) yang diharapkan. Jadi, dengan munculnya ekonomi baru, harapannya pajak juga meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerapan omnibus law perpajakan berpotensi menggerus pendapatan negara hingga Rp 85-86 triliun. Bagaimana menutup kekurangan itu?
Memunculkan sumber-sumber ekonomi baru masuk dalam sistem. Lalu memperluas basis (penerimaan pajak) karena kami menyadari belum semua basis bisa diangkat. Masih ada ruang untuk memungut lebih, tapi harus ada usaha.
Usaha seperti apa?
Bagaimana kami bisa menjangkau lebih banyak wajib pajak ke wilayah yang tadi kami turunkan. Di omnibus law ada reduksi sanksi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sanksi yang sekarang 2 persen per bulan. Kalau terlambat bayar, ya, maksimum 24 bulan sebesar 48 persen. Ini kami reduksi. Sekarang kan mau diperiksa enggak diperiksa sanksinya sama. Enggak ada insentif bagi yang patuh. Lebih murah, lho, begitu kira-kira bahasa sederhananya. Ayo, betulin deh, sebelum kami melakukan pemeriksaan.
Sejak kapan rancangan omnibus law perpajakan digodok?
Hampir bareng (dengan RUU Cipta Kerja). Kalau melihat waktunya sih sudah hampir satu tahun.
Apa latar belakang penyusunannya?
Ya melihat situasi sekarang. Kami juga sedang meninjau Undang-Undang PPh, Undang-Undang PPN, belum lagi undang-undang lain. Kalau ada tujuh undang-undang, kapan selesainya? Maka kami menilai perlu diatur dalam satu undang-undang.
Pembahasannya melibatkan siapa saja?
Kementerian Keuangan, saya, Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kami juga sering berdiskusi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Membuat undang-undang kan tidak bisa sendirian. Betul-betul sudah didesain dari awal.
Apakah melibatkan asosiasi pengusaha?
Mereka terlibat secara intens. Kami mengajak diskusi Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia, ada banyak macamlah.
Sejak awal konsepnya memang omnibus law?
Ya, karena wilayahnya ada aturan di beberapa undang-undang. Kalau dibahas satu per satu, berapa lama lagi akan dieksekusi? Kami sudah ada contoh dari undang-undang tax amnesty (pengampunan pajak) yang di dalamnya meninjau berbagai undang-undang, kan?
Apa bedanya dengan insentif perpajakan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak?
Subyek dan obyeknya enggak berbeda. Kalau tax amnesty itu kan basisnya harta yang dimiliki per tanggal. Pajaknya diasumsikan belum dibayar, penggantinya adalah uang tebusan. Omnibus law perpajakan basisnya sama. Undang-undang yang dipakai masih ada, misalnya PPN dan PPh. Yang berubah cuma tarif dan sanksi. Itu saja sebetulnya.
Berapa insentif pajak yang diberikan?
Ada penurunan tarif pajak penghasilan korporasi dari 25 persen menjadi 20 persen secara bertahap pada 2023.
Apakah omnibus law perpajakan dapat mendongkrak realisasi penerimaan pajak tahun depan?
Pemerintah ingin meningkatkan ekonomi dengan cara memberikan insentif dan menggunakan infrastruktur fiskalnya untuk ke sana. Harapannya, ekonomi naik. Kalau mengisi kas negara melalui penerimaan pajak, kami lebih dulu mengelola yang sudah terlihat dan meningkatkan basis baru. Basis baru itu kan kegiatan ekonomi sebetulnya.
Dalam omnibus law perpajakan, perusahaan digital asing yang tidak berbadan hukum di Indonesia akan dipungut pajak. Bagaimana caranya?
Untuk perusahaan di luar negeri tapi konsumennya ada di Indonesia, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai belum bisa menetapkan pemilik usaha sebagai pemungut PPN. Jadi, rancangan omnibus law ini mencoba mendudukkan perusahaan sebagai pemungut PPN. Minimal kami collect PPN dulu, sebagai basis baru, kan. Kemudian bicara mengenai pajak penghasilan. Sekarang pajak penghasilan terikat dengan rezim ketentuan umum perpajakan, yang membutuhkan kehadiran secara fisik yang diakui secara internasional. Perjanjian penghindaran pajak berganda antarnegara pun dikenal ada bentuk usaha tetap sebagai entitas fisik pada Indonesia. Dengan model bisnis yang berbeda dengan perusahaan yang hadir secara fisik, bagaimana kami harus mengenakan pajak penghasilannya? Makanya, di RUU ini kami ingin ada significant presence di Indonesia. Dengan begitu, ya seharusnya menjadi wajib pajak.
Google dan Facebook sudah memiliki kantor di Indonesia. Bagaimana dengan perusahaan digital yang masih beroperasi dari negara asalnya, seperti Netflix dan Spotify?
Nah itu dia, kami kan melihat keberadaan fisik tadi. Kami menggunakan infrastruktur domestik, makanya Google membuat perusahaan di Indonesia.
Kalau untuk Netflix dan Spotify?
Kami lagi cari, ha-ha-ha....
Bagaimana pendekatan untuk perdagangan elektronik?
Aku lupa hitungannya. E-commerce itu ada dua kamar gede, dalam dan luar negeri. Di dalam negeri bisa diatur dengan undang-undang yang ada. Kalau yang luar negeri itu tadi, sepanjang dia ada kehadiran fisiknya di Indonesia, kita bisa masuk ke wilayah bentuk usaha tetap.
Omnibus law kerap dikritik karena dianggap lebih banyak mengakomodasi kepentingan pengusaha. Bagaimana Anda melihatnya?
Kebijakan itu dibuat karena tujuanya, yaitu meningkatkan ekonomi. Untuk itu, kami menggunakan infrastruktur dan instrumennya. Ada beberapa macam, termasuk tax holiday dan tax loan. Kebetulan hasilnya masih belum cukup nendang. Mencari infrastruktur peningkatan ekonomi tidak bisa secara langsung. Tax holiday kan menunggu dia profit.
Bagaimana dengan perusahaan digital Indonesia?
Situasi sekarang sebetulnya rezim pajaknya berlaku sama. Khusus pengusaha beromzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun, ada perlakuan khusus. Kami menyebutnya usaha menengah-kecil. Masih dapat kriteria untuk memudahkan dia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, cuma setengah kalkulasi dari omzet. Diarahkan tak hanya pada digital, tapi berlaku keseluruhan, misalnya start-up kuliner atau kopi. Tapi, kalau sudah di atas Rp 4,8 miliar, wajarlah membayar pajak.
Banyak perusahaan mengaku belum meraup profit sehingga belum bisa dikenai pajak.
Pajak penghasilan dikenakan atas kelebihan antara yang dijual dan ongkos produksi. Pajak atas keuntungan sebetulnya. Untuk itu, pendapatan dan biaya mesti benar-benar diuji. Undang-undang pajak menunjukkan mana yang namanya penghasilan, biaya yang boleh dikurangkan, dan lain-lain. Cuma itu rumusnya.
Kapan omnibus law perpajakan ditargetkan selesai?
Kalau saya sih secepatnya. Kan, sudah masuk DPR.
Ini kan sudah masuk ranah politik. Lobi-lobinya bagaimana?
Surat presiden sudah disampaikan ke DPR dan kami menunggu buat diskusi.
•••
Realisasi penerimaan pajak tahun lalu hanya 86,5 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apa kendalanya?
Pengaruh paling besar adalah harga komoditas. Kondisi ekonomi dunia menekan harga komoditas, contohnya harga minyak, sawit, dan batu bara. Walaupun kontribusi royalti penerimaan negara dari sektor pertambangan tidak besar, kalau dilihat komposisinya dengan pajak 30-70 persen, itu berefek pada kinerja perusahaan-perusahaan pertambangan. Sebab, pajak itu efek dari aktivitas ekonomi.
Apa indikasinya?
Kami melihatnya dari penerimaan, khususnya penerimaan PPN impor. Arus barang masuk ke Indonesia sejak kuartal ketiga 2019 kelihatan sudah mulai turun. Penerimaan PPN khususnya melambat. Kalau saya melihat dimensinya, ekonomi dunia yang agak mandek.
Dirjen Pajak Suryo Utomo (kanan) dan Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi saat diskusi terkait UU omnibus law perpajakandi Jakarta, Selasa (11/2)/Tempo/Tony Hartawan
Perlambatan ekonomi sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Apakah tidak diperhitungkan ketika menetapkan target penerimaan?
Target itu ditetapkan dari APBN satu tahun sebelumnya. Kita juga tidak pernah bisa memperkirakan seberapa dalam ekspektasinya. Tahun ini saja tiba-tiba ada wabah virus corona.
Seberapa besar pengaruh wabah virus corona?
Saya tidak tahu exact value-nya. Tapi, terutama yang dari Tiongkok, permintaan akan barang Indonesia ada kemungkinan turun, turis berkurang. Di Bali, Manado, yang ada direct flight dari Cina.
Berkaitan dengan target penerimaan, komoditas apa saja yang diperkirakan bakal naik tahun ini?
Sektor yang masih bertahan dan bagus adalah perbankan dan finansial, sampai akhir tahun lalu masih tumbuh 7-8 persen. Transportasi dan pergudangan masih bagus. Konstruksi masih positif. Ini dilihat dari sudut pandang kontribusi penerimaan, ya. Perdagangan masih tumbuh.
Pertambangan masih potensial?
Pertambangan dan industri pengolahan agak turun. Pertambangan masih potensial dan size-nya gede karena sekarang Indonesia basisnya masih sumber daya alam.
Dari mana sumber penerimaan pajak terbesar?
Komposisi terbesar penerimaan ada di 329 kantor pelayanan pajak (KPP) wajib pajak besar, KPP khusus penanaman modal asing, dan KPP madya. Kontribusinya sekitar 67 persen. Sisanya 33 persen ada di KPP pratama, yang berjumlah 48 ribu di seluruh Indonesia. KPP wajib pajak besar hingga madya relatif sensitif terhadap kondisi ekonomi karena perusahaan-perusahaan yang mapan ya relatif sensitif terhadap perekonomian. Apalagi kegiatan mereka ekspor-impor. Ini terbukti dari menurunnya penerimaan di beberapa kantor wilayah pajak.
Apa upaya untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun ini?
Bagaimana kami bisa memperluas basis pemajakan. Kami punya program meningkatkan kepatuhan sukarela. Lalu melakukan pengawasan, penegakan hukum yang berkeadilan. Selanjutnya, meningkatkan perekonomian karena perekonomian yang meningkat berarti pajak yang akan dipungut lebih banyak. Kami dorong ekonomi, kami harapkan pajaknya di belakang hari. Itu gambaran besar yang kami lakukan sepanjang tahun ini dan mungkin sampai 2024.
Bagaimana cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak?
Kepatuhan itu kan sukarela. Berarti orang harus tahu dulu mengenai pajak. Caranya, ya, edukasi. Masalah dia sudah menjadi wajib pajak atau belum itu kan persoalan segmentasi. Kami punya program Inklusi Kesadaran Pajak, Pajak Bertutur. Kami masuk ke wilayah pendidikan, perguruan tinggi segala macam. Bagi yang sudah menjadi wajib pajak, kami mudahkan caranya. Kaum milenial pasti inginnya bayar pajak tidak ribet.
Menggunakan aplikasi?
Kami sebetulnya sudah mengarah ke otomasi. Semuanya sudah ke bank. Kami juga banyak membuka saluran di tempat-tempat pembayaran supaya lebih memudahkan. Beberapa platform digital sekarang juga bisa sebagai tempat pembayaran pajak.
SURYO UTOMO • Tempat dan Tanggal Lahir: Semarang, 26 Maret 1969 • Pendidikan: Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro (1992); Master of Business Taxation University of Southern California, Amerika Serikat (1998); Doctor of Philosophy in Taxation Universiti Kebangsaan Malaysia (2019) • Karier: Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu (2008), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I (2009), Direktur Peraturan Perpajakan I (2010), Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian (2015), Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak (1 Juli 2015-31 Oktober 2019), Direktur Jenderal Pajak (sejak November 2019)
Dengan inovasi yang ada, seperti apa tingkat kepatuhan wajib pajak?
Dari segi kuantitas, meningkat untuk pemasukan surat pemberitahuan tahunan (SPT).
Berapa jumlahnya?
SPT tahun 2018 sebanyak 12,5 juta. Tahun lalu menjadi 13,4 juta. Jadi kami berusaha memudahkan. Membayar pajak bisa seperti membeli pulsa.
(Dari 13,4 juta SPT yang masuk tahun lalu, sebanyak 91 persen dari e-filing. Hanya sekitar 8 persen yang masih disetorkan secara manual ke counter atau lewat pos.)
Salah satu kendala belum optimalnya penerimaan pajak adalah masih adanya pengemplang pajak. Bagaimana cara mencegahnya?
Dengan sistem self assessment, setiap wajib pajak diwajibkan menghitung, menyetor sendiri atas pajak yang wajib dibayarkan. Kemudian dia wajib menyampaikan SPT. Fungsi kami melihat apakah SPT sudah sesuai dengan kondisi sebenarnya berdasarkan data yang kami miliki. Dengan 13,4 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT, kami enggak bisa melihatnya manual satu per satu lagi. Kalau mendapat informasi, kami coba cek. Kalau ada data, ya kami analisis laporan keuangannya, SPT-nya. Jika ada kekurangan bayar, kami imbau wajib pajak membetulkan SPT. Kalau dia tidak mengakui dan kami cukup valid datanya, kami lanjutkan ke pemeriksaan. Jika dia sengaja melakukan sesuatu yang merugikan keuangan negara dalam konteks perpajakan, itu sudah masuk ranah penindakan hukum.
Bagaimana dengan pegawai pajak yang nakal dan bermain mata dengan wajib pajak?
Kami punya infrastruktur pengawas internal. Secara sistem, kami mencoba mengotomasi semuanya agar mengecilkan ruang berinteraksi untuk antisipasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran, termasuk pemeriksaan. Semua layanan sudah otomasi, pengawasan kami otomasi. Kami juga ada saluran sistem whistleblower. Silakan Anda laporkan jika ada informasi.
Setelah tiga tahun, dana repatriasi program tax amnesty senilai Rp 141 triliun berpotensi keluar lagi dari Indonesia. Bagaimana mencegahnya?
Ini kan soal ketertarikan mereka untuk tinggal di Indonesia. Kalau dana itu punya orang Indonesia, kok, saya hampir yakin ada di Indonesia. Kami lihat sampai akhir tahun lalu masih mantap bergerak di sini. Kalaupun dipindahkan juga di dalam negeri.
Bagaimana setelah masa tiga tahun itu berakhir?
Pemerintah, istilahnya, bagaimana menahan mereka di dalam negeri. Mereka diminta berinvestasi dengan insentif. Mau apa saja silakan, ada 18 sektor yang diberi ruang untuk tax holiday.
Berapa nilai investasi yang telah masuk?
Dua tahun terakhir saja komitmennya sudah Rp 1.100 triliun. Kemarin saya bertemu dengan Pak Bahlil Lahadalia (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal), harapannya sih bisa terealisasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo