Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Kota yang Berubah

Para fotografer dari agensi Ostkreuz, Berlin, Jerman, berkelana ke sejumlah kota di dunia, merekam kebangkitan atau keruntuhan sebuah kota. Karya mereka dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepenggal cerita tentang Kota Ushuaia, Argentina, dalam buku In Patagonia karya Bruce Chatwin, novelis dan penulis perjalanan asal Inggris, sangat kontras dengan hasil jepretan Jörg Brüggemann. Pada 1977, Chatwin menulis catatan pendek tentang kota itu. Dia menyebut Ushuaia sebagai "kota tanpa anak-anak".

Ushuaia, kota seluas 23 kilometer persegi, adalah kota di paling ujung selatan dunia. Ia merupakan ibu kota Provinsi Tierra del Fuego, Antártida e Islas. Tak seperti Argentina bagian utara, yang masih merasakan sedikit iklim tropis, suhu di Ushuaia sangat dingin karena kota itu dekat dengan Antartika.

Chatwin, yang sekitar enam bulan berkelana di kawasan itu, melukiskan penduduk di sana melihat pendatang dengan tatapan sinis tak bersahabat. "Tapi hari ini Anda akan menemukan gambaran yang sama sekali berbeda," kata Brüggemann, fotografer dari Ostkreuz, agensi foto terkemuka di Berlin, Jerman, tentang Ushuaia.

Dalam diskusi di Galeri Nasional, Brüggemann bercerita, pada 2010, ia bertandang ke Ushuaia untuk menggarap proyek dari Ostkreuz, yang didirikan pada 1990 oleh tujuh fotografer dari Berlin (dulu Berlin Timur, Jerman Timur). Dia secara naluriah membidik kegiatan anak-anak muda dan kelas pekerja di sana. "Saya penasaran membayangkan apa yang dilakukan anak muda di kota paling selatan di dunia tersebut," ujarnya.

Brüggemann memulai riset ala kadarnya. Ia membuka Google Map dan melihat kota itu sangat jauh dari kota besar lain di Argentina. Kota terdekat jaraknya sekitar 300 kilometer. Sesampai di Ushuaia, ia menemui kota yang hidup. Ia tak menyangka hal itu. Melalui kamera, Brüggemann menangkap kehidupan pemuda di sana. Bermain sepeda BMX di half pipe ramp, trek sepeda berbentuk setengah lingkaran, sama seperti pesepeda BMX di kota-kota besar dunia lain. Mereka juga menonton televisi, berbelanja, dan bekerja seperti umumnya penduduk kota mana pun.

Foto-foto Brüggemann menunjukkan sebuah kota pada usia yang amat muda. Ketika pembangunan masih di tahap awal. Di tahap selanjutnya, dinamika berubah. Warga yang mendiami kota itu turut membentuk kehidupan di sana. "Kota membentuk warga. Begitu pula warga membentuk kota," katanya.

Memang, selang beberapa tahun setelah kunjungan Chatwin, Argentina menerapkan kebijakan zona bebas pajak di Ushuaia. Dalam sekejap kota itu pun dirubung para pendatang. Terjadi arus urbanisasi yang deras ke Ushuaia. Pada 1977, hanya ada 5.000 orang tinggal di sana. Pada 2010, menurut Brüggemann, jumlah penduduk Ushuaia melonjak hingga 60 ribu jiwa. Sebagian besar merupakan keluarga baru dari bagian utara Argentina, yang hijrah untuk mencari pekerjaan. Ushuaia sendiri berbatasan dengan Cile. "Pemerintah Argentina berkepentingan membangun kota itu agar warganya tidak pindah," ujar Brüggemann.

l l l

"OLEH-OLEH" Brüggemann blusukan ke Ushuaia itu merupakan sebagian dari foto-foto yang ditampilkan dalam pameran bertajuk "City, Becoming and Decaying" (Kota, Tentang Kebangkitan dan Keruntuhan), yang digelar di Galeri Nasional, Jakarta, sepanjang 24 Januari-7 Februari 2014. Pameran fotografi yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut itu menampilkan karya 18 fotografer dari Ostkreuz, yang berpencar merekam denyut 22 kota di pelbagai belahan dunia, dari Manila, Tokyo, Las Vegas, Ushuaia, Dubai, hingga Gaza. Foto-foto itu diambil dalam rentang 2008-2009. Sebelum digelar di Jakarta, pameran ini dibawa berkeliling ke sejumlah kota di mancanegara sejak dua tahun lalu.

Setiap seri foto menampilkan mimpi dan permasalahan tiap kota. Para fotografer menyuguhkan karya mereka yang berkaitan dengan pembangunan atau keruntuhan sebuah kota. Inventarisasi perubahan kota tersebut dipicu oleh munculnya tren baru. Pada 2008, di berbagai tempat di dunia, tingkat urbanisasi memuncak. Orang yang tinggal di kota lebih banyak daripada yang tinggal di desa. "Kami ingin melihat potret kota saat dibangun, mengalami kemakmuran atau dalam keruntuhan, suasana chaos, bahkan ketika ditinggalkan penduduknya," ucap Brüggemann, yang juga menjadi kurator pameran tersebut.

Ambil contoh karya fotografer Andrej Krementschouk, yang merekam suasana Kota Pripyat, Ukraina-sekitar 4 kilometer dari Chernobyl. Pripyat menjadi saksi ketika bencana nuklir terburuk terjadi pada April 1986. Akibat dampak ledakan reaktor nuklir Chernobyl, penduduk kota itu mengungsi dan tak pernah kembali. Mereka meninggalkan barang dan perabot rumah, yang kini hanya menjadi tumpuan kayu lapuk. Krementschouk menangkap keheningan ganjil dari kota hantu yang tengah berselimut salju tipis tersebut.

Sementara Pripyat ditinggalkan penduduknya, lain lagi dengan Ordos. Fotografer Maurice Weiss mengabadikan bagaimana proses kelahiran kota yang terletak di Gurun Gobi, 800 kilometer barat laut Beijing di Mongolia Dalam, Cina, itu dari nol. Embrio kota itu dibangun untuk memecah arus urbanisasi ke ibu kota Cina. Tanah tandus berpasir mulai diberi garis untuk menandai pembangunan. Kamera Weiss menangkap konstruksi-konstruksi yang mencuat di tengah lautan gurun dan wajah-wajah pekerja dengan tangan berlumur semen.

Ada pula karya Thomas Meyer yang menampilkan pembangunan gedung bertingkat di Kota Dubai, Uni Emirat Arab. Kota di tepi pantai selatan Teluk Persia itu telah padat oleh bangunan pencakar langit. Di sudut lain kota itu, tepatnya di satu toko di Ibn Batuta Mall, berjajar boneka dan pernak-pernik bergambar unta merah muda yang tampilannya mirip karakter dalam animasi asal Hollywood, My Little Pony.

Yang juga menyita perhatian adalah foto karya Heinrich Völkel tentang Gaza, Palestina. Fotografer ini menampilkan gambar-gambar yang mencekam, tapi pada saat yang sama ada kedamaian dan semangat kehidupan di dalamnya. Anak-anak yang bermain di atas reruntuhan masjid. Lelaki yang tengah bersujud dalam salatnya, berlatar belakang rumahnya yang luluh-lantak. Juga penduduk yang tengah menghancurkan sisa rumahnya untuk dibangun kembali.

Ananda Badudu, Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus