Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Bali, Affandi naik becak. Di sampingnya ada pelukis Antonio Blanco, di belakangnya panorama Bali. Ya, lukisan The Game of Bali, in Memory of Affandi No. 2, karya Yu Xiaofu, bukan hanya potret sang seniman terhadap suatu pemandangan yang pernah muncul di hadapannya. Siapa pun tahu, tidak ada becak di Bali. Tapi si seniman punya otoritas penuh untuk menangkap obyek dan membuat itu menjadi ”miliknya”.
Yu Xiaofu, 55 tahun, perupa Cina yang sedang memamerkan 40 karyanya di Mercantile Club, Jakarta, 6-8 September, sangat menaruh hormat pada Affandi dan Bali. Beberapa tahun lalu ia datang ke Bali, terpesona oleh aneka panorama: gadis-gadis Bali dalam pakaian adat, figur anak-anak—semua dalam setting adat.
Dari karya-karyanya, kita juga bisa memahami, Yu Xiaofu memiliki ketajaman memori untuk menangkap obyek-obyek yang pernah melintas di depan matanya dan—tentu saja—menyentuh hatinya. Dalam Parking Lot No. 1 dan Parking Lot No. 23, ia merekam kejadian sebagaimana layaknya seorang juru foto berita. Mulanya ia melihat sepasang suami-istri tua mengamen di pinggir jalan. Lalu sebuah mobil mendekat. Suami-istri itu tentu mengira akan diberi uang. Begitu pintu mobil dibuka, ternyata seekor kucing melompat dari dalam mobil. Adegan terakhir itulah yang ia lukis.
Tapi inilah Yu Xiaofu, dan ia mendekati obyeknya dengan sikapnya yang khas. Pengamat Agus Demawan T. menyebut karya-karya Yu menghadirkan keanggunan dan keagungan. Warnanya cenderung tertier sehingga menimbulkan kesan aristrokratis. ”Ini mengingatkan saya pada karakter warna Rembrandt,” tutur Agus. Namun, Yu Xiaofu tidak cuma itu. Ada kesederhanaan yang selalu membingkai seluruh karyanya yang didominasi sosok wajah Barat.
Menurut Yu, kesederhanaan merupakan modal utama karyanya. Dia yakin benar akan pendapat penulis Prancis, George Sand. Dalam seni ada kesederhanaan, dan dalam kesederhanaan ada keindahan. Dalam filosofi kesenian klasik Cina juga dikenal istilah: dalam kesederhanaan, sang sukma lebih banyak berbicara. Mungkin karena inilah, bila melukis di kanvas lebar, ia banyak menyisakan ruang kosong.
Karya-karya Yu mengusung berbagai corak aliran Barat, mulai dari kubismenya Pablo Picasso, ekspresionisme Jerman, impresionisme Prancis, sampai aliran klasiknya Rembrandt dan Frans Hals. Dari sapuan kuasnya, ada pula unsur abstrak, juga surealis, yang nyata pada wajah obyek lukisan. Yu Xiaofu mungkin tak begitu terkenal. Tapi ada pendapat yang memposisikan dia sebagai salah satu dari sepuluh pelukis terbaik Cina.
Lima belas tahun terakhir, perkembangan lukisan Cina memang menakjubkan. Namun, embrio perkembangan itu sudah muncul sejak seperempat abad silam setelah Mao Zedong wafat (1976) dan digantikan Deng Xiaoping, yang mengemudikan kebudayaan Cina.
Dalam bukunya, Angsa-angsa Liar, Jung Chang menyebut, pertumbuhan seni lukis Cina di zaman republik berjalan merayap, nyaris terberangus. Saat itu seni lukis Cina merupakan penerus Taoisme dan Konfusionisme dengan simbol-simbol yang sudah menjadi mitos, misalnya bunga plum, kuda, atau pohon bambu.
Perubahan yang mencolok ditandai hadirnya karya Yue Minjun, Tang Zhigang, Zhou Chunya, juga Guo Wei. Kala itu seni lukis modern Cina sedang gencar-gencarnya mengusung tema sosial-politik. Tapi, ujung-ujungnya mengisyaratkan mereka sebagai pelukis yang antisosial-politik masa lalu. ”Yu Xiaofu adalah pelukis yang tumbuh pada iklim itu,” tutur Agus.
L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo