Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Toean Markoen dan Sirene Keserakahan

Teater Api Indonesia Surabaya mementaskan lakon Toean Markoen di Malang. Adaptasi naskah Mesin Hamlet Heiner Mueller.

20 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT pukul 20.00, sirene peringatan serangan udara meraung pelan sebanyak 25 kali dalam ruangan nan redup. Tak lama kemudian, cahaya temaram menyorot bidang kosong di hadapan penonton. Tampaklah panggung teater yang serata lantai ubin, dengan tumpukan ribuan lidi dan latar bingkai kotak persegi empat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdengar suara seorang pria yang melantangkan nama Ophelia beberapa kali, seraya bergerak merayap dan menyeruak tumpukan lidi hingga ia tegak berdiri dengan bertelanjang dada. Memakai sepatu bot hitam dan sarung kotak-kotak berpola menyerupai kilt alias rok tradisional pria Skotlandia, ia memegang tongkat bendera berumbai warna pastel dengan lima ikatan pita berwarna merah jambu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selanjutnya tiga pria bersarung dan bertelanjang dada muncul tak lama setelah pria pertama mundur dari panggung. Tubuh mereka bergerak “liar”, merintih, dan mengeluarkan “mantra” panjang yang mirip sebuah lolongan. Dibalut amarah, mereka mengangkat tinggi tumpukan lidi, lalu melemparkannya ke arah penonton. Lidi berserakan. 

Adegan beralih pada sosok seorang pria berkostum kuning ala ninja dan bermasker antiradiasi (hose mask). Ia muncul dengan memegang dua tongkat bendera semafor berbahan plastik merah. Punggungnya digelayuti 20 kaleng yang diikatkan pada sebatang rotan yang merentang di sisi kiri dan kanan mirip sayap ngengat. Di bagian kepala, menjulur tiga antena rotan yang masing-masing dipasangi bendera mungil sejumlah negara. Benderanya bermatra segitiga sama kaki. 

Pria bermasker berlalu, muncul seorang pria bertelanjang dada dan bersarung membawa banyak kaleng. Kaleng-kaleng tersebut jatuh, klontang-klonteng… klontang-klonteng.… Ia mencoba melindungi kaleng yang tersisa, bergerak mundur hingga alarm kembali berbunyi, penanda pementasan berakhir.

Repertoar Toean Markoen oleh Teater Api Indonesia itu dihelat di Aula Oesman Mansoer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang, Jawa Timur, Sabtu, 12 November lalu. Pentas berdurasi 35 menit tersebut disutradarai Luhur Kayungga. Awak kelompok teater ini sudah mementaskan lakon itu untuk ketiga kalinya sejak 2021.

Pertunjukan Toean Markoen pertama dilangsungkan secara daring tanpa penonton di Gedung Teater Program Studi Seni Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, Februari 2021. Lalu kisah ini dipanggungkan secara langsung di Gedung Cak Durasim Kompleks Taman Budaya Surabaya, Oktober lalu.

Toean Markoen diadaptasi dari naskah Mesin Hamlet atau Die Hamletmachine karya Heiner Mueller, seniman Jerman. Luhur menyatakan pergelaran Toean Markoen merupakan pertunjukan teater tubuh yang memang berkonsep meminimalkan penataan panggung dan penggunaan properti. Tubuh aktor menjadi sentral pertunjukan. 

Selama pertunjukan Toean Markoen, tak ada ujaran atau dialog selain ucapan aktor yang melantangkan nama Ophelia, kekasih Pangeran Hamlet, dalam drama tragedi termasyhur karya William Shakespeare (1564-1616) berjudul Hamlet

Para aktor dibiarkan mengeksplorasi tubuh sebagai kunci: bergerak “liar”, berteriak, merintih, mengeluarkan “mantra-mantra”, berdialog dengan beragam properti di panggung. Tubuh berfungsi bukan sebagai media ungkap belaka, melainkan jadi identitas yang utuh dan mandiri. 

Para pemain bebas mengeksplorasi tubuh sonder kata-kata. Penonton disuguhi penampilan tubuh aktor di arena sebagai gerak teatris yang organik dan latar panggung yang terpusat pada bidang refleksi bingkai kotak persegi. Penonton bebas memindai realitas dari gerak tubuh para aktor.

Luhur menjelaskan, lakon ini tak banyak berubah sejak pentas di Surabaya. Penyesuaian lebih banyak dilakukan dalam gagasan penggunaan properti panggung karena kondisi panggung untuk pentas. “Pesan kami dari pentas ini masih sama,” ujar Luhur.

Luhur mencontohkan, di Malang mereka tak dapat menghadirkan properti cerobong asap dari gulungan seng yang digantung sebagaimana di Surabaya. Mereka juga harus menyiasati lantai ubin yang mengkilap agar tak merusak estetika pencahayaan dengan sapu lidi.

Toean Markoen simbol keserakahan. Lakon ini upaya melongok sejarah peradaban manusia yang telah kehilangan martabat kemanusiaannya atau dihinakan hanya menjadi sekrup-sekrup mesin dan dibuang sebagai sampah-sampah pabrik. Industri menjadi serentetan masalah, dari perbudakan, penggusuran tenaga manusia menjadi mesin, sampai limbah dan polusi yang merusak dan meracuni kehidupan manusia.

“Mereka membabat hutan, mencaplok sawah-sawah, mengeruk isi alam, lalu mencuci otak dan memperbudak manusia hanya menjadi alat produksi,” kata Luhur, yang juga Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Surabaya.

ABDI PURMONO (MALANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus