TJOET NJA' DHIEN Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir Skenario & Sutradara: Eros Djarot APAKAH film Tjoet Nja' Dhien bercerita tentang kepahlawanan, atau tentang perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara? Pertanyaan ini timbul karena untuk bercerita semata-mata tentang kepahlawanan Dhien, adegan perang yang kolosal, dan sistem Dolby Stereo agaknya bukanlah keharusan yang mutlak. Mengapa? Sederhana saja masalahnya. Kepahlawanan Dhien baru menyata dan mengkristal dalam perang gerilya yang dipimpinnya, bukan dalam perang terbuka yang frontal dan menuntut penyajian kolosal. Perang gerilya Dhien dengan strategi berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang -- sebenarnya adalah tema yang tidak kurang pekat untuk digarap. Didampingi putri tunggalnya, Tjoet Gambang, entah berapa ratus kilometer yang ditempuh wanita luar biasa ini -- selama lebih kurang lima tahun -- menyeberang dari kampungnya di Lam Padang, menuju Meulaboh, dan berakhir di Beutong. Dan semua itu dilakukan di bawah ancaman pengejaran tentara kaphe Belanda, yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, kekuatan pasukan dan logistik. Andaikan tema itu, misalnya, bisa diperkuat dengan bahan-bahan sejarah, niscaya kisah kepahlawanan Dhien akan lebih kaya, biarpun tentu, kurang bergelora dan kurang darah. Kontak-kontak senjata dengan taktik hit and run yang khas gerilya tentu kurang menggugah. Visualisasi semacam inilah agaknya yang mau dihindari sutradara Eros Djarot. Ia pada dasarnya ingin mengagungkan Dhien, tapi pada saat yang sama berusaha memberi bingkai sejarah yang gegap gempita untuk kepahlawanan wanita bangsawan ini. Maka jadilah sebuah film spektakuler, berkisah tentang Perang Aceh dengan kepahlawanan Dhien sebagai tema pokok. Bila ditilik lebih tajam, sebenarnya ada dua tema yang diangkat bersama-sama: satu episode Perang Aceh (1873-1904) dan profil Tjoet Nja' Dhien. Tema ganda ini membawa konsekuensi tersendiri: peta dan proses perang menjadi kurang jelas dan fragmentaris, sementara pribadi Dhien kurang tergali. Tak ditemukan cuplikan dari masa kecilnya, katakanlah misalnya momen-momen penting saat ia dibesarkan di sisi seorang ayah yang juga pejuang ternama: Panglima Nanta Setia. Juga tidak terkilas bagaimana corak hidupnya ketika Teuku Umar, suami kedua selama tiga tahun menyeberang ke pihak musuh, dengan tujuan mencuri senjata dan mempelajari siasat perang Belanda. Singkatnya, informasi disajikan terbatas, hingga pemahaman penonton tentang Dhien juga terbatas. Kalaupun semua itu bisa disebut sebagai cacat, maka bagaikan torehan tipis, cacat itu hampir-hampir tak kentara. Sebagian besar kekuatan film ini terutama ada pada suasana yang secara bersama-sama ditunjang oleh pemotretan (George Kamarullah), musik (Idris Sardi), dan penyuntingan gambar (Karsono Hadi). Kendati proses perang Aceh tak terungkap dengan baik, editing yang cermat telah menyajikan jalan cerita yang acap kali membuat penonton menahan napas. Mereka melihat sosok perang yang lain. Musik yang membawa getaran magis, obor-obor yang bergerak semakin cepat dan semakin banyak, kelewang (pedang) yang berkelebatan. Dramatis. Belum lagi adegan dengan teknik gerak lambat, yang melukiskan kebiadaban pasukan Van Dalen di sebuah kampung di Tanah Gayo. Di sini ritme cerita sedemikian terpelihara, hingga dalam adegan slow motion pun, ritme itu mengalami sinkronisasi yang pas. Tak ada ekspresi kengerian atau putus asa -- seperti yang, misalnya, dengan artistik sekali digoreskan oleh Goya dalam lukisannya Tiga Mei -- namun adegan pejuang yang roboh, disusul wanita dan anak-anak yang berlari, tapi juga kemudian roboh, telah amat mencekam. Gambar-gambar yang bisu itu seakan melukiskan kengerian dan kesakitan, tanpa satu wajah pun -- disorot khusus. Namun, terasa sapuan Goya hadir di sana, lewat bidikan kamera dan gunting editor. Di balik itu semua, tentulah gagasan dan kreativitas sang sutradara yang menentukan. Simak saja dialog dan pidato Teuku Umar -- diperankan dengan baik oleh Slamet Rahardjo Djarot yang dengan alasan artistik terucapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Aceh campur aduk. Mungkin bagi telinga pribumi Aceh sesekali terkesan janggal, tapi penonton lain menerimanya sebagai hal baru, yang asing namun tidak mengganggu. Eksperimen itu melatih penonton untuk menerima adanya warna lokal, unsur yang memang terbawa dalam eksistensi kita sebagai bangsa. Hal lain yang juga eksperimental adalah menampilkan seorang penyair (Ibrahim Kadir) sebagai tokoh antagonis buat Tjoet Nja' Dhien. Terlepas dari tokoh ini fiktif atau tidak, kehadirannya dipertanyakan. Terkadang ia arif bijaksana, tapi lebih sering tampak konyol. Suatu saat ia mencela perang, tapi kali lain ia berkata, "Tjoet Nja' harus tetap hidup." Celotehnya acap kali membingungkan, hingga bagi Dhien ia merupakan lawan dialog yang serba tanggung, sementara bagi yang lain mirip pelipur lara yang menjengkelkan. Ada kesan, kehadiran penyair dipakai hanya untuk lebih menonjolkan kebesaran Dhien. Fungsinya sama dengan pedagang senjata dan dua pengkhianat: Teuku Leubee dan Fatma. Mereka bukan orang bodoh, tapi oportunistik. Begitu pula dua tentara Belanda, Voorneman dan Veltman (Rudy Wowor dan Roy Hadyanto Karyadi memerankan dengan pas kedua tokoh itu). Mereka hanya dua sekrup dari mesin perang kolonialis Belanda. Orang-orang semacam ini memberi dimensi manusiawi yang negatif, sementara Dhien begitu sempurna. Tapi Eros cukup jeli untuk tidak "mendewakan" Dhien. Dengan melanjutnya usia, wanita yang tangguh ini mengalami erosi mental. Ia tidak bisa tegas terhadap pengkhianat seperti Fatma, ia juga bersikap mendua terhadap Perang Fisabilillah. "Akhirnya kita hanya saling bunuh," cetusnya suatu kali, ketika mendengar bahwa pasukannya berhasil membantai sejumlah besar marsose Belanda. Ada erosi tipis pada Dhien, sementara erosi yang lebih fatal menimpa Pang Laot (dimainkan dengan sangat baik oleh Pietradjaj Burnama). Tokoh yang selama bertahun-tahun menjaga keselamatan Dhien ini akhirnya menyerahkan sang pahlawan begitu saja ke tangan Kapten Voorneman, dengan membocorkan tempat persembunyiannya. Alasan Pang Laot: kondisi fisik Dhien -- buta dan digerogoti encok -- sudah terlalu parah. Film besar ini diakhiri dengan sebuah adegan besar, yang sulit dilupakan. Christine Hakim telah menghidupkan adegan penangkapan Dhien dalam kemampuan akting yang tidak ada duanya. Posisinya yang membungkuk, ekspresi wajah yang sulit ditebak, dikir yang seakan-akan begitu responsif terhadap penjelasan Pang Laot, dan tusukan rencong yang cepat dan begitu tiba-tiba. Disusul ledakan amarah seoran panglima perang. Itulah Dhien, tak bisa lain. Film ini berakhir ketika rombongan tandu yang membawa sang pahlawan bergerak saat hari mulai gelap. Di layar ada memo penutup: Tjoet Nja' Dhien wafat tahun 1906 di Sumedang, jauh dari tanah dan rakyat Aceh yang sangat dicintainya. Eros Djarot telah menghidupkan kisah kepahlawanan ini dalam ungkapan keimanan seorang muslim yang kental, dan tekad baja yang tak pernah pudar. Sedangkan Perang Aceh, yang menjadi pentas untuk Dhien, hanya terangkat secara nyata dalam esensinya -- sebagai perang melawan kaphe (Belanda) dan membela tanah air. Perang itu sendiri tak bisa dibandingkan dengan perang mana pun di Indonesia berlangsung paling lama (30 tahun), menewaskan puluhan ribu manusia, dan menguras sampai ke dasar dana pemerintah Hindia Belanda. Kalau saja Eros melengkapi filmnya dengan sedikit narasi dan petunjuk pada peta, denyut perang tentulah akan lebih terasa. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini