Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tokoh-tokoh yang mencari diri

Pemain : rano karno, meriam bellina, nani wijaya. cerita : eddy suhendro. produksi : raviman film. sutradara & skenario : arifin c.noer resensi oleh : leila s. chudori.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAKSI, ternyata, nama seorang anak perempuan. Tentu saja taksi juga nama kendaraan umum yang memberi Giyon (dimainkan Rano Karno) "kehidupan yang lebih ramai" daripada buku filsafat. Giyon memilih menjadi sopir taksi sebagai salah satu ungkapan protesnya terhadap kemapanan dan feodalisme. Setelah dua tahun nebeng pada tante dan omnya yang feodal -- waktu yang terlalu lama untuk pemberontak macam Giyon -- ia tak segan mengenakan seragam biru dan berputar Jakarta mengantar beragam penumpang. Pengalaman demi pengalaman dituliskan dalam bentuk surat kepada kekasihnya meski "surat-surat ini tak akan pernah kukirimkan," ucap Giyon. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Desi, penumpang aneh yang meninggalkan bayinya di taksi Giyon. Cerita mulai menarik karena misteri latar belakang Desi. Mengenal Desi (diperankan Meriam Bellina) bak memasuki sebuah labirin. Ia ditinggal kekasihnya Raymond, ketika bayi mereka baru lahir. Dalam keadaan terlunta-lunta, ia mencoba mencari pekerjaan apa saja untuk menghidupi Ita, bayinya. Itulah sebabnya ia meninggalkan Ita di taksi Giyon. Dan Giyon memeliharanya dengan kasih sayang dan menamakannya: Taksi. Nantinya, Desi menjemput Taksi dan mulai bersahabat dengan Giyon. Desi akhirnya berhasil menjadi penyanyi karbitan. Namun, ia dipaksa manajernya mengaku bahwa Taksi (atau Ita) adalah anak pungut dengan alasan agar kasetnya laku. Konflik semakin bertumpuk. Penonton diajak memasuki labirin yang lebih memusingkan. Raymond datang menjemput Taksi. Desi naik pitam dan menyusulnya bersama Giyon untuk mengambil anaknya. Film berakhir mengambang. Desi menghilang dengan anaknya, sementara Raymond dan Giyon duduk di mobil, ingin entah ke mana.... Untuk seorang Arifin, perlambang yang digunakan di dalam film terlalu stereotip. Giyon adalah anak muda yang susah mencari pekerjaan karena ia sarjana filsafat. Giyon antifeodalisme. Maka, kemapanan diwakili oleh sekelompok orang tua Jawa yang menyebalkan. Desi adalah wanita muda yang setengah mati ingin cari duit. Semua idiom yang digunakan adalah perangkat novel pop karena memang film ini berdasarkan cerita bersambung Eddy Suhendro yang diubah di sana-sini oleh Arifin. Arifin berhasil mengangkat persoalan yang menarik dari cerita pop itu, yakni persoalan pencarian diri. Semua tokoh Taksi adalah orang-orang yang mencari diri. Giyon ingin melepaskan diri dari kungkungan feodal lingkungannya, Desi mencoba melepaskan diri dari bayangan ambisi ibunya (Nani Wijaya), sementara Raymond berkata, "saya tak tahu siapa saya." Penggambaran proses pencarian diri ketiga tokoh ini dijalin dengan menarik sehingga kita menyaksikan mereka bertemu di persimpangan dan berpisah lagi untuk meneruskan proses pencariannya. Di sinilah kekuatan skenario Arifin. Namun, Arifin seperti halnya dalam Biarkan Bulan Itu masih mengandalkan kecantikan dialog daripada visualisasi. Seperti teaternya, kita menemukan kalimat filosofis yang bertebaran. Ada Giyon yang berkata, "Selamat tinggal kata-kata." Ada manajer yang menasihati Desi, "Sekali berani berbohong, seseorang harus berani mempertahankannya." Pokoknya, tokoh-tokoh Arifin semuanya pinter. Ketergantungan Arifin pada dialog juga terlihat pada adegan pertengkaran Desi dengan ibunya. Mungkin lebih menarik jika Arifin mempercayakan visualisasi -- misalnya dengan adegan flashback Desi di masa kecil -- daripada melalui sejumlah ratapan Desi yang bikin sesak napas. Akting para pemain memang di atas rata-rata. Giyon sebagai pribadi yang melonjak-lonjak diperankan dengan baik oleh Rano Karno -- yang akhirnya berhasil meraih Piala Citra setelah sekian tahun menunggu. Akting Meriam sesungguhnya tak jauh berbeda dengan aktingnya di dalam Cinta di Balik Noda (di film ini Meriam mendapat Citra yang pertama) meski di dalam Taksi ia berhasil membuat pribadi tokoh Desi lebih kompleks. Yang layak mendapat acungan jempol adalah kerja Karsono Hadi yang berhasil menyunting gambar-gambar Jakarta di waktu siang dan -- malam dengan puitis. Arifin menyelesaikan film dengan cara menarik. "Saya ingin penonton berpikir karena tokoh-tokoh itu masih dalam proses mencari diri," katanya menjelaskan ending yang mengambang itu. Tentu saja. Seandainya Arifin membuat Giyon berpelukan dengan Desi dan hidup bahagia sentosa alangkah noraknya. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus