Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak dirilis akhir tahun lalu, penggunaan AI untuk lukisan meningkat, termasuk lewat pameran.
Pameran lukisan AI berlangsung pada 22-27 Februari 2023.
Tidak bisa disebut benda seni.
Kecerdasan artifisial (AI) telah banyak membantu manusia. Program AI, seperti Face ID, navigasi, pembayaran elektronik, hingga asisten virtual, kini digunakan berbagai kalangan. Pada 2022, muncul sistem AI yang kontroversial, khususnya di Yogyakarta, yang mengubah tulisan menjadi gambar realistis seperti hasil lukisan tangan. Alat tersebut dikenal sebagai AI Art Generator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan cepat, perangkat ini merambah setiap pengguna telepon seluler pintar melalui aplikasi-aplikasi gratis maupun berbayar. Orang mulai beramai-ramai menciptakan fenomena viral seperti Magic Avatar. Aplikasi seperti Dream Art bahkan mampu membuat lukisan apa pun yang diinginkan cukup dengan mengetik kalimat dan jadi hanya dalam hitungan menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa orang menjadikannya sebagai permainan, sementara yang lain membuatnya sebagai sarana berkesenian, bahkan memajang hasilnya dalam sebuah pameran. Ketua Umum Perkumpulan Penulis Satu Pena, Denny J.A. memajang karya lukisan artifisialnya pada International Minangkabau Literacy Festival, 22-27 Februari 2023.
Potret badut Macci Ex Machina dihasilkan oleh AI, 2022. REUTERS/Perry Jonsson & AI
Dosen seni rupa Institut Kesenian Jakarta, Tantio Adjie, mengatakan, pameran dan lomba lukisan hasil karya AI sah saja, “Asalkan dipamerkan dengan sesama digital,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, pameran digital tidak boleh dicampur dengan pameran lukisan dari cat minyak akrilik yang terang-terangan dibuat dengan tangan. Tantio mengatakan, lukisan artifisial tidak dapat dikatakan sebagai karya seni, terlebih dari aplikasi AI Art Generator. Menurut dia, ada pula seniman yang mencampur gambar hasil karya asli dengan bantuan AI. “Tapi ini bukan pure fine art—karya seni sesungguhnya,” katanya.
Para pelukis menolak masuknya AI dalam kontak karyawan karya. Tempo menemui pelukis jalanan di Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Di dekat tangga masuk pusat belanja itu, seorang pria dengan topi berwarna cokelat sedang menunggui dagangannya, namanya Ari Budaya. Di kanannya terpampang lukisan pesohor pentolan Rolling Stone, Mick Jagger.
Saat ditunjukkan hasil karya lukisan AI Mick Jagger yang dibuat Tempo, dia mengatakan gambar tersebut bagus, tapi menolak mengkategorikannya sebagai karya seni. Pria berusia 55 tahun itu mengaku butuh waktu satu minggu hingga dua bulan untuk menghasilkan lukisan akrilik ataupun cat minyak. Sedangkan karya AI tidak butuh waktu dan proses selama itu. Menurut dia, coretan gambar dari tangan anak kecil yang carut-marut masih lebih berkesan daripada gambar AI.
"Itu lebih ekspresif dari editan kayak Photoshop,” dia menambahkan. Walau warnanya berantakan, tapi bagi Ari itu lukisan. "Imajinasi AI itu kan imajinasinya pakai mesin. Mesin yang kerja. Klik sana klik sini, terus jadi.”
Pria asal Depok itu mengaku tahu soal fenomena kemunculan AI Art Generator sejak setahun lalu dari media sosial. "Sempat awal-awal timbul AI saya kaget.” Sempat ada kekhawatiran dalam dirinya AI akan menggeser kerja-kerja para perupa.
Keresahan yang sama dirasakan oleh perupa lain di kawasan Blok M, Dirman. Pria berusia 49 tahun itu mengatakan, akibat kemunculan tools digital, ia merasakan adanya penurunan minat orang terhadap seni lukis jalanan. Khususnya sejak muncul aplikasi avatar.
Menurut dia, seni lukis oleh tangan seharusnya tidak bisa digantikan oleh mesin. “Walaupun AI bagus, tetap beda dengan lukisan asli,” ia mencontohkan dirinya yang sedang menggambar karikatur. “Belum tentu teman saya punya kebolehan menggambar seperti saya, begitu juga sebaliknya.” Pria asal Jakarta Selatan itu mengatakan, "Setiap seniman memiliki kekhasan tersendiri. Itu yang tidak dimiliki oleh AI."
Tantio Adjie, pengajar seni lukis di IKJ, membenarkan bahwa setiap seniman memiliki kecenderungan gambar yang khas dan berbeda. “Sekarang orang menggambar Mick Jagger, saya menggambar Mick Jagger. Sama-sama menggambar Mick Jagger, tapi hasilnya pasti lain. Itulah karya seni,” kata dia.
Menurut dia, menghasilkan karya lukis tidak bisa ujuk-ujuk disebut pelukis. “Pelukis sesungguhnya memiliki tahapan entah belajar formal, dengan orang lain, atau belajar sendiri.” Selain itu, seni rupa yang sesungguhnya bukanlah yang bisa diproduksi massal. “Ada eksklusivitas tidak bisa diproduksi dalam jumlah banyak.”
Ia menegaskan, lukisan adalah dibuat oleh tangan manusia dengan segala macam ide dan konsep. “Dibuat dari refleksi, melihat, dan dengan menggunakan tangan serta alat bantu kuas. Kalau dia menggunakan alat bantu selain skill-nya dengan teknologi atau IT, menurut saya, itu enggak bisa disejajarkan kalau dibilang karya seni.”
ILONA E.P. | SILVIA (MAGANG) | THE CONVERSATION
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo