MOZART adalah sebuah kedahsyatan. Namanya bagai sebuah meteor yang melejit sendirian dalam periode musik klasik Eropa. Tapi nama itu juga identik dengan tragedi dan misteri. Dua ratus tahun silam, jenazah komponis besar kelahiran Salzburg, Austria, itu tercampak di antara enam jenazah orang kampung. Ia dikubur di pemakaman kelas tiga, tanpa upacara, tanpa air mata. Bahkan tanpa kehadiran Constanze, istrinya. Hingga kini, tak ada yang pernah tahu mengapa komponis akbar itu harus mengembuskan napas terakhir di usia 36 tahun. Kini, 200 tahun kematiannya diperingati di berbagai sudut dunia, termasuk Indonesia. The Marriage of Figaro Overture, pengantar opera Mozart yang terkenal, telah menaklukkan pengunjung Hotel Hilton Jakarta dua pekan lalu. Dimainkan oleh Orkes Kamar Nusantara, pertunjukan ini diselenggarakan Yayasan Nusantara Jaya dan PT Caltex Pacific Indonesia, bekerja sama dengan Kedubes Austria. "Ternyata, banyak sekali penikmat musik Mozart di Indonesia. Saya sangat gembira dengan antusiasme dan penghargaan mereka," ujar Astari Rasyid, yang mewakili PT Caltex sebagai sponsor. Goethe Institut bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Rusia di Jakarta tak kalah dalam merayakan 200 tahun kematian Mozart. Sejak Februari silam hingga akhir pekan ini, mereka memutar Festival Film Opera yang menggelarkan karya komponis besar macam Beethoven dan Tscaikowskij. Dan puncaknya tiga musik opera Mozart The Magic Flute, The Marriage of Figaro dan Die Entfuhrung aus dem Serail (The Seraglio). Kedubes Austria di Jakarta pertengahan Mei nanti mendatangkan Pro Musica Orchestra dari Salzburg yang akan membawakan karya Mozart. Siapakah Mozart? Ia lahir 27 Januari 1756 di Salzburg. Wolfgang Amadeus Mozart lahir dalam keadaan lemah dan ringkih. Namun, ketika ia berusia tiga tahun, Leopold Mozart terkesiap melihat mata putra bungsunya yang membelalak mendengar alunan piano dan biola. Begitu Mozart kecil pandai berceloteh, Mozart tua yang juga seorang musikus gereja segera mengajarkan chord-chord musik. Dan yang terjadi adalah keajaiban. Si mungil Mozart yang masih duduk di atas bantal agar jari-jarinya bisa mencapai tuts harpsichord membuat semua bangsawan Salzburg terpana. Dalam usia lima tahun ia sudah mulai mengarang beberapa komposisi yang cemerlang dengan berbagai instrumen musik. Setahun kemudian, ayahnya sudah menggiringnya keliling Eropa untuk "memamerkan" keajaiban anak bungsunya itu. Pada usianya yang ke-14, Mozart menciptakan musik opera tragedi Mitridate, re di Ponto. Peran ayahnya memang sangat dominan dalam perjalanan kreativitas Mozart. Dalam film Amadeus, Milos Forman dengan cermat menggambarkan kekerasan karakter ayah Mozart. Forman berhasil memperlihatkan sisi tragedi dan kehidupan Mozart. Melalui narasi Salieri (diperankan M. Abraham yang mendapat Piala Oscar) kita melihat pertunjukan musik Mozart dari satu kota ke kota lain, dari istana Raja George III di Inggris hingga istana Baginda Louise XV di Prancis. Karya Mozart mengalir deras. Puluhan komponis di zamannya hanya terbatas membuat komposisi di dalam satu genre, Mozart mampu menggarap simfoni, konsert, kuartet, chamber orchestra, hingga opera. Berbagai kalangan bangsawan maupun musikus Eropa mengakui kejeniusan Mozart, tapi toh gaya hidup Mozart yang bohemian dan dilibat utang itu tak pernah membuat kalangan gereja menyukainya. Tahun 1785 musik opera Perkawinan Figaro lahir. Musik opera berdasarkan drama Prancis karya Beaumarchais ini adalah sebuah komedi tentang rencana pernikahan Susanne dan Figaro, dua pelayan Pangeran Almaviva yang dirintangi tuannya sendiri. Sukses ini disusul berbagai musik opera yang lain, seperti Don Giovanni. Namun, yang paling mengagumkan adalah The Magic Flute, yang dikarangnya saat-saat sebelum kematiannya. Opera yang pernah diproduksi dan disutradarai oleh Ingmar Bergman itu adalah sebuah kisah tentang bagaimana kejahatan ditumbangkan oleh kebaikan. Bergman mungkin satu di antara sedikit pembuat film opera yang berhasil menerjemahkan musik Mozart dengan sempurna. Bergman bukan sekadar memfilmkan opera yang tengah berlangsung di atas panggung, tapi ia berhasil memvisualkan musik Mozart dengan bahasa film yang puitis. Ada cahaya pagi yang memantul di atas air, suara burung sayup-sayup dan kita dientak oleh overture yang dahsyat. Lalu duet Pangeran Pamino yang tampan dengan Tamima yang cantik atau nyanyi dengki si Ratu Malam yang mencekam. Sayang, Mozart keburu mengembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan karya agung ini. Tanggal 5 Desember, 200 tahun yang lalu, komponis besar itu wafat dengan meninggalkan 600 karya musik. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini