Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA meyakini tiga ungkapan Bunda Teresa di bawah ini juga merupakan pedoman hidup Profesor Doktor Edi Sedyawati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup adalah tugas, tuntaskan
Hidup adalah peluang, manfaatkan
Hidup adalah petualangan, beranilah menjalaninya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya mengenal Edi dalam waktu yang cukup panjang, yakni sejak 1978. Saya mengenal perempuan yang lahir di Malang, Jawa Timur, 28 Oktober 1938, itu sebagai dosen, pembimbing, rekan sesama dosen, sesama peneliti, dan sebagai pejabat.
Orang yang baru mengenal Profesor Edi Sedyawati biasanya akan keliru menilainya. Edi ibarat sebuah buku dengan sampul bergambar penari balet, tapi isinya matematika. Kesan ini masih terbaca dari ungkapan para sahabatnya yang bahkan sudah merasa cukup mengenal: pembawaannya kalem (apalagi ia penari Jawa klasik), kata-katanya lembut (karena suaranya pelan), ramah, dan agak pendiam.
Jika mengenalnya lebih jauh, dia justru tampak memiliki kepribadian yang cenderung keras. Kata-katanya tajam dan sikapnya tegas. Di dalam organisasi seni yang digelutinya, Edi acap tidak disukai dengan kritiknya yang tajam. Tapi dia juga dihormati karena menunjukkan kelemahan-kelemahan yang sering dijumpai dalam organisasi para seniman tersebut.
Edi juga dikenal pekerja keras. Saat menjadi pejabat tertinggi di Direktorat Jenderal Kebudayaan, gaya kerjanya membuat para anggota stafnya kehilangan waktu santai. Pernah seorang direktur bawahannya mengatakan dengan kelakar bahwa dirjennya “gila”. Maksudnya gila kerja karena harus mengikuti atasannya bekerja lembur pada Minggu.
Bagi Edi, jabatannya sebagai dirjen merupakan peluang untuk mewujudkan mimpi-mimpi besarnya di ranah kebudayaan. Pada masa kepemimpinannya, galeri nasional yang telah lama dicita-citakan sejak zaman Presiden Sukarno akhirnya terwujud. Dia juga mewujudkan gagasannya untuk menyelenggarakan pameran seni negara-negara non-blok.
Sepintas, Edi yang bertubuh kecil terkesan ringkih. Namun sesungguhnya dia sangat kuat dan cekatan. Hal ini saya rasakan ketika menjadi bagian dari tim penelitian masalah integrasi bangsa yang dipimpinnya. Dalam setiap penelitian, dia kerap menyempatkan berkunjung ke museum atau situs-situs arkeologi. Dia juga acap menyaksikan seni pertunjukan khas setempat, meskipun tidak ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti.
Dunia arkeologi dan seni menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ada kalanya keberadaannya di daerah-daerah menjadi kesempatan bagi murid-muridnya untuk memperoleh bimbingan atau mengundangnya untuk memberi kuliah umum di perguruan tinggi setempat. Semua dilayaninya. Tanpa kenal lelah.
Kekuatan fisiknya dibuktikan oleh kegiatan perjalanan penelitian yang melelahkan. Kami yang muda-muda pernah khawatir akan kesehatannya sehingga tidak merekomendasikan berjalan jauh naik-turun bukit untuk menyisihkan waktu sekadar mengunjungi situs arkeologi di Sumatera Barat. Jarak tempuh yang jauh kerap diabaikan dan perjalanan dituntaskan.
Salah satu prestasi istimewa dalam perjalanan penelitiannya dibuktikan di Sulawesi Selatan, pada 2003. Penelitian selama 12 hari di satu provinsi itu mampu menyinggahi enam kabupaten dan dua kota. Perjalanan dimulai dari Kota Makassar ke arah selatan, singgah di Kabupaten Jeneponto, melewati Bantaeng, lalu mencapai kabupaten paling selatan, Bulukumba. Perjalanan pulang melewati jalur yang sama hingga kembali di Kota Makassar.
Rute berikutnya ke arah utara menyinggahi Kabupaten Maros, Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten Sidenreng-Rapang, dan Kabupaten Mamasa. Perjalanannya sendiri boleh dibilang menyenangkan, tapi jelas sangat menguras tenaga. Salah satu peneliti muda mabuk dan muntah-muntah. Adapun Edi masih segar bugar.
Selain tangguh di lapangan penelitian, sebagai akademikus, Edi dikenal sebagai penulis cepat dan pemikir orisinal. Dia sudah terbiasa menyelesaikan artikel resensi sebuah pertunjukan seni setelah menontonnya semalam untuk diterbitkan esok harinya.
Selama menjadi dirjen, dia menerbitkan empat jilid buku kumpulan tulisan pada 1993-1997 yang terdiri atas 115 artikel. Isi tulisannya sangat beragam, dari soal arkeologi, peran wanita, seni lukis, seni populer, sastra, musik, gamelan, pencak silat, tradisi lisan, hingga strategi kebudayaan. Ada juga artikel tentang antropologi pembangunan, manajemen museum, industri budaya, pembangunan sosial-budaya, pertumbuhan ekonomi, dan keberagaman budaya.
Ihwal tulisan-tulisannya yang banyak itu, orang tentu akan mempertanyakan mutunya. Saya kadang-kadang terkejut bahwa di dalam tulisan-tulisan pendek yang sedikit acuan pustakanya, bahkan sering tanpa pustaka sama sekali, justru tampak pemikiran orisinalnya.
Salah satu tulisannya yang menunjukkan pemikiran orisinalnya adalah tentang Candi Larajonggrang. Tulisannya memuat pandangan barunya bahwa candi megah tersebut tidak dibangun berdasarkan kepercayaan pembagian tiga dunia, yaitu dunia bawah-tengah-atas, yang masing-masing diwakili secara vertikal oleh bagian kaki-badan-atap candi, melainkan dibagi secara horizontal.
Semua candi Induk Siwa dari puncak hingga kaki itu menggambarkan dunia atas, yaitu dunia kahyangan. Adapun dunia tengah dan dunia bawah justru ada di bagian-bagian lain sisi luar halaman candinya. Tafsir tersebut memiliki argumen kuat karena ketelitian Edi dalam mengamati gambar-gambar detail relief pada candi Siwa ini.
Dalam tulisan lain yang dipresentasikan pada seminar internasional sebagai rangkaian pameran Art Summit Negara-Negara Non-Blok (1995), Edi menyebutkan perlunya sikap kritis untuk menggunakan konsep-konsep Barat yang berkaitan dengan isu multikulturalisme. Misalnya konsep “mayoritas-minoritas” dan “primordialisme”.
Konsep “mayoritas-minoritas” digunakan oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Australia untuk menjelaskan hubungan yang berkonotasi negatif antara penguasa kulit putih yang mayoritas dan kelompok-kelompok minoritas etnis asli yang dianggap lebih rendah akibat kolonisasi. Konsep ini tidak berlaku bagi negara Indonesia atau India karena kelompok-kelompok etnisnya memiliki kedudukan yang sama.
Demikian juga konsep primordialisme di negara-negara tersebut mengandung penilaian negatif karena mencerminkan bentuk keengganan atau perlawanan terhadap hegemoni negara modern yang baru. Adapun bagi bangsa Indonesia, sikap itu tidak harus dinilai negatif karena merupakan cara wajar untuk menguatkan kembali akar budayanya.
Membaca berbagai tulisannya, wawasan pengetahuannya terlihat begitu luas dan beragam. Teori umum menyatakan bahwa orang yang berfokus pada satu bidang dan berlatih sejak dini secara terus-menerus akan menjadi pribadi yang unggul. Teori ini tidak berlaku bagi Edi. Teori yang cocok justru sebaliknya, yaitu orang yang memiliki ketertarikan di banyak bidang seperti dikemukakan oleh David Epstein dalam bukunya, Range (2019).
Bagi saya, sosok Edi yang merupakan kombinasi seorang akademikus, seniman, dan birokrat itu sungguh mengagumkan. Meski begitu, dia bukanlah seorang superwomen. Dia punya kelemahan justru di bidang yang tidak lazim dimiliki seorang perempuan: memasak! Ia lebih piawai menjelaskan komposisi karya sastra Ramayana ketimbang racikan nasi goreng kambing atau bumbu gulai kepala kakap.
Keunikan lain, pada umumnya orang menguasai hal-hal yang sangat dicintainya. Tapi bagi Edi yang hobi menyetir mobil hal itu tidak berlaku, terutama dalam hal mobil Fiat antik miliknya keluaran 1959. Untuk urusan mesin mobil dia serahkan sepenuhnya kepada montir yang selalu berganti-ganti karena saking awetnya si mobil itu.
Satu-satunya yang mengingatkan saya akan peralatan mobil itu adalah tali tambang plastik yang melingkar seperti ular di ruang bagasi. Apa gunanya? Ya, untuk menarik mobil karena sering mogok di jalan.
Tuhan memberinya umur panjang, 84 tahun. Meski dia ingin terus berkarya, kondisi badan yang menua menahannya. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, Edi Sedyawati mengembuskan napasnya yang terakhir pada Jumat, 11 November 2022, pukul 23.40. Selamat jalan kembali menemui Sang Khalik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo