Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI layar, tampak panggung memperlihatkan rumah sederhana, boleh dikatakan rumah kontrakan warga miskin. Perabotnya hanya sebuah dipan serta meja dengan cangkir dan teko. Di dalam rumah, Den Harjo (Tio Pakusadewo) terus saja merayu Mirah (Vonny Anggraini) yang memegang sapu sebagai alat pertahanan diri. Lelaki bertongkat itu berharap Mirah luluh dengan menawarkan sebuah rumah dan kehidupan bergelimang harta yang bisa ia miliki asalkan mau meninggalkan suaminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirah sudah menunggak uang sewa kontrakan berbulan-bulan. Kondisi pagebluk membuat ekonomi keluarganya makin morat-marit. Penghasilannya makin tak menentu. Ali (Adam Syahel), anak lelakinya, membantunya mencari tambahan pemasukan sebagai tukang parkir. Suami Mirah, Amat (Asrul Dahlan), hanya bisa marah-marah ketika dimintai uang kontrakan. Sudah lama sopir tembak itu enggan menarik angkot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamera merekam adegan di panggung dan suasana di luar panggung layaknya adegan film. Dari suasana rumah kontrakan di panggung yang sangat khas setting teater, penonton diajak mengikuti Ali yang harus beradu nyali mencari lahan parkir. Atau suasana rumah mewah Den Harjo. Di rumah itu Den Harjo seperti tak berdaya, diremehkan oleh istrinya (Maudy Koesnaedi). Tugas Den Harjo menagih uang sewa kontrakan dan mengantarkan Princess, anjing kesayangan istrinya, grooming. Diperlihatkan pula adegan ketika Amat kembali berniat kerja karena suntuk di rumah. Ia mengira istrinya sudah menjadi pacar Den Harjo.
Keluarga Amat dan Mirah jauh dari baik-baik saja. Mirah jatuh sakit. Batuk dan sesak napas berkepanjangan memaksanya terus berbaring. Amat minggat mencari hiburan, Ali ikut mencari penghidupan. Adegan demi adegan ini merupakan bagian dari film teater berjudul Bunga Semerah Darah.
Film yang menggabungkan adegan di panggung dan nonpanggung ini ditayangkan perdana di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat, 11 November lalu. Sebelum pemutaran film, dibacakan sajak-sajak W.S. Rendra oleh para aktor yang terlibat dalam film. Film produksi kolaborasi Borobudur Writers and Cultural Festival dan Teater Baling-Baling yang didukung Djarum Bakti Budaya ini selanjutnya bisa ditonton di kanal YouTube Indonesia Kaya.
Proses syuting film teater Bunga Semerah Darah. Dok. TIM BTS Bunga Semerah Darah
Naskah teater Bunga Semerah Darah pernah dicetak oleh Merak Press yang dikelola anggota Bengkel Teater, Edi Haryono, yang membukukan karya-karya WS Rendra sejak 1950-an hingga akhir hayatnya. Iwan memilih naskah ini karena menurut dia aktual. “Situasi saat naskah ini dibuat Rendra adalah TBC (tuberkulosis) menjadi penyakit yang menyusahkan karena sangat mudah menular. Saat itu pun belum ada obatnya sehingga banyak orang meninggal, terutama orang-orang miskin yang tidak punya biaya berobat atau perawatan,” kata Iwan.
Menurut Iwan, meski Rendra membuat naskah ini saat masih duduk di kelas III sekolah menengah pertama, isinya sudah sangat kritis. “Mas Willy—sapaan W.S. Rendra—peka terhadap masalah sosial si kaya dan si miskin, kemiskinan yang menjerat rakyat,” tutur Iwan, murid Rendra. “Saya membaca itu kok sama dengan keadaan sekarang dengan Covid, yang cepat menular dan obatnya susah.” Iwan melihat banyak orang miskin luput dari bantuan pemerintah karena masalah administratif, seperti soal kartu identitas dan domisili.
Naskah Bunga Semerah Darah juga dinilai sangat filmis. Untuk kebutuhan film teater, Iwan mengandalkan juru kamera Gunung Nusa Pelita dengan angle statis dan tinggi. Dengan begitu, mata kamera mewakili mata penonton teater. Dia juga mengarahkan pemain untuk bermain blocking dan pergerakan. “Kami membayangkan orang nonton teater matanya satu arah ke panggung.”
Menurut Sudibyanto, adik kandung Rendra, semasa SMP Rendra erat bergaul dengan anak-anak kampung. Hal itu turut membentuk kepribadian kerakyatan Rendra remaja. Sudibyanto mengungkapkan, ia mendapat cerita dari ayah, ibu, enam saudara perempuannya, dan Rendra sendiri tentang kehidupan Rendra di Solo, Jawa Tengah, pada masa SMP hingga sekolah menengah atas. Usia Sudibyanto terpaut 11 tahun dari Rendra. Ia mengenang Rendra sebagai kakak yang penyayang, penuh perhatian, tapi juga keras. Contohnya, ia malah dihukum berdiri di besi tempat tidur ketika menangis. “Saya disuruh menyanyi. Kalau masih nyanyi sambil sesenggukan, belum boleh turun dari hukuman.”
Pada saat SMP-SMA, Rendra sudah aktif menulis, membuat cerita pendek, sajak, dan naskah untuk dipentaskan. Sebenarnya ia memulai aktivitas ini sejak duduk di sekolah dasar. Ia gemar menulis. Sepertinya ia mempunyai bakat seperti eyangnya, Sosrowinoto, seorang pujangga Keraton Yogyakarta. “Kata Eyang kegiatan menulis, mengarang ini seperti pujangga. Dibilang pujangga itu rohnya masyarakat, badannya urusan pemerintah,” ujar Sudibyanto kepada Tempo, Rabu, 16 November lalu. Mendengar itu, Rendra kecil makin senang menulis. Banyak karya tulisnya. Salah satunya naskah Bunga Semerah Darah, yang kemudian dipentaskan. Meski saat itu ia baru berusia empat tahun, Sudibyanto mengaku masih ingat menonton pertunjukan tersebut. Rendra berperan sebagai Ali.
Rendra kecil mendapat didikan yang keras dari ayahnya, Sugeng Brotoatmodjo, seorang guru sekolah Katolik dan sekolah petang di Solo. Sugeng menghendaki semua anaknya mengutamakan pendidikan yang baik. Ia kurang menyukai hal-hal yang berbau feodal. Namun mereka tak dapat mengingkari kehidupan sebagai ningrat, kerabat keraton dari trah Suryaning Alogo.
Vonny Anggraini (kiri) dan Jose Rizal Manua membacakan puisi karya W.S. Rendradi Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11 November 2022. TEMPO/MAGANG/Vhina Noviyanti
Eyangnya, Sosrowinoto, menginginkan Rendra mendapat pendidikan ala kesatria dengan adat istiadat Jawa. Tapi sang ayah menghendaki pendidikan Belanda, pendidikan nasional. Rendra mengikuti perintah ayahnya, tapi eyangnya menempatkan seorang guru untuk mengajarkan ilmu Jawa. Guru ini bernama Janadi, yang ikut tinggal di rumah loji. Dialah yang bertugas memperkuat ilmu Jawa, meditasi, dan kebatinan Rendra.
Mereka tinggal di loji yang luas, tak jauh dari rumah penduduk kebanyakan. Di depan rumah mereka di Jalan Baluwarti Kulon, Solo, terdapat rumah tukang patri dan rumah juragan becak yang menampung beberapa tukang becak anak buahnya. Rendra sejak kecil hingga remaja lebih banyak bergaul dengan anak-anak Kampung Gajahan. Ia senang bermain layang-layang hingga kamarnya penuh layang-layang hasil adu sangkutan. Rendra pun bermain sepak bola bersama mereka di Alun-alun Kidul sebagai kiper. Dia juga aktif mengikuti kegiatan kepanduan atau pramuka.
Sudibyanto bercerita, ayahnya membakar semua layang-layang Rendra agar ia tidak kebanyakan bermain dan serius belajar. “Ini salah satu konflik Mas Willy dengan Bapak,” ucapnya. Kalau sedang marah kepada ayahnya, Rendra sering minggat ke rumah Bakdi Sumanto atau D.S. Mulyanto. Tapi, saat sang ayah masih mengajar, Rendra pulang untuk sekadar makan, kemudian pergi lagi. Kesukaan Rendra menulis berkembang pada masa SMP-SMA. Setiap kali digelar pentas seni pada saat kenaikan kelas, dia selalu tampil dengan karya-karyanya.
Pada saat SMA, ia pun aktif di Himpunan Budayawan Surakarta. Pergaulannya dengan seniman dan budayawan meluas. Buku-bukunya pun makin banyak di kamarnya. Ia juga rutin menjadi pembawa acara di RRI Surakarta membahas acara seni budaya. Selain itu, ia rajin mengirim tulisannya ke media-media di Jakarta. Pernah suatu saat Hans Bague Jassin datang ke rumahnya dan membuat ayahnya heran. Bahkan di masa SMA ia sudah sering mondar-mandir Solo-Bandung-Jakarta, bergaul dengan para seniman dan dramawan. Kendati sering berkonflik, ayahnya amat menyayanginya. Rendra dibelikan mesin tik saat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Hal itu membuatnya makin gemar menulis.
Selain mendapat bakat menulis dari sang kakek, ia mewarisi kemampuan sang ayah. Setiap kali Natal tiba, bersama kelompok parokinya ia mengadakan pentas teater. Ia menjadi sutradara sekaligus berakting. Rendra pun sempat membuat pementasan di kampung.
Adapun Bunga Semerah Darah ciptaan Rendra diangkat Iwan Burnani dalam format film teater. “Sebanyak 50 persen adegan menggunakan panggung Teater Kecil, 50 persen adegan syuting di luar,” tutur Iwan.
Tantangan utama membuat film teater yang menggabungkan panggung dan adegan luar, menurut anggota Bengkel Teater sejak 1972 ini, adalah mensinkronkan adegan di luar dan di atas panggung. Yang menarik, dalam beberapa adegan Iwan menampilkan suasana kursi-kursi penonton Teater Kecil yang kosong melompong.
Pada awal adegan film, pemeran utama Vonny Anggraini, misalnya, disorot duduk di panggung dengan latar belakang suasana interior Teater Kecil. “Itu untuk memperlihatkan penonton bahwa unsur teater dalam film ini masih kuat. Penonton harus sadar bahwa separuh adegan film ini dibuat di panggung,” kata Iwan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo