Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pembungkaman Seni dan Seni Perlawanan

Wawan Kurniawan

Wawan Kurniawan

Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia

Di banyak negara, pembungkaman seni membuat seni perlawanan kian kuat gaungnya. Efek psikologis untuk mengembalikan kebebasan.

5 Maret 2025 | 15.00 WIB

Sejumlah aktivis, anak muda, dan penggemar band Sukatani, memasang spanduk saat aksi unjuk rasa di momen Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Tempo/Prima Mulia
Perbesar
Sejumlah aktivis, anak muda, dan penggemar band Sukatani, memasang spanduk saat aksi unjuk rasa di momen Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Tempo/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pembungkaman seni makin sering terjadi di Indonesia.

  • Dari pameran lukisan Yos Suprapto, pementasan drama Wawancara dengan Mulyono oleh Teater Payung Hitam, dan kasus band Sukatani.

  • Peneliti psikologi politik UI menulis bagaimana pembungkaman seni membuat seni perlawanan kian kuat di berbagai negara.

AKHIR 2024, lukisan karya seniman Yos Suprapto dibredel. Lima dari 30 lukisan yang hendak dipamerkan diminta diturunkan oleh pihak tertentu yang menganggap lukisan dia vulgar. Hal itu disampaikan oleh kurator yang ditunjuk Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Februari 2025, ada lagi pembungkaman terhadap Teater Payung Hitam yang awalnya akan menampilkan naskah berjudul “Wawancara dengan Mulyono”. Pementasan yang diagendakan berlangsung pada 15-16 Februari 2025 itu akhirnya dibatalkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kejadian terbaru yang juga masuk kategori pembungkaman publik adalah kasus grup band Sukatani. Dua personel grup band tersebut mengunggah video permintaan maaf kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui akun Instagram mereka. Lirik lagu Bayar, Bayar, Bayar mereka, yang termasuk dalam album Gelap Gempita, dinilai telah menghina institusi Polri.

Padahal baik lukisan, lagu, maupun karya lain bisa menjadi bentuk ekspresi masyarakat dalam mengkritik penyelenggaraan negara dan hal itu sah-sah saja. Ini merupakan seni perlawanan yang lazim terjadi di banyak negara.

Pelukis Yos Suprapto (kanan) menurunkan karya lukisannya di Galeri Nasional, Jakarta, 23 Desember 2024. Tempo/Subekti

Publik tentu bisa menilai bahwa apa yang dilakukan oleh grup band tersebut—menyampaikan kritik terhadap institusi publik melalui musik—adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin dalam sistem demokrasi. Menurut teori demokrasi deliberatif, kebebasan berekspresi merupakan elemen kunci dalam ruang publik. Warga negara dapat mendiskusikan dan mengkritik kebijakan pemerintah secara terbuka tanpa takut akan represi.

Kritik melalui musik sebagai bentuk komunikasi simbolik berkontribusi pada proses deliberasi yang sehat dalam demokrasi dengan menyoroti isu-isu sosial dan mendorong diskusi publik yang lebih luas. Tindakan meredam kritik oleh negara justru berpotensi menjadi katalisator bagi resistansi yang lebih besar.

Seni Perlawanan di Berbagai Negara

Seni bukan sekadar hiburan, tapi juga refleksi realitas sosial dan politik. Ketika karya seni dibungkam, yang terjadi bukanlah penghapusan pesan, melainkan justru amplifikasi pesan tersebut. Ketika karya seni dibungkam, terjadi efek Streisand, yakni saat upaya sensor justru meningkatkan rasa ingin tahu publik, memperluas penyebaran pesan, dan menjadikannya simbol perlawanan yang lebih kuat.

Sejarah telah mencatat berbagai bentuk seni perlawanan yang berdampak besar. Salah satu contohnya adalah Pussy Riot di Rusia. Grup punk feminis ini menggunakan musik sebagai alat kritik terhadap rezim Vladimir Putin. Penangkapan dan pemenjaraan mereka justru menarik perhatian dunia terhadap otoritarianisme di Rusia serta menginspirasi gerakan prodemokrasi.

Di Amerika Serikat, lagu-lagu protes, seperti Strange Fruit yang dinyanyikan Billie Holiday, menjadi simbol perlawanan terhadap rasisme sistemis. Lagu ini menggambarkan kekejaman lynching, yaitu praktik kekerasan brutal saat sekelompok orang—sering kali tanpa proses hukum—menghukum dan membunuh, biasanya dengan digantung, orang kulit hitam di Amerika. Hal ini memicu diskusi luas dan memperkuat gerakan hak-hak sipil.

Di Amerika Latin, mural dan grafiti oleh seniman seperti Diego Rivera digunakan untuk mengkritik ketidakadilan sosial serta ketimpangan ekonomi. Seni mural di negara-negara seperti Meksiko dan Cile sering kali menjadi alat perlawanan rakyat terhadap pemerintahan yang otoriter. Seni yang hadir sebagai bentuk perlawanan mampu membangun narasi tandingan dalam dominasi narasi penguasa di masyarakat.

Penggemar band Sukatani mengajak Masyarakat untuk memutar lagu Bayar Bayar Bayar dari band Sukatani dalam momen aksi Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Tempo/Prima Mulia

Dalam kasus grup band Sukatani, kemarahan publik terhadap kepolisian bukan sekadar karena mereka menekan satu grup band, melainkan lebih kepada simbolisme yang dihasilkan dari tindakan tersebut. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan social identity theory (teori identitas sosial), yakni individu cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu dan ketika kelompok mereka menghadapi ancaman, mereka akan makin memperkuat ikatan dengan sesama anggota kelompok.

Ancaman eksternal, seperti tindakan represif atau sensor terhadap simbol-simbol kelompok, sering kali memperkuat solidaritas internal dan memotivasi individu untuk melakukan aksi kolektif sebagai bentuk perlindungan terhadap identitas mereka.

Tindakan represif pemerintah dapat berujung pada apa yang disebut delegitimasi otoritas, yaitu erosi kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi hak-hak warga negara. Saat polisi menggunakan kekuasaannya untuk membungkam kritik, mereka tidak hanya gagal meredam protes, tapi juga makin memperkuat persepsi negatif bahwa mereka lebih sibuk melindungi citra institusi daripada menegakkan prinsip keadilan.

Makin Dibungkam, Makin Melawan

Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap otoritas, mereka tidak hanya sekadar marah, tapi juga mulai mempertanyakan seluruh legitimasi sistem yang ada. Ketika individu atau kelompok merasa kebebasan mereka dibatasi secara tidak adil, mereka akan mengalami dorongan untuk melawan dan memulihkan kebebasan yang hilang.

Akhirnya, makin dibungkam, akan makin kuat perlawanan. Publik kemudian makin keras mengkritik dan melakukan solidaritas kolektif untuk melakukan perlawanan. Makin keras upaya otoritas untuk membungkam kritik, makin besar reaksi perlawanan dari publik.

Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui teori reaktansi psikologis dalam ilmu psikologi sosial. Teori ini menyatakan bahwa ketika individu merasa kebebasan atau hak mereka dibatasi secara tidak adil, mereka akan mengalami reaktansi—reaksi psikologis yang mendorong mereka untuk mengembalikan kebebasan yang hilang.

Dalam konteks sosial dan politik, ketika pemerintah melakukan represi terhadap kritik atau membatasi kebebasan berekspresi, publik cenderung merespons dengan meningkatkan perlawanan. Alih-alih meredam protes, tindakan represif justru memperkuat rasa ketidakadilan dan memicu reaksi balik dalam bentuk mobilisasi sosial yang lebih besar. Ini terjadi karena individu merasa terdorong untuk mempertahankan atau merebut kembali hak-hak yang dirampas.

Pemerintah sebaiknya tidak meremehkan seni perlawanan seperti ini, melainkan harus melakukan refleksi diri. Tindakan represif justru memicu solidaritas yang lebih besar di kalangan masyarakat, memperluas basis gerakan, dan menarik perhatian dunia.

Aksi unjuk rasa menuntut para pemimpin Hong Kong mengundurkan diri dan mencabut RUU ekstradisi, di depanmarkas polisi, di Hong Kong, Juni 2019. Reuters/Tyrone Siu

Contohnya, gerakan protes di Hong Kong pada 2019 makin luas setelah pemerintah menanggapi demonstrasi awal dengan kekerasan. Hal serupa terjadi dalam Revolusi Arab Spring, saat tindakan keras pemerintah terhadap demonstran di Tunisia dan Mesir justru mempercepat jatuhnya rezim yang berkuasa.

Tampaknya pemerintah Indonesia harus kembali disadarkan dan diingatkan bahwa dalam konteks demokrasi, kebebasan berekspresi bukanlah ancaman, melainkan menjadi sumber fondasi utama bagi stabilitas serta kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Jika seni dikekang, yang ditekan bukan hanya senimannya, tapi juga suara masyarakat yang mereka wakili. Pendekatan represif terhadap seni tidak hanya melanggar hak dasar kebebasan berekspresi, tapi juga kontraproduktif dalam jangka panjang.

Alih-alih meredam kritik, tindakan ini justru memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya mempertahankan ruang demokrasi. Sejarah menunjukkan bahwa seni selalu menemukan jalan untuk bertahan dan berkembang, bahkan dalam kondisi paling represif sekalipun.

Institusi negara seharusnya melihat seni sebagai bagian dari dialog sosial yang sehat dan refleksi dari kondisi masyarakat yang semestinya mereka layani. Jika tidak demikian, hanya ada satu kata: Lawan!

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus