FAJAR merayap di ufuk timur Amerika. Satu lagi jerit sirene polisi dan senjata api yang menyalak dari balik reruntuhan gedung. Satu lagi kantung "serbuk malaikat" untuk menghadapi hari-hari kelabu. Satu lagi dolar. Satu lagi mayat di lorong sepi. Bagi Amerika, perang tidak berakhir dengan kemenangan di negeri orang. Bagi ribuan pemudanya yang kembali dari gurun, pulang ke kampung halaman berarti kembali ke alam yang lebih tandus: pengangguran, obat bius, dan kekerasan di beranda rumah. Pada 1990, 23.000 orang diperkirakan terbunuh di Amerika, sementara 1,1 juta lainnya mendekam di balik kerangkeng penjara. Obat bius, crack, mungkin biang keladinya. Juga peredaran senjata api yang jumlahnya kini sekitar 150 juta. Tapi ini cuma simptom kanker yang menggerogoti masyarakat Amerika "Angka kriminalitas meningkat ketika kontrol sosial -- ikatan keluarga, kawan, dan agama -- semakin rapuh," ujar ilmuwan sosial. Kekerasan Melahirkan Kekerasan "Kriminalitas adalah pilihan rasional bagi pemuda yang tidak punya keterampilan dan tidak mempunyai pekerjaan," kata Ronald Allen, seorang ahli hukum di AS. Pengelompokan kelas sosial memperkuat kecenderungan ini. Perumahan di Chicago, yang 40 tahun lalu direncanakan sebagai sarana murah bagi buruh kulit hitam, kini menjadi sarang kokain dan senjata api. Di sini, para bocah dipaksa masuk gang dan mencontoh kakak-kakaknya. Di New York, lima ribu polisi khusus ditugaskan di tempat-tempat rawan antara lain, di kereta bawah tanah. Namun, keterbatasan tenaga sering mengakibatkan penegak hukum bertindak terlalu keras. Fotografi: Gamma dan Magnum Teks: Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini