Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pengagum Dua Presiden

Joop Ave berpulang pekan lalu di Singapura setelah lama menderita sakit. Diplomat, pencinta seni-budaya, dan promotor ulung pariwisata Indonesia.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perawakannya tinggi-besar, membuatnya menjulang bila berada di antara sesama menteri Kabinet Pembangunan VI. Joop Ave dipercaya Presiden Soeharto menjadi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi periode 1993-1998 setelah menjadi Direktur Jenderal Pariwisata selama 11 tahun. Dia dikenal amat menjiwai bidang seni, budaya, dan pariwisata. Promosi pariwisata ia geber dengan slogan "Visit Indonesia Year". Hasilnya manis: jumlah wisatawan asing untuk pertama kalinya menembus angka 5 juta orang dalam setahun di masa dia menjadi menteri.

Rabu pekan lalu, pria keturunan Belanda itu tutup usia pada umur 79 tahun di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, karena komplikasi beberapa penyakit. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu mengatakan Joop "amat layak menjadi Bapak Pariwisata Indonesia".

Pria kelahiran Yogyakarta itu memilih Bali sebagai tempat peristirahatan terakhir. "Jenazahnya disemayamkan dan dikremasi pada Sabtu, 6 Februari 2014," kata juru bicara Kementerian Pariwisata, Sutar­yanto. Setelah pensiun, Joop memang lebih sering berada di Pulau Dewata. Dia punya banyak teman di sana.

Joop Ave memulai karier pada usia 18 tahun saat masih mahasiswa Akademi Dinas Luar Negeri. Pemuda yang fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Jerman itu bekerja sebagai penerjemah di Radio Republik Indonesia-dan kemudian menjadi penyiar. Di Akademi, Joop satu angkatan dengan Ali Alatas, yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri.

Sejak muda, Joop sudah aktif terlibat dalam kegiatan internasional. Salah satunya menjadi volunter dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Lulus dari Akademi Dinas Luar Negeri pada 1957, dia mengambil studi politik di University of the Philippines, tapi hanya setengah jalan. Pulang ke Jakarta, dia ditempatkan sebagai pejabat protokol junior di Istana Presiden.

Kerap mendampingi Presiden Sukarno melawat ke mancanegara, Joop adalah pengagum sang Presiden. "Dia bercerita belajar banyak tentang penampilan dari Bung Karno," ujar Amir Sidharta, kurator museum yang pernah bekerja sama dengan Joop menerbitkan sejumlah buku. Salah satu pelajaran yang dipetiknya dari Bung Karno: tampil beda. Bila kebanyakan tamu mengenakan jas hitam dalam sebuah acara, dia akan memilih jas putih.

Ketika terjadi pergantian presiden, Joop melanjutkan pelayanannya kepada Presiden Soeharto. "Dia mengaku tak berpolitik dan hanya berusaha menjadi pengabdi negara," Amir menambahkan. Keraton Surakarta, yang amat terkesan pada kerja Joop, memberinya gelar Kanjeng Raden Mas Haryo Condronegoro.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Joop menjadi Kepala Rumah Tangga dan Protokol Istana mulai 1972 hingga 1978. Pindah ke kursi Direktur Jenderal Urusan Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (1978-1982), Joop tercatat 20 kali mendampingi Presiden Soeharto dalam kunjungan kerja ke lima benua.

Dari lingkungan Istana dan diplomasi, karier Joop berbelok menjadi Direktur Jenderal Pariwisata di Kementerian Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Namanya berkibar sebagai promotor ulung pariwisata Indonesia di luar negeri. Tak mengherankan, dia kemudian terpilih menjadi Presiden Asosiasi Perjalanan Asia-Pasifik dan Organisasi Kepariwisataan Sedunia, yang bermarkas di Madrid, Spanyol.

Toh, rekam jejak Joop tak selalu gemilang. Semasa menjadi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, namanya pernah disangkutkan dengan suap. Dalam sebuah dokumen, dia disebut meminta direksi PT Telkom-yang secara teknis berada di bawah kementeriannya-mengirim sejumlah uang ke rekening kementerian. Tapi, secara resmi, Joop tak pernah diperiksa dalam kasus itu.

Setelah tak menjadi menteri, Joop aktif memprakarsai penerbitan sejumlah buku berbahasa Inggris tentang batik, interior, dan seni Indonesia. Pengetahuan Joop tentang seni dan budaya memang tidak diragukan. Tak berlebihan bila Mari Pangestu, saat mendengar kabar kematian, menegaskan bahwa kepergian Joop Ave adalah kehilangan besar bagi Indonesia.

Nugroho Dewanto, Maria Yuniar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus