FILM Tjoet Nja' Dhien (TND) adalah potret sejarah, juga sebuah puisi bagus. Riset yang teliti, pakaian dan properti yang detail dan akurat, gambarnya sempurna, editingnya prima. TND bukanlah "film" risalah perang, tetapi karya kesenian. Perang Aceh dimulai setelah ultimatum Belanda, Rabu 26 Maret 1873. Ketika ekspedisi pertama, Jenderal J.H.R. Kohler, yang memimpin 7.500 serdadunya, pada 15 April 1873 tewas di depan Masjid Baiturrahman Banda Aceh, 8 hari setelah ia di sana. Waktu itu bertakhta Sultan Mahmudsyah yang berusia 17 tahun. Perang telah membuat Tjoet Nja' Dhien (lahir pada 1857) teguh dengan keyakinannya. Masa kecilnya tak tercermin di dalam film itu. Ia anak ketiga dari Teuku Tjhik Nanta Setia, yang diangkat Sultan Sulaiman Iskandarsyah menjadi uleebalang VI Mukim dari Sagi XXV, Aceh Besar. Suaminya, Teuku Ibrahim Lam Nga, seorang panglima, tewas 29 Juni 1878. Janda muda ini tak bermaksud menikah lagi, kecuali bila ada pemuda yang mampu membalas kematian Teuku Ibrahim. Teuku Umar kemudian muncul di hati Tjoet. Mereka menikah pada tahun itu juga. Padahal, Teuku Umar sudah menikah dengan Tjoet Nja' Alooh binti Teuku Maharaja di Lhokseumawe. Alooh adalah kemanakan Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima tertinggi angkatan perang Aceh. Dalam film tak terinformasikan ihwal Tjoet Gambang. Apakah gadis ini anak dari hasil perkawinan Tjoet Nja' Dhien dengan Teuku Ibrahim atau dengan Teuku Umar. Teuku Umar, sebelum tewas, berpesan agar Gambang menikah dengan seorang anak Teungku Tjhik Di Tiro. Kisah tak cepat mengalir ke fokus Tjoet Nya' Dhien. Sutradara Eros Djarot memberi porsi berlebih untuk Teuku Umar, yang menyerah kepada Belanda, 30 September 1893 -- kemudian digelari "Johan Pahlawan" oleh Jenderal Deijkerhoff. Tapi 29 Maret 1896 Teuku Umar aneuk Meulaboh itu kembali bergabung ke tengah pasukan Muslimin di dalam rimba. Dan itu semua, atas bujukan Tjoet sendiri yang sangat benci pada "kaphe". Karena pengkhianatan Teuku Leubee, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar tewas di Suak, Ujong Kalak. Mayatnya dilarikan lasykarnya, lalu dikebumikan di Mon Tulang, di udik Meulaboh, Aceh Barat. Leubee -- yang dikawal marsose -- menebus perbuatannya itu di ujung rencong Tjoet Nja' Dhien, dalam satu sergapan ketika ia hendak ke Kutaraja. Seandainya tentang Teuku Umar dipadai hanya sebatas "catatan kaki" melalui beberapa flashback, kisah tentu tidak terasa mendua dalam satu film. Sebab, tentang Teuku Umar, bisa menjadi sebuah film lain. Demikian pula dengan adegan Belanda, porsinya juga terasa berlebihan. Kecuali yang dramatik -- sebagai gambaran keseluruhan tentang perang yang ganas dan panjang itu -- antara lain 561 penduduk, termasuk wanita dan anak-anak, dibunuh. Pembantaian pada Juni 1904 di Kota Reh, Aceh Tengah, itu dilakukan oleh Van Daalen. Yang hidup cuma si cilik Agam. Ia diselamatkan oleh penyair ke tempat persembunyian Tjoet, yang menggantikan almarhum suaminya memimpin pasukan. Dalam film ada penyair, tokoh sisipan. Dia bagai si pembanyol, seperti dalam kisah Robinhood atau Sinbad. Padahal, hampir di setiap rumah tangga Aceh ada penyair, karena ada hikayat, tembang, amsal, dan satir. Penyair itu ibu-ibu. Ia telah senyawa dalam tradisi sastra lisan -- perempuan yang tidak cuma "penghubung" riwayat. Penyair, perempuan-perempuan itu, narator dalam sejarah hidupnya, yang alami. Apa kala sutradara menampilkan penyairnya sejak awal, sesungguhnya ia terkait utuh sebagai pembawa narasi atau penjalin dalam strory line pada TND. Penyair bukan cuma tempat saluran ekspresi dan suara hati perempuan bangsawan ini, namun sebagai penggelinding cerita, sehingga lebih mengalir ke fokusnya. Bayangan kita: adegan pembukaannya yang siluet itu diteruskan dengan munculnya si penyair menembangkan Didong di atas bukit bersama kornya itu. Lalu diisi musik yang excellent dari Idris Sardi. Sebelum memimpin perang -- seperti dipidatokan Teuku Umar -- Tjoet juga mengingatkan para Bunda yang lain agar mereka mendendangkan anaknya dalam ayunan, dengan syair atau melagukan Hikayat Perang Sabil karangan Teungku Tjhik Pante Koeloe. Hikayat ini telah membangkitkan keyakinan para lasykar untuk berperang fisabilillah dan mencari mati syahid. Hikayat ini, bersama Hikayat Kompeni yang ditulis Do Karim, kata Profesor Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda, ibarat dinamit raksasa yang tak terkendalikan. Tenaga penggeraknya lebih hebat dari dentuman meriam marsose. Lalu dalam bukunya De Atjehers, Snouck mencatat: "Aceh itu fanatik dan mereka terkenal karena siasat tipunya." Dan jangan lupa. Tjoet sebagai seorang ibu, juga penyair. Dengarkan ia berdendang: Dokuda idi, dokuda idang/ Seulayang blang putoh taloue/ Rayeuek aneuk bah beureujang/ Jak tulong prang bila nanggroeu/ Rayeuek sinyak banta sidi/ Jak prang sabi bila agama. Artinya, Dodoi di dodoi, tidurlah sayang/ Layangan di sawah putus talinya/ Besarlah anak lekaslah sayang/ Ikut berperang membela negeri/ Wahai anak cepatlah besar/ Berperang sabil membela agama. Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini