Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Suara Lantang Dialita

Kelompok paduan suara Dialita mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta. Beranggotakan eks tahanan politik peristiwa 1965.

20 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu, di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, tembang “Salam Harapan” dan “Ujian” kembali bergema. Kelompok paduan suara Dialita menyanyikan kedua lagu ini dengan syahdu. Lagu-lagu itu mengingatkan pada perjuangan para perempuan penyintas dan keluarga korban peristiwa 1965 untuk bertahan hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua lagu itu adalah ciptaan tahanan politik 1965. “Salam Harapan” diciptakan Murtiningrum dan dinotasikan Zubaidah Nugtjik R.A. Lagu itu tercipta di penjara Bukit Duri, Jakarta, pada 1967. Adapun lirik lagu “Ujian” dibuat oleh Siti Jus Djubariah, juga sebagai penyemangat ketika mereka ditahan di penjara Bukit Duri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkebaya merah dan berkain, mereka menyanyi di hadapan para undangan yang memenuhi ruangan. Panggung itu menjadi saksi torehan tinta emas prestasi para ibu anggota Dialita. Kelompok paduan suara yang berdiri pada 4 Desember 2011 ini meraih penghargaan Akademi Jakarta 2022 dalam kategori kelompok/komunitas atas sumbangsih pada dunia seni dan kemanusiaan. 

“Dialita adalah suara perempuan yang melantangkan ingatan dan peringatan agar bangsa Indonesia belajar dari masa lalu untuk lebih bijak mengelola perbedaan, dan berhenti melakukan kekerasan atas tubuh pertiwi,” ujar Melani Budianta, anggota Akademi Jakarta, saat membacakan narasi penghargaan, Rabu, 16 November lalu. Seno Gumira Ajidarma, Ketua Akademi Jakarta, menyerahkan penghargaan itu.

Melalui nyanyian, mereka melakukan upaya rekonsiliasi atas peristiwa 1965 yang dilalui oleh mereka atau keluarga mereka dengan pedih. Sebagian harus dipenjara tanpa pengadilan. Ada juga yang keluarganya tercerai-berai, bahkan kehilangan orang-orang tercinta.

“Bagi kami, bernyanyi itu upaya memulihkan luka batin, bermusik itu menguatkan, menyanyikan lagu-lagu karya dari balik jeruji besi sebagai penghormatan dan cinta kasih kepada orang tua kami,” ucap Uchikowati, ketua kelompok Dialita, saat menerima penghargaan. Mereka gembira mendapat penghargaan pertama dari lembaga di Indonesia.

Upaya pemulihan dan perdamaian dengan masa lalu lewat nyanyian ini pula yang mengantar mereka meraih The Special Prize Winner of the 2019 Gwangju Prize for Human Rights dari May 18 Memorial Foundation, Korea Selatan, pada 2019. Yayasan ini menilai aksi saling dukung itu bukan sekadar upaya menyembuhkan diri. Lagu-lagu mereka juga menyampaikan pesan damai dan solidaritas serta harapan sehingga bisa mendidik bangsa ini, khususnya kaum muda, tentang masa lalu yang dilupakan.

Dialita, yang merupakan akronim Di Atas Lima Puluh Tahun, bermula dari sekadar kegiatan penggalangan dana oleh anak-anak perempuan mantan tahanan politik yang sudah berusia 50 tahun ke atas. Saat berkumpul dan berkegiatan, biasanya mereka bernyanyi. Kebiasaan itulah yang mendorong mereka membentuk kelompok paduan suara yang mulanya hanya beranggotakan 11 orang. Mereka mengajak Martin Lapanguli, lulusan sekolah musik di Yogyakarta yang pernah dibuang ke Pulau Buru, Maluku.

Kebersamaan mereka disatukan oleh nasib sebagai penyintas dan korban peristiwa 1965. Dua anggota Dialita, Utati dan Mudjiati, pernah merasakan dinginnya penjara Bukit Duri sebelum dipindahkan ke kamp Plantungan di Kendal, Jawa Tengah. Anggota lain adalah anak-anak eks tapol yang mendapat stigma dan diskriminasi serta kehilangan orang tua. Selain itu, ada mantan anggota Ansambel Gembira yang terkenal pada 1960-an dan sering diundang ke Istana Negara, seperti Elly Runtu, Tuti Martoyo, dan Hartinah.

Awalnya mereka menyanyikan lagu populer dan nasional. Tapi kemudian Utati, Mudjiati, dan Sudiyami mengumpulkan lagu-lagu yang diciptakan saat berada di tahanan. Di antaranya “Salam Harapan”, “Indonesia Jaya”, “Tetap Senyum Menjelang Fajar”, “Ibu", “Ujian”, “Buruh Wanita”, dan “Relakan” yang diciptakan di penjara Bukit Duri. Dari Plantungan tercipta lagu “Taman Bunga Plantungan”, “Kabut Putih”, “Tanu Menggugah Hati”, dan “Aku Percaya”. Ada pula lagu yang tercipta dari penjara laki-laki di Salemba, Jakarta; dan Pulau Buru.

Seiring dengan perjalanan lebih dari satu dasawarsa, Dialita telah menciptakan dua album, yaitu Dunia Milik Kita (2016) dan Harapan Kita (2020). Perjalanan paduan suara Dialita juga tertuang dalam film dokumenter Bangkit dari Bisu karya Shalahuddin Siregar pada 2016 dan Lagu-lagu untuk Anakku pada 2022. Dalam acara penyerahan penghargaan itu, mereka menghadiahkan dua album kepada Akademi Jakarta yang diterima Ratna Riantiarno.

PIKRI RAMADHAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus