Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA hening, Senin pekan lalu, membekap Gereja Katolik Stefanus di Cilandak, Jakarta Selatan. Warna hitam mendominasi pakaian jemaat peserta misa rekuiem—misa khusus untuk doa arwah. Di bagian depan ruang utama, jenazah Ben Mang Reng Say, 75 tahun, terbujur dalam peti mati. "Bapa yang ada di surga, terimalah arwah saudara kami," ujar pastor yang memimpin misa. Usai misa, jemaat mengantar jasad Ben ke peristirahatannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Misa rekuiem hari itu terasa begitu penting. Ben Mang Reng Say adalah bekas Ketua Partai Katolik yang ikut mendirikan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)—sekarang menjadi PDI Perjuangan. Bersama beberapa tokoh lainnya, lelaki asal Nusa Tenggara Timur itu, pada 10 Januari 1973, adalah salah satu penanda tangan deklarasi pembentukan PDI—partai yang kini diklaim Presiden Megawati sebagai cikal bakal PDI Perjuangan.
Kematian Ben langsung mengingatkan orang pada sejarah perjalanan partai politik Indonesia. Dengan menggunakan Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang penataan partai politik, Orde Baru meminta partai politik menggabungkan diri (fusi). Partai yang "berideologi Islam" (Nahdlatul Ulama, Parmusi, PSII, dan Perti) pada 5 Januari 1973 melebur diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima hari kemudian, Partai Nasional Indonesia, Partai Katolik, Parkindo, Murba, dan IPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). "Kawin paksa" partai-partai itu dilakukan untuk memudahkan kontrol pemerintah terhadap aktivitas politik.
Tapi, berbeda dari fusi PPP, fusi PDI menjalani proses yang sulit dan bertele-tele. Perbedaan latar belakang dan ideologi partai nyaris menjadi batu sandungan. PNI, misalnya, dikenal sebagai partai berideologi marhaen yang didominasi kaum "abangan". Sedangkan Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia merupakan partai yang berdasar ideologi agama. Abdul Madjid, bekas Sekretaris Jenderal PNI yang terlibat proses fusi, menuturkan sempat terjadi tarik ulur kepentingan antarpartai. Komposisi pimpinan PDI, misalnya, menjadi salah satu persoalan besar. PNI, yang merupakan partai terbesar, meminta pembentukan pengurus dilakukan secara proporsional. Maksudnya: personel pengurus PDI diharapkan paling banyak datang dari PNI. Tapi Ben Mang Reng Say menolak. "Ia termasuk yang ngadalin PNI," tutur Abdul Madjid mengenang.
Fusi akhirnya terlaksana dan Ben tahu kapan harus bermain di partai dan kapan harus menjalankan peran lain dalam panggung hidupnya. Pada 1975, Presiden Soeharto mengangkat Ben menjadi Duta Besar RI untuk Portugal. Tapi tak lama: akibat "integrasi" Timor Timur ke Indonesia pada Juni 1976, pemerintah membekukan hubungan diplomatik dengan Portugal. Jakarta kemudian memindahkan Ben ke pos yang baru sebagai Duta Besar RI untuk Meksiko.
Selepas dari Meksiko, pada 1982 Ben menjadi anggota DPA dan bekerja di sana 10 tahun. Di lembaga itu nama Ben nyaris tak terdengar. Pernah ia bersama beberapa anggota DPA lainnya mengusulkan pembentukan undang-undang antimonopoli kepada pemerintah. Tapi usul itu tak berdengung. "Keluarga Cendana menolaknya mentah-mentah," kata Sabam Sirait, kolega Ben di DPA. Selanjutnya nama Ben hilang bersama senyapnya politik pada era Soeharto.
Baru ketika tragedi Santa Cruz di Timor Timur meletus pada 12 November 1991, nama Ben kembali terangkat. Untuk mengatasi tekanan internasional, pemerintah meminta Ben—bersama Hari Sugiman, Antonius Sujata, dan Clementino Dos Reis Amaral—menjadi tim penyidik tragedi yang mencoreng wajah militer Indonesia itu.
Enam bulan bekerja, Ben dkk. mengirimkan laporan yang lumayan "berani" kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka mengakui bahwa sekitar 200 orang tewas diterjang peluru ABRI saat berdemonstrasi menuntut kemerdekaan wilayah bekas koloni Portugis tersebut. Kasus ini berakhir dengan diadilinya sejumlah perwira militer dan sipil.
Rezim berganti. Ben kemudian menjadi orang yang berperan besar bagi naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi presiden. Ketika Mega ditekan oleh Soeharto dalam Kongres PDI 1996, Ben setia berdiri di belakang Mega. Ia ikut menandatangani surat yang dikirim ke Presiden Soeharto yang membela kepemimpinan putri Sukarno itu.
Ben dan kawan-kawan meminta pemerintah menghormati aturan Partai dengan tak mengintervensi proses pemilihan Ketua PDI. Mega memang terpilih menjadi ketua Partai. Tapi tak lama: berdasar tragedi 27 Juli 1996, Mega disingkirkan dan Soerjadi—pimpinan PDI dukungan pemerintah—menjadi orang nomor satu di Partai Banteng.
Pada akhir hidupnya Ben akhirnya menyaksikan bagaimana Megawati, orang yang dulu dibelanya, lalu menjadi presiden. Tuhan juga memberinya kesempatan melihat kehidupan PDIP yang penuh kisruh sebelum ia menarik napas yang terakhir kali dua pekan lalu.
Ben Mang Reng Say adalah sejarah PDI (Perjuangan) itu sendiri. Ia tutup usia di tengah konflik Partai yang belum juga mau reda.
Setiyardi, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo