POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT BADUY Oleh: Djoewisno M.S., 190 hal. Rp 10.000 Penerbit: Cipta Pratama Adv. pt., 1987 BEBERAPA tahun yang lalu seorang utusan masyarakat Baduy menemui Presiden Soeharto untuk membicarakan tapal batas perkampungan mereka yang bergeser didesak masyarakat luar. Ia datang ke Jakarta apa adanya. Mengenakan pakaian hitam, bertelanjang kaki, lewat Jalan Thamrin dengan penuh harga diri. Tak merasa rendah dikepung gedung-gedung dan lalu lintas. Baduy adalah suku bangsa yang tahan terhadap pengaruh luar. Agaknya, ini kuat kaitannya dengan asal-usul mereka, yang menurut cerita rakyat adalah sisa-sisa punggawa Kerajaan Pajajaran yang terpaksa mundur didesak masuknya Islam ke tanah Jawa. Buat Baduy, yang bermukim di daerah Banten itu, musuh terbesar adalah dunia luar. Upacara adat Kawalu, yang berlangsung sangat panjang, mencerminkan sikap ini. Untuk upacara itu, seluruh kawasan dinyatakan tertutup, dan berlangsunglah "pembersihan sebagai standar ketaatan terhadap kepercayaan yang diyakini". Seluruh kampun harus bersih dari "serangan luar" dalam bentuk perabotan, perhiasan, dan pakaian buatan pabrik. Yang melanggar diadili, dan hukum adat ditegakkan. Sikap mengasingkan diri dan ingin hidup seadanya dari suku Baduy ini jadi menarik buat mereka yang tak bisa menahan rasa ingin tahun. Beberapa sarjana Barat pernah mengadakan perjalanan ke sana. Sedangkan potret Baduy yang ditulis bekas wartawan Aktuil ini, yang datang dengan semangat ingin menyelidik yang berapi-api, agaknya sajian yang boleh jadi cukup menarik. Terutama kalau diingat ia berhasil masuk dan menyelidiki kehidupan orang Baduy sampai ke Cikeusik, konsentrasi "orang dalam" masyarakat itu yang terlarang buat orang asing. Penulis sendiri, katanya, harus menghadapi pengadilan "Tebus Hampura" untuk pelanggaran yang dilakukannya. M.A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini