Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG Selasa pekan lalu itu, di bangsal Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, Bagong Kussudiardjo bicara tentang keinginannya untuk "pulang". Sudah enam hari ia terbaring lunglai, didera komplikasi diabetes kronis dan kelainan prostat. "Aku wis ora kuat," ujarnya seperti ditirukan Butet Kertaradjasa, anaknya nomor lima. Pukul 23.00, dokter menyatakan: koreografer dan pelukis yang sangat produktif itu sudah tiada.
Saya terakhir berjumpa dengannya Juni tahun lalu di Pelataran Djoko Pekik di Desa Sembungan, Kasihan, Bantul. Dalam temaram malam dan kerlap-kerlip lampu yang digantungkan di pohon-pohon, sosoknya bagaikan samurai tua dari zaman yang silam. Bertelekan sebatang tongkat, mengenakan sarung, dengan rambut dan janggut kelabu yang berhamburan, dia tampak lemah dan letih.
Malam itu dibuka "Pameran Jejak Langkah Seni Rupa Era 1960-an", semacam pameran "rekonsiliasi" para perupa yang pada sekitar em-pat dasawarsa lalu dibelah-belah oleh arus "ideologi". Kehadiran Bagong, 75 tahun, ketika itu, seperti menggenapi kegembiraan para perupa lain yang sempat hadir, di antaranya Edhie Sunarso, Soenarto Pr., Sudarso, Amrus Natalsya. Ketika saya menghampirinya, ia hanya menyapa ringkas, "Kamu baik-baik saja, to?"
Bagong mulai belajar melukis di ASRI Yogya. Di sana ia berguru pada Hendra Gunawan, Affandi, dan Kusnadi, kemudian bergabung dengan Pelukis Rakyat. Ketika sanggar ini merapat ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Bagong mengambil jarak. Pada 1989, ia bahkan sempat menolak ikut pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) jika pameran itu menyertakan karya para eks Lekra, termasuk Djoko Pekik.
Ia memang bukan orang yang biasa berpura-pura. Tapi ia juga tak bisa mengalahkan hati nuraninya. Belakangan, ia malah bersahabat dengan Pekik, yang kadang menemaninya bertirakat di makam leluhurnya. Di masa muda, ia punya rekan koreografer sesama orang Yogya, Bambang Sukawati Dewantara namanya. Setelah putra bungsu Ki Hadjar Dewantara ini mendekam di Penjara Wirogunan karena dituduh Lekra, Bagong "menampung" anak perempuan sang rekan berguru di padepokannya?.
"Ia pekerja keras yang dibakar dendam," kata Butet. Itulah dendam masa lalu yang berakar dari penanggungan datuknya, K.G.P.A.A. Djuminah, abang Hamengku Buwono VIII. Karena sikapnya yang anti-Belanda, putra mahkota itu dianggap gila dan dikenai "hukum kurantil", semacam pengucilan dari keraton. Bagong sang cucu kemudian merasa tersandera oleh hukum kurantil ini.
Masa kecilnya tidaklah mudah. Penghasilan ayahnya sebagai pelukis wayang dan penulis aksara Jawa di keraton tak mampu menopang kehidupan keluarga. Bagong remaja sempat bekerja serabutan: menambal ban, tukang patri, jualan koran, pengisi bahan bakar pesawat terbang di Bandara Adi Sucipto, membuat pakaian kuda, sampai jadi kusir andong. Bagong mulai belajar tari dari kakaknya, Kuswadji Kawindrosusanto, dan dari G.P.H. Tedjokusumo.
Dari pengembaraannya di berbagai sekolah tari di mancanegara, terutama pertemuannya dengan koreografer Amerika, Martha Graham, Bagong kemudian memberi sentuhan baru pada tari klasik Jawa. Ia sempat kecewa ketika putra bungsunya, Djadug Ferianto, tak serius belajar tari dan malah memilih jadi "tukang gendang". Mereka sering berbantah keras, malah sampai ke soal "ideologi". "Tapi Bapak tetap memberi kami kebebasan," kata Djadug kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.
Diiringi gending Mega Mendung dan Ayak-Ayak Tlutur ciptaannya, jenazah Bagong diantar sekitar 500-an pelayat?di antaranya G.K.R. Hemas dan Paku Alam IX?ke pemakaman keluarga di Sembungan, Gunung Sempu, Bantul. Di sana ia sudah menyiapkan liang lahatnya sejak 1998, setahun setelah istrinya yang pertama, Soetiana, wafat.
Meninggalkan ratusan karya tari dan lukisan, seorang istri?dinikahinya beberapa tahun setelah istri pertamanya wafat?tujuh anak, 21 cucu, dan dua cicit, pekerja keras yang sudah tak lagi kuat itu akhirnya memang pulang ke kampungnya yang kekal. Ia juga menyiapkan sepasang nisan yang dibelah dari sebongkah batu akik. Sebelah untuk Soetiana, sebelah lagi untuknya sendiri.
Amarzan Loebis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo