Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH grand piano. Lembar partitur terbuka. Tangan renta itu menggocoh tuts. Wajah dan sosoknya tak ditampilkan. Tapi kita membayangkan, pastilah ia uzur nian: kerut-merut keriput di tangan. Inilah, antara lain, lukisan Poleng yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta, 12-24 Maret 2008.
Poleng Rediasa, 29 tahun, lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Keterampilan teknisnya tinggi. Ia mengaku mulanya mencoba berbagai aliran, lalu mantap menekuni realisme—terutama studi tubuh. Separuh lukisan yang disajikannya dalam pameran ini bertema sosok perempuan telanjang.
Ia memakai model. Tentu ia pilih yang elok. Tapi ia sadar: realisme kini bukan menampilkan obyek apa adanya. Ia berusaha menjauhi pose klise. Apalagi pose yang menimbulkan sensasi erotis. Taruhannya adalah bagaimana menampilkan ketelanjangan dengan cara baru, yang lebih estetis.
Ia memakai bantuan kamera. Dengan kamera ia menjelajahi berbagai sudut tubuh, mencari ”ceruk” yang tak lazim. Dalam perkembangan fotografi nude sendiri, ada perspektif melepaskan kamera dari tendensi voyeurisme. Kritik yang tajam adalah: dalam menghadapi obyek tubuh perempuan, fotografer laki-laki senantiasa menempatkan kamera seperti phallus.
Kamera di situ menjadi perpanjangan mata lelaki yang mengintip. Padahal tubuh telanjang sebenarnya bisa didekati tanpa menempatkan fotografer dalam struktur itu. Inilah yang akan melahirkan pencarian dimensi selain kemolekan.
Poleng agaknya tidak menceburkan diri dalam problema itu. Ia tetap menempatkan dirinya dalam posisi seorang penikmat kemolekan. Yang ditampilkannya adalah bagian yang kerap tidak disadari. Ia tampak suka puting. Dalam Estuary of Life, ia menampilkan gambar puting mencuat—yang meneteskan air.
Lihat Setangkai Kenangan. Seorang perempuan dalam posisi tergolek, diselimuti kain, yang tak menutupi dadanya. Putingnya tampak mengeras. Ada setangkai bunga merah di belahan dadanya. Gambar ini menarik karena sudut bidiknya ”aneh”, dari sudut serong atas, tanpa memperlihatkan kepala sang perempuan.
Lukisan lain tak seberhasil Setangkai. Misalnya Sudahlah Genap. Seorang perempuan tergolek di pinggir pantai, di samping gamelan—gender Bali. Atau Muara Kehidupan: seorang perempuan dengan tangan kiri memegang lingkar buah dada.
Ia juga menampilkan sosok hamil. Bulatan perut menjadi fokus utamanya. Memang diakui, karya-karya Poleng menarik, tapi sulit dicerna selain eksotisme. Ia kurang bergelut, mencari perspektif dimensi tubuh yang lain. Juga ketika ia menampilkan serangga.
Pada yang tidak telanjang ia menampilkan serangga itu menempel di jempol kaki, wajah, punggung tangan. Satu lukisannya: seorang perempuan menunduk, puting susunya mengarah ke serangga—yang hanya berfungsi sebagai aksesori.
Justru kuat ketika ia menggambar tangan-tangan renta. Selain gambar tuts piano itu, ia menyajikan lukisan sebuah tangan uzur memegang telepon seluler. Di sini ia ”memainkan” paradoksi yang kuno dan yang modern.
Pada On The Way of Fragility, ia menampilkan wajah anggun seorang perempuan berkaca mata. Di depannya menjulur selembar tangan penuh guratan. Sesungguhnya, bila ia terus mengeksplorasi ini, kita akan mendapat pemaknaan bahwa kemulusan adalah kenisbian, kerapuhan.
Poleng akan melanjutkan studi anatomi di Beijing. Ia, yang telah memiliki dasar realis kuat, tentu akan makin tergosok di sana. Beberapa pelukis Cina yang datang ke sini menyajikan kepada kita lukisan-lukisan tubuh ”yang lain”. Akan kita lihat perkembangan Poleng selanjutnya: membebaskan diri, memaknai lebih dalam, atau menyerah lagi pada kemolekan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo