Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPS mencatat, per Agustus 2024, ada 5,18 juta orang berusia 15-29 tahun menganggur.
Tingginya angka pengangguran usia muda bisa mengubah ekonomi secara struktural.
Indonesia bisa tertimpa krisis sosial akibat tingginya angka pengangguran.
ADA satu masalah ekonomi yang menakutkan: meledaknya tingkat pengangguran usia muda. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, rentetan implikasinya sungguh panjang dan dapat melemahkan ekonomi secara struktural.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data menunjukkan Indonesia mulai mengalami fenomena menakutkan ini. Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2024, terdapat 5,18 juta orang berusia 15-29 tahun berstatus penganggur. Mereka sudah menjadi mayoritas atau sekitar 70 persen dari total pengangguran angkatan kerja Indonesia yang mencapai 7,46 juta orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penganggur berusia muda praktis tidak mampu berkontribusi dalam menghasilkan output ekonomi. Walhasil, produktivitas ekonomi akan menurun. Tak mungkin ada pertumbuhan tinggi jika ekonomi menanggung beban penganggur muda sebesar itu. Cita-cita muluk Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen bakal makin sulit, jika tidak bisa dibilang mustahil.
Pada saat yang sama, beban fiskal pemerintah malah meningkat. Tak ada kontribusi pajak dari penganggur muda. Sebaliknya, kebutuhan bantuan sosial buat mereka justru meningkat.
Lebih jauh lagi, jika tak segera mendapat pekerjaan, penganggur usia muda dapat terjerumus ke jurang kemiskinan jangka panjang. Kualitas hidup mereka merosot dan ketergantungan pada keluarga atau bantuan sosial makin besar.
Pada akhirnya muncul keresahan sosial yang meluas. Penduduk berusia produktif yang terpinggirkan dan merasa frustrasi bisa memicu lonjakan angka kriminalitas ataupun masalah sosial lain yang makin merusak ekonomi.
Jumlah penganggur muda yang begitu besar juga dapat mengubah ekonomi secara struktural. Orang yang lama menganggur pada usia muda akan mengalami wage scarring, yang merujuk pada dampak negatif jangka panjang terhadap pendapatan seseorang. Makin terlambat memperoleh pekerjaan, daya tawar orang itu terhadap pasar tenaga kerja makin merosot. Total penghasilannya hingga akhir usia produktif juga akan melorot.
Contohnya, banyak sarjana yang kini harus bekerja apa saja dengan upah rendah. Berbagai studi ekonomi dan pasar tenaga kerja menunjukkan bagaimana wage scarring yang meluas menimbulkan implikasi signifikan bagi individu, perekonomian, dan masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan umum akan memburuk.
Jika ekonomi Indonesia ingin selamat dari pemburukan jangka panjang yang bersifat struktural dan permanen, tidak bisa tidak, angka pengangguran usia muda harus segera menurun. Penciptaan lapangan kerja mesti menjadi prioritas nomor satu pemerintah, selain mendorong pertumbuhan jumlah wirausaha. Dalam konteks ini, pemerintah harus mengupayakan perbaikan iklim berbisnis di segala bidang secara serius.
Memasuki 2025, Prabowo punya kesempatan meletakkan dasar-dasar kebijakan yang akan sangat berpengaruh terhadap arah pergerakan ekonomi Indonesia hingga 2029. Sayangnya, belum tampak ada perhatian pada melonjaknya angka pengangguran berusia muda ini. Pemerintahan Prabowo masih berfokus pada belanja besar-besaran, dengan asumsi hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dorongan pertumbuhan ekonomi yang berasal dari belanja pemerintah tentu ada batasnya. Sekuat apa pun, tetap saja kapasitas fiskal pemerintah tak akan mampu membuat ekonomi tumbuh dengan cepat.
Patut kita catat, lebih dari separuh output ekonomi Indonesia berupa konsumsi rumah tangga. Makin besar jumlah penganggur berusia muda, makin kuat pula kecenderungan penurunan konsumsi. Hal itu tampak pada data komponen pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang menurun sejalan dengan naiknya jumlah penganggur muda.
Sejak pandemi Covid-19 merebak, kontribusi konsumsi pada produk domestik bruto terus menurun. Sebelum masa pandemi, atau pada 2017-2019, kontribusinya sekitar 54,2 persen. Sedangkan pada masa pandemi, yakni pada 2020-2021, angkanya turun menjadi 53,5 persen. Setelah pandemi berakhir, kontribusi konsumsi pada PDB kian merosot menjadi 52,8 persen.
Semestinya pemerintah belajar dari banyak negara. Lonjakan angka penganggur muda di Spanyol, Italia, dan Yunani, misalnya, berkembang menjadi keresahan sosial dan lemahnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Indonesia bisa tertimpa masalah serupa jika pemerintah tak segera mengubah fokus kebijakannya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo